Thursday, May 04, 2006

OBITUARI


OBITUARI

oleh : Amarzan Loebis

Pramoedya, Jejak Langkah ituPujangga itu wafat pada usia 81 tahun. Meninggalkan 50-an buku yangditerjemahkan ke lebih dari 41 bahasa.-------

JAKARTA tak menentu, Sabtu malam itu. Hujan turun sebercak-sebercak,gerimis di sini, lebat di sana. Dari telepon seluler ke teleponseluler bersimpang-siur pesan kisruh: "Pramoedya Ananta Toerberpulang.. Maaf, Pram masih segar-bugar.. Kritis, memang, bernapaspakai oksigen, tapi malah minta rokok.." Akhirnya, pada....,Pramoedya, "pujangga" itu, berangkat menghadap Khaliknya.

Sampai saat wafatnya, Pram, pengarang sekitar 50 buku yang sudahditerjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa, seperti memilih tidakmenempuh "cara biasa". Beberapa hari sebelumnya ayah sembilan anak dankakek 16 cucu itu terjatuh di rumahnya yang jembar di Desa WaringinJaya, Bojong Gede, Bogor, sekitar 50 kilometer dari Jakarta arah keselatan. Ia dilarikan ke Rumah Sakit St. Carolus di Jakarta Pusat.

Tapi, siapa pun di antara orang dekatnya pasti tahu: Pram tak pernahsuka pada rumah sakit. "Saya sudah lelah dirawat di rumah sakit,"katanya, dua tahun lalu. Ketika itu, selain gangguan jantung dandiabetes, ia mulai mengalami masalah ginjal. Pram lebih percaya pada"pengobatan" yang ditekuninya dengan cara sendiri: menyantap bawangputih tak putus-putusnya.

Dilahirkan di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925, anak sulung darisembilan bersaudara ini seperti memang ditakdirkan untuk menjadipengarang. Dari ayahnya, Moh. Toer, seorang guru-nasionalis, Pram diperkenalkan dengan dunia pustaka. Sejak usia delapan tahun ia sudah biasa membaca koran dalam bahasa Belanda, Melayu, dan Jawa. "Orang tua saya mempunyai perpustakaan yang cukup besar untuk ukuran kota kecil,"kata Pram sekali waktu.

Menurut pengakuannya, Pramoedya sudah menulis sejak di bangku SD BoediOetomo di Blora. Tapi, cerita pendeknya yang pertama, Kemana, barutersiar melalui majalah Pantjaraja, pada 1947. Pada tahun yang sama pula terbit novelnya, Krandji-Bekasi Djatuh. Dari judul ini mudah ditebak: Pram terlibat dalam perang kemerdekaan. Ia bertugas sebagai perwira perhubungan di Divisi Siliwangi.

Pram kemudian ditahan Belanda, 1947-1949. Ia mendekam di penjara BukitDuri, Jakarta, dan pernah menghuni Pulau Onrust di Kepulauan Seribu.Pada masa inilah ia menulis kumpulan cerita pendek Pertjikan Revolusidan novel Perburuan--yang kelak memenangi Hadiah Balai Pustaka. Keluardari penjara, Pram menulis Mereka Jang Dilumpuhkan, Tjerita dari Blora(memenangi Hadiah Badan Musjawarah Kebudajaan Nasional 1952-1953), dan Bukan Pasar Malam.

Sejak itu Pramoedya Ananta Toer tercatat di antara sastrawan gardadepan negeri ini. Pada 1953, atas undangan Lembaga Kerja SamaKebudayaan Indonesia-Belanda, Sticusa, ia bermukim di Negeri Belanda bersama istrinya, Maemunah Thamrin. Tapi, tahun-tahun yang menyusul kemudian merupakan masa gemuruh tak kunjung teduh dalam kehidupan Pram.

Lewat Kongres Nasional I Lembaga Kebudayaan Rakyat di Solo, JawaTengah, pada 1959, Pramoedya Ananta Toer mengumumkan pergabungannyadengan Lekra. Pram kemudian mengasuh ruangan kebudayaan Lentera di harian Bintang Timur, Jakarta, yang berhadap-hadapan dengan parapenanda tangan Manifes Kebudayaan.

Gempa politik 1965 membawa akibat panjang pada kehidupan Pram dan keluarganya. Rumahnya dirampas, perpustakaannya dijarah dan dibakar,dia sendiri kemudian ditangkap, dan pada 1969 dibuang ke Pulau Buru,Maluku. Di sinilah ia sekali lagi membuktikan: ia memang dilahirkan untuk menjadi pengarang.

Di atas kertas-kertas bekas yang dijilid serupa buku tulis, ia mulai mengarang tanpa rujukan, tanpa kepustakaan, hanya mengandalkaningatan. Ia juga menyusun semacam komik tentang masuknya agama Hindu Hinayana ke Tanah Jawa, Oroh Sanagara namanya. Entah ke mana gerangannaskah ini terselip.

Buku-buku tulisan tangan itu beredar dari unit ke unit, dibaca bersamadi bawah lampu minyak setelah kerja panjang yang melelahkan. Banyak sekali tahanan, orang-orang muda dari pedalaman Jawa, yang barumengenal nama Pramoedya Ananta Toer justru di Pulau Buru.

Setelah kedatangan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan danKetertiban, Jenderal Sumitro, ke Pulau Buru, pada 1973, Pramoedyadipindahkan dari Unit III ke Markas Komando, dan diberi mesin tikuntuk menulis. Ketika itulah ia mulai menyusun bagian awal tetraloginya yang kelak termasyhur, Bumi Manusia.

Setelah dibebaskan, Desember 1979, Pram tak lagi terbendung. Bersamapenerbit Hasta Mitra, Pram menerbitkan berjudul-judul buku, kendatiseluruhnya dibredel pemerintahan Soeharto. Setelah reformasi, tak adalagi hambatan penerbitan bukunya, dan Pramoedya kemudian menerimasejumlah penghargaan internasional. Berkali-kali namanya disebut sebagai calon penerima Hadiah Nobel kesusastraan. Tapi, ternyata,"jejak langkah" sang pujangga sampai di situ.

Amarzan Loebis
(Sumber: Tempo, 1 Mei 2006)

1 comment:

Anonymous said...

This is very interesting site... »