Penulis : Orhan Pamuk
Penerjemah : Rahmani Astuti
Penerbit : PT. Serambi Ilmu Semesta
Cetakan : I, Februari 2009
Tebal : 363 hlm
Istanbul adalah memoar dari peraih nobel sastra 2006 asal Turki, Orhan Pamuk. Namun berbeda dengan memoar-memoar lainnya yang biasanya lebih mengutamakan kisah hidup si penulisnya, dalam memoarnya ini Pamuk tak hanya berkisah mengenai sejarah hidupnya. Dengan cara betutur seperti dalam novel-novelnya , Pamuk mencatat penggalan memori kehidupan masa lalunya yang dikaitkan dengan memori kolektif Istanbul, kota kelahirannya yang begitu ia cintai. Jadi bisa disimpulkan bahwa buku ini merupakan serpihan-serpihan memoar dan essai panjang Pamuk tentang dirinya danIstanbul
Bagi Pamuk yang begitu lekat dengan kota kelahirannya, takdir Istanbul adalah takdir dirinya sebab Istanbullah yang membuat dirinya seperti sekarang ini. Istanbul baginya adalah mata air yang terus menerus memberinya inspirasi. Tak heran jika sebagian besar novel-novelnya berlatar Istanbul, kota yang merupakan warisan kesultanan Usmani yang tak henti bergumul dengan identitas Barat dan Timur. Begitupun dalam memoarnya ini, di mata Pamuk, Istanbul dimetaforkan sebagai mahluk yang berwajah murung, atau istilah dalam bahasa arabnya adalah “huzun”.
Setelah Kesultanan Usmani ambruk, dunia nyaris lupa bahwa Istanbul ada. Kota tempat saya dilahirkan ini lebih miskin, lebih kumuh, dan lebih terasing ketimbang sebelumnya selama sejarahnya sepanjang dua ribu tahun. Bagi saya, Istanbul selalu merupakan kota penuh reruntuhan dan kemurungan masa akhir kesultanan. Saya menghabiskan hidup memerangi kermurungan ini atau (seperti semua penduduk Istanbul) menjadikannya kemurungan saya. (hal 7)
Istanbul modern dalam kacamata Pamuk memang telah mengalami kemunduran sejak jatuhnya Kesultanan dan berdirinya pemintahan Republik dengan reformasinya yang dipimpin oleh Mustafa Kemal Ataturk (pendiri Turki dan presiden pertama Turki). Bagi Ataturk satu-satunya jalan untuk melangkah maju adalah mengembangkan konsep baru mengenai ke-Turkian yag modern, sayangnya konsep ini dilakukan dengan cara melupakan masa lalu sehingga kultur, seperti bahasa dan pakaian tradisional, dilupakan. Bahkan literatur tradisional pun dilupakan.
Kemurungan Istanbullah yang menjadi benang merah seluruh kisah dalam memoarnya ini. Karenanya jangan harap dalam memoarnya ini kita akan disuguhkan panorama keindahan Istanbul, alih-alih membicarakan bangunan megah Hagai Sophia atau situs-situs bersejarah lainnya, kita malah akan disuguhkan deskripsi rumah-rumah kayu yang kumuh yang dibangun diatas reruntuhan bangunan megah dari era kejayaan kesultanan Usmani dan kehancuran puri-puri para Pasha karena tak terawat atau terbakar.
Dalam memoarnya ini, wajah Istanbul modern yang kini semakin carut marut itu dikisahkan secara parallel dengan kehidupan masa lalu Pamuk yang dilahirkan dari keluarga kelas menengah yang hidup dalam budaya sekuler Barat. Dengan begitu hidup Pamuk menceritakan tentang dirinya dan keluarganya, apartemen-apartemen yang pernah didiaminya, jalan-jalan yang sering dilaluinya, peristiwa-peristiwa yang pernah dialaminya, kisah cinta pertamanya yang kandas, serta keinginannya yang besar untuk menjadi pelukis sebelum ia banting setir dan akhirnya memutuskan untuk menjadi penulis.
Karena setiap jejak langkah masa lalu Pamuk senantiasa dikaitkan dengan memori kolektif Istanbul maka daya pikat memoar ini bukan hanya terletak pengalaman pribadi penulisnya, melainkan dalam identifikasi puitisnya dengan Istanbul . Hasilnya adalah semacam essai yang berisi sejarah dan kehidupan sosial masyarakat Istanbul baik dari apa yang diperolehnya dari pengalaman dan risetnya sendiri maupun dari catatan orang-orang yang pernah menulis sejarah Istanbul seperti, Yahya Kemal, seorang penyair, Resat Ekrem Kocu, seorang sejarawan, Tampinar, seorang novelis, dan Abdulhak Sinasi Hisar, seorang kronologis. Sedangkan untuk penulis barat terwakili oleh Gerard du Nerval, Teophile Gautier, Gustave Flaubert.
Untuk lebih menghidupi memoarnya ini, Pamuk juga menampilkan ratusan foto hitam putih baik yang berasal dari koleksi keluarga Pamuk sendiri maupun foto-foto Istanbul karya fotografer lokal, Ara Guller. Dan yang tak kalah menarik adalah foto-foto lukisan engraving Antoine-Ignace Melling, pelukis Jerman yang merekam Istanbul di abad ke 18. Jika foto-foto karya Ara Guller didominasi wajah Istanbul modern yang muram, maka pada karya Mellinglah keindahan masa lalu Istanbul terungkap.
Salah satu lukisan karya Melling
Sebagai seorang novelis terkemuka, Pamuk menyajikan memoarnya ini dengan begitu menarik dan hidup sehingga membaca ke 37 bab kisahnya tak membuat kita bosan kendati dia terkadang menceritakan hal-hal yang sederhana yang pernah dialaminya. Hal-hal sederhana itu ia hubungkan dengan, lukisan, buku-buku, landskap, bangunan kuno, legenda, sejarah, politik, dll sehingga potret dirinya dan Istanbul terekam dengan menarik.
Sayangnya memoar Pamuk terhenti di era 70-an ketika Pamuk memutuskan merubah jalan hidupnya dari seorang pelukis menjadi seorang penulis. Jadi dalam memoar setebal 363 halaman ini kita tak akan menemukan jejak Pamuk dan Istabul ketika ia meniti kariernya sebagai seorang penulis. Semenjak kecil hingga menjadi seorang mahasiswa arsitektur tampaknya tak ada tanda-tanda Pamuk yang kelak akan menjadi seorang penulis terkenal kecuali kesenangannya membaca.
Akhir kata novel yang terbit untuk pertama kalinya pada tahun 2003 dalam bahasa Turki dengan judul Istanbul : Hatiralar ve Sehir ini memang sangat-sangat menarik, kisah kehidupan Pamuk, pergumulan batinnya , serta responnya atas lingkungan yang membesarkannya membawa pembacanya pada sebuah perenungan yang dalam. Berbagai kisah mengenai Istanbul membuat kita memahami sejarah dan kultur Istanbul modern di tahun 50-70an yang menyiratkan wajah Turki yang murung dan terbelahnya kultur masyarakat Turki antara Islam dan sekularisasi, modern dan tradisional, timur dan barat, yang ternyata masih bisa dirasakan hingga kini.Seperti yang ditulis oleh Irish Times sebagai pujian untuk buku ini bahwa memoar Pamuk ini layak disejajarkan dengan karya-karya terbaik Pamuk dan buku-buku terbaik yang pernah ditulis mengenai Istanbul. Buku ini wajib dibaca dan kota itu wajib dikunjungi.
@h_tanzil
6 comments:
Setiap kali membaca ulasan buku yang ditulis Pak Tanzil, selalu saja membuat saya tergerak pengen membaca bukunya. Bagus sih ulasannya :)
makasih mas iqbal...
saya juga selalu membaca dan belajar dari resensi mas iqbal yang selalu membuka wawasan saya akan buku yg diresensi mas iqbal
wah, ini satu lagi buku Pamuk bikin penasaran. Thanks reviewnya Pak.
Btw kalimat penutupnya nendang. bukunya wajib dibaca, kotanya wajib dikunjungi... mau lah....
Buku yang bagus..
pak tanzil
minta ijin yah comot review ttg orhan pamuk buat lengkapin daftar peraih nobel sastra , di blog saya
thanks
mantab dan bagus banget nich blognya, kunjungan balik ya bro di download ebook gratis
Post a Comment