Monday, September 23, 2019

LALITA : 51 Cerita Perempuan Hebat di Indonesia

 [No.386]
Judul : LALITA - 51 Cerita Perempuan Hebat Indonesia
Penulis : Abigail Limuria & Grace Kadiman
Editor : Anita Putri
Penerbit : Lalita Project
Cetakan : I, 2019
Tebal : 107 hlm, art paper

Abigail dan Grace, dua perempuan Indonesia yang sedang kuliah di Biola University Los Angels, Amerika Serikat berpikir, "Apa artinya menjadi peremuan Indonesia yang mencintai negaranya? Apakah Indonesia memiliki tokoh-tokoh perempuan yang hebat? Jika ada kenapa kita jarang mendengar kisah mereka?"

Pemikiran tersebut dilanjutkan dengan percakapan antara mereka seperti yang tertuang di buku ini :

- Harusnya ada yang nulis buku tentang perempuan Indonesia
+ Kenapa 'nggak kita aja?
- Kamu mau?
+ Yuk!

Melalui proses yang panjang, berkat ketekunan, kegigihan mereka dalam memilih dan menyempatkan diri untuk mewawancarai langsung 51 tokoh perempuan yang hendak diangkat kisahnya akhirnya terwujudlah buku berjudul Lalita : 51 Cerita Perempuan Hebat Indonesia. Lalita sendiri berasal dari kata Sansakerta yang berarti berharga, jelita, riang, dan pandai berucap yang oleh penulisnya direpresentasikan sebagai perempuan-perempuan Indonesia yang aktif, tak terbatas, cerdas, tangguh, dan berambisi.

Sesuai judulnya, buku ini berisi kisah nyata dari 51 perempuan Indoesia yang cemerlang, berprestasi, menginspirasi, dan mengharumkan bangsa dalam berbagai bidang dan profesi antara lain seniman, olahragawan, ilmuwan, penyanyi, akitvis lingkungan hidup, galerist, pematung, fotografer,  pembalap, presenter. politikus, menteri dan lain-lain yang disusun secara alfabetikal berdasarkan nama-namanya,

Buku ini bukan seperti ensiklopedi tokoh-tokoh yang disajikan dalam kalimat-kalimat yang kaku melainkan dituturkan dengan cara berkisah yang ringkas seperti kita membaca sebuah cerpen.

Setiap tokoh dikisahkan dalam satu halaman saja yang dimulai dengan kalimat pembuka seperti, "Suatu hari...., Sejak kecil...., Di sebuah kota kecil...., Ada seorang anak bernama...."
dari kalimat pembuka tersebut mengalirlah kisah-kisah pendek namun informatif dari tiap-tiap tokohnya sehingga kita tidak akan bosan membaca ke 51 tokoh yang dikisahkan.  Dan sebagai penutup di setiap kisahnya terdapat kutipan kalimat inspiratif yang berasal dari masing-masing tokohnya 

 Qutoe Grace Natalie, politikus

Ada banyak hal yang menarik yang terungkap dari masing-masing perempuan hebat di buku ini, ada yang sudah sangat terkenal seperti Susi Susanti, Najwa Shihab, Grace Natalie, hingga para menteri yaitu Sri Mulyani, Susi Pudjiastusi, Retno Marsudi dll, namun ada juga perempuan-perempuan hebat yang mungkin belum dikenal oleh masyarakat luas antara lain;

Aleta Baun (Mama Aleta), aktivis lingkungan yang memprotes sebuah perusahaan marmer yang hendak memotong gunung batu tanpa seizin masyarakat Mollo, Nusa Tenggara Timur. Mama Aleta bersama 150 perempuan lainnya duduk di kaki gunung batu sambil menenun kain tradisional sebagai bentuk protes. Protes yang bersahaja, tanpa kekerasan.

Herawati Sudoyo, ahli genetika yang mempelajari kode genetika populasi. Selama 20 tahun  ia berkunjung ke 19 pulau untuk mempelajari kode genetika lebih dari 130 suku di Indonesia. Ilmunya ini ternyata juga berguna ketika ada kasus pengeboman Kedutaan Australia tahun 2014. Dengan metode yang sudah biasa ia lakukan, Herawati berhasil mengidentifikasi pelaku bom dengan sangat cepat.

Evvy Kartini, satu dari 10 ahli nuklir dunia. Selain ahli nuklir Evvy juga penemu penghantar listrik berbahan gelas. Penemuannya ini membuatnya diajak bekerja sama oleh berbagai negara maju di 5 benua.  Namun hal ini tidak membuatnya terlena, ia tidak lupa tanah kelahirannya. Ia kembali ke Indonesia dan mengaplikasikan penemuannya sebagai bahan baterai litium yang ramah lingkungan.

Engel Tanzil, galerist yang membangun artspace Dia.Lo.Gue di kawasan Kemang Jakarta,  galeri yang nyaman, modern, dan bebas diakses oleh semua orang termasuk bagi mereka yang berkebutuhan khusus. Engel kerap membuat pameran seni dengan berbagai konsep yang menarik. Salah satunya  pameran "Warna-Warna" dimana Engel berkolaborasi dengan penyanyi Andien untuk   menampilkan karya anak-anak difabel.

Masih banyak hal-hal menarik dan inspiratif dari kisah setiap tokoh yang ditulis. Yang juga menarik adalah sebagian besar kesuksesan mereka berawal dari pengalaman mereka dimasa kecil bersama keluarga mereka. Hal ini membuktikan bahwa pengaruh lingkungan keluarga adalah salah satu penentu sukses tidaknya seseorang di masa depannya.
 
Selain isinya yang inspiratif buku ini juga dikemas secara artistik. Tidak hanya di cover bukunya saja yang bernuansa seni, di halaman dalamnya juga tidak luput dari sentuhan seni. Semua tokoh yang dibahas diberi ilustrasi indah  yang merepresentasikan profesi, kepribadian, dan karakter dari masing-masing tokohnya. Uniknya setiap kisah diilustrasikan oleh ilustrator yang berbeda sehingga membuat setiap kisah menjadi unik karena memiliki kekhasan sendiri sesuai guratan tangan masing-masing ilustrator.

Kehadiran buku ini patut diapresiasi setinggi-tingginya karena  mengenalkan tokoh-tokoh perempuan hebat yang patut diteladani. Karena  masing-masing dikisahkan secara singkat buku ini juga dapat  menjadi pintu pembuka bagi pembacanya untuk mengenal tokoh-tokoh yang ada lebih dalam lagi. Selain itu buku ini juga membuka mata kita semua, ternyata ada banyak perempuan-perempuan Indonesia yang hebat yang namanya jarang terdengar namun ternyata memberi kontribusi luar biasa pada Indonesia.

Dan sesuai dengan harapan kedua penulisnya buku ini juga dapat menginspirasikan anak-anak perempuan Indonesia untuk bermimpi tinggi, dan bangga menjadi bagian dari bangsa Indonesia. 


 Grace Kadiman & Abigail Limuria, penulis Lalita
sumber foto : https://www.goodnewsfromindonesia.id


@htanzil

Thursday, September 05, 2019

Perpustakaan (Dua) Kelamin : Buku dan Dendam Yang Tak Terbatas

[No. 385]
Judul : Perpustakaan (Dua) Kelamin - Buku dan Dendam yang Tak Terbatas
Penulis : Sanghyang Mughni Pancaniti
Penerbit : Penerbit Semesta
Cetakan : I, Maret 2019
Tebal : 180 hlm
ISBN : 978-602-14549-3-0
 
Novel  tentang orang-orang yang mencintai dan menghargai buku  ini merupakan kelanjutan dari novel sebelumnya Perpustakaan Kelamin karya penulis dan praktisi buku Sanghyang Mughni Pancaniti. 

Meneruskan ending di novel sebelumnya yang berakhir saat  Hariang berada di ruang operasi untuk operasi pengangkatan kelaminnya yang dijual kepada Ulun,  temannya seharga 1,5 milyar untuk membangun perpustakaan peninggalan almarhum ayahnya yang terbakar habis. Novel keduanya ini dimulai dengan sebuah pesan singkat dari Drupadi, kekasih Hariang yang mengabarkan bahwa Ibunya  telah meninggal dunia.

Berita duka tersebut menghancurkan hatinya sehingga walau masih dirawat di Jakarta akibat luka operasinya belum pulih betul Hariang nekad dengan perasaan sedih bercampur dendam pulang ke rumahnya di Cigendel - Sumedang agar bisa mengantar ibunya ke tempat peristirahatannya yang terakhir.

Rasa nyeriku tiba-tiba terseret pada si Ulun, lelaki yang sudah kuanggap sebagai kakak tapi bangsat! Dialah penyebab semuanya yang kumiliki hilang. Hatiku menghujat, "Kau Ulun, mengapa melakukan kekejian ini kepadaku dan ibuku? Ketika kau membakar perpustakaanku dan mengakibatkan 11.000 buku hancur, ibu yang sangat kucintai  jadi tak waras dan kehilangan kesadaran sebagai manusia. Lalu kujual kelaminku kepadamu seharga 1,5 milyar untuk mendirikan perpustakaan, supaya ibu sembuh, seperti semula. Tapi lihat sekarang, bukannya sembuh, ibu justru menjadi badan tanpa nyawa yang siap ditelan tanah. Kau telah membunuhnya! Kau telah membunuhnya!"
(hlm 2)

Sesampainya di kampung halamannya Hariang mendapat kejutan yang tidak terduga yang membuat semangatnya bangkit kembali untuk mendirikan kembali perpustakaannya yang hancur.  Selain itu walau kini ia hidup tanpa kelamin namun keinginnya untuk  menikahi Drupadi tetap ada.  

Jika di novel sebelumnya dikisahkan bagaimana Hariang berusaha untuk memperoleh uang untuk membangun kembali perpustakaannya yang terbakar agar ibunya kembali dapat sembuh dari ketidakwarasannya, di novel keduanya ini dikisahkan bagaimana akhirnya uang yang diperolehnya itu dipakainya untuk membangun perpustakaan.  Selain itu yang tidak kalah menariknya adalah kisah bagaimana Hariang berusaha untuk memenuhi keinginan Drupadi yang meminta mas kawinnya kelak berupa sebuah buku yang ditulis oleh Hariang sendiri.

Konflik dalam novel ini terbangun dari Hariang yang kini tidak memiliki kelamin. Tidak seorangpun termasuk Ibunya sendiri dan Drupadi yang tahu kalau kelamin Hariang sudah dijual agar ia bisa  membangun kembali perpustakaan ibunya yang hancur. Tanpa memiliki kelamin bagaimana nasib pernikahannya kelak? Apakah ia harus membuka rahasianya ini pada Drupadi, dan jika Drupadi telah mengetahuinya masihkan ia mencintainya? Pertanyaan ini terus menghantui Hariang. Selain itu kelaminnya yang telah dijual kepada Ulun yang ternyata orang yang membakar perpustakaan ibunya membuat Hariang dikuasai oleh perasaan dendam pada Ulun. Dendam yang pada akhirnya tidak terbalaskan karena Ulun sendiri tewas karena kecelakaan,

Seperti di novel sebelumnya, konflik dalam novel ini berkelindanan dengan hal-hal yang berhubungan dengan buku dari berbagai genre dan penulis-penulisnya. Ada ratusan buku dan penulis baik lokal maupun mancanaegara  muncul disebutkan dalam buku ini. Dari yang serius sampai yang  lucu tentang buku muncul lewat dialog-dialog antar tokoh-tokohnya.  Misalnya saja saat teman-teman Hariang berdiskusi tentang kebiasaan mereka dalam membaca dan mengoleksi buku-buku dengan tema tertentu yang memunculkan julukan-julukan sebagai berikut :

Bibliokawe = kolektor buku-buku bajakan
Bibliokidal = kolektor buku-buku 'kiri'
Biblionista = kolektor  buku-buku kontroversial/banyak dikecam orang
Bibliotutup = kolektor buku-buku yang penerbitnya sudah tidak menerbitkan buku lagi

Lalu ada juga tentang proses kreatif penulis-penulis terkenal. Ketika Hariang  mengalami kebuntuan saat menulis buku untuk mas kawinnya ia mencoba mengikuti cara-cara yang unik dari  penulis-penulis dunia  antara lain; menulis sambil berdiri selama enam jam seperti Hemingway, HB Jasin, Virginia Wolf. Duduk di dalam bak mandi yang telah dikuras seperti Agatha Christie saat ingin membuat cerita yang plotnya rumit. Menulis di atas kertas warna pink seperti Alexander Dumas dan Emha Ainun Nadjib, dll.

Atep Kurnia (penulis, peneliti literasi) dalam catatan penutupnya mengatakan bahwa novel ini dapat dikelompokkan sebagai Metabuku atau buku yang membicarakan buku karena banyak dialog-dialog dalam novel ini yang langsung merujuk pada beberapa buku, misalnya tentang rambut gondrong berdasarkan buku Dilarang Gondrong karya Aria Wiratama Yudhistira, para pencuri buku dari buku The Man Who Loved Books to Much karya  Hoover Barlet, atau keunikan para penggandrung buku berdasarkan buku Memposisikan Buku di era Cyberspace karya Putut Widjanarko.

Dengan demikian   pembaca novel ini akan dirujuk ke berbagai buku sehingga bukan tidak mungkin novel ini menjadi pintu pembuka  bagi pembaca yang penasaran ingin  membaca  buku-buku yang disebut-sebut didalam novel ini.

Sepertinya penulis masih akan melanjutkan kisah Hariang, di akhir kisah ada sebuah clue yang menggiring persepsi pembaca bahwa masih akan ada kelanjutannya. Semoga penulis diberikan energi dan kreatifitas yang melimpah sehingga petualangan Hariang dan kisah tentang buku-bukunya akan berlanjut menjadi sebuah trilogi, bahkan menjadi tetralogi. Bukan Tetralogi Bumi Manusia melainkan Tetralogi Perpustakaan Kelamin.

@htanzil