Tuesday, May 31, 2022

Bandoeng Waktoe Itoe - Jilid 1: Dari Tepi Kali Citarum ke Sisi Cikapundung

[No.403]
Judul : Bandoeng Waktoe Itoe jilid 1 : Dari Tepi Kali Citarum ke Sisi Cikapundung
Penulis : Ojel Sansan Yusandi
Penerbit : ProPublic.Info
Cetakan : I, April 2022
Tebal : 236 hlm; 18,2 x25,7cm
ISBN : 978-623-99666-1-4

Sejarah Kota Bandung yang di tahun 2022 ini genap berusia 212 tahun sepertinya tidak pernah berhenti untuk terus ditulis. Buku-buku tentang sejarah Bandung terus diterbitkan, para penulis terus berusaha mengupdatenya, baik itu berupa data-data yang belum terungkap di buku-buku sebelumnya, menambah rentang kesejarahannya, memfokuskan pada hal-hal tertentu, atau sekedar menulis dengan gaya bahasa kekinian yang mudah dibaca dengan sumber-sumber data yang telah ada di buku-buku sebelumnya. 

Buku Bandoeng Waktoe Itoe - jilid 1 adalah buku tentang sejarah Bandung yang kembali mengisi khazanah buku-buku tentang sejarah Bandung. Lalu apa yang membedakan buku ini dengan buku-buku sejenis? 

Buku ini dibagi dalam tujuh bab yang dimulai dari bab Bandung sebelum Bandung yang membahas terbentuknya dataran Bandung secara geologis. Setelah itu dilanjutkan dengan bab Tatar Ukur dan Dipati Ukur yang membahas terbentuknya wilayah-wilayah Tatar Ukur dan Wangsanata yang kemudian diangkat menjadi Bupati Ukur yang dikenal dengan Dipati Ukur yang hingga tahun 1624 mengabdi kepada Kerajaan Mataram. 

Setelah membahas asal usul Tatar Ukur dengan rinci penulis kemudian melanjutkannya dengan pemberontakan Dipati Ukur terhadap kerajaan Mataram. Kisah pemberontakkan Dipati Ukur beserta penumpasannya  yang memiliki berbagai versi dibahas dalam buku ini baik dari versi tradisional (babad Tanah Jawi, Babad Sengkala, dan Babad Nithik) yang mengisahkan Dipati Ukur dengan lebih sastrawi ketimbang historis, dan versi historis yang berasal dari catatan-catatan VOC.Kesemua versi tersebut disajikan secara rinci sehingga pembaca dapat melihat berbagai perbedaan  dari kisah-kisah Dipati Ukur

Terbentuknya Kabupaten Bandung pasca masa Dipati Ukur dengan Krapyak sebagai ibukotanya dan penyerahan Priangan kepadaVOC dibahas dalam bab selanjutnya. Melalui perjanjian-perjanjian antara raja-raja Mataram dengan VOC Belanda maka sejak 1677 Bandung dan seluruh wilayah Priangan diserahkan kepada kekuasaan VOC.  Uniknya para bupatinya tetap sebagai penguasa tertinggi di Kabupaten. Tidak ada ikatan birokrasi dengan Kompeni. Kompeni hanya menuntut agar para bupati mengakui kekuasaan Kompeni dengan jaminan menjual hasil-hasil bumi terntentu kepada VOC. Yang tidak diizinkan adalah para bupati tidak boleh mengadakan hubungan politik dan dagang dengan pihak lain. Di Bab ini dibahas juga 6 bupati Bandung dimulai dari Tumenggung Wira Angun-Agun (1641-1681) hingga R.A. Wiranatakusumah II (1749-1829)

Di masa pemerintahan R.A. Wiranatakusumah II inilah ibu kota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Krapyak ke lokasi seperti sekarang. Proses pemindahan dan atas dasar apa pemindahan tersebut dibahas secara detail di Bab berjudul Dari Tepi Citarum ke Sisi Cikapundung. Di bab ini juga dibahas tentang Kabupaten sebagai Istana Bupati dan tentang dua bangunan yang terdapat dalam kabupaten yaitu Pendopo dan Dalem baik secara simbolik mapun struktur bangunannya. 

Setelah membahas mengenai proses pemindahan ibu kota Kabupaten Bandung ke area alun-alun sekarang, penulis menyajikan bab khusus tentang Alun-alun dan Masjid Agung Bandung. Di bagian ini dibahas fungsi dari alun-alun secara umum khususnya Alun-alun Bandung dari masa kemasa mulai dari sebagai tempat rakyat bertemu raja untuk merpersembahkan upeti di zaman kerajaan, ajang lomba--lomba tradisional, sebagai lapangan sepak bola, hingga sebagai pusat gaul dan administratif di zaman kolonia.

Di masa lampai Alun-alun Bandung juga kerap dijadikan tempat untuk menyuarakan aspirasi politik. Di masa revolusi kemerdekaan hingga demokrasi terpimpin  Alun-alun Bandung pernah dijadikan tempat diproklamasikannya Negara Pasundan, tempat dikumandangkannya pengangkatan Ir. Sukarno sebagai Presiden seumur hidup,  hingga tempat demonstrasi mahasiswa yang menuntuk Sukarno turun dari kursi kepersidennya. 

Bangunan bagunan di sekitar alun-alun tidak luput dari bahasan penulis yaitu Bale Bandung, tempat Patih dan Jaksa Bandung mengadakan rapat, bersidang, dan menerima tamu,  tiang hukuman gantung  di pojok tenggara Alun-alun, dan kantor pos. Untuk Masjid Agung yang semula bernama Masjid Kaum Bandung dibahas  mengenai asal mula keberadaannya hingga berubahnya atap masjid dari bentuk limas (nyungcung dalam bahasa Sunda) hingga dirubah  berbentuk bawang atas prakarsa Presiden Sukarno dalam rangka dilaksanakannya Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955

Buku ini ditutup dengan bab khusus tentang kehidupan Bupati-Bupati Bandung antara lain tentang poligami  (beristri lebih dari satu) dan konkubinasi (berselir banyak) yang hampir semuanya melakukan kedua hal tersebut. Dalam hal konkubasi bahkan ada yang menyebutkan bila seorang Bupati baru dilantik, kesibukan pertamanya adalah mencari selir. Untuk mempertahankan  kemurnian darah bangsawan sekaligus untuk mempertahankan status tidak jarang para Bupati di Priangan melakukan pernikahan antara keluarga. Selain mempertakankan status perkawinan juga kadang dimaksud untuk mengatasi dendam antar bupati. 

Dampak dari poligami dan konkubinasi menyebabkan sering terjadinya perceraian, contoh yang diungkap dalam buku ini adalah perceraian Wiranatakusumah V yang menceraikan istrinya, Syarifah Nawawi lewat telegram ketika sang istri sedang pulang kampung ke Bukittinngi, Sumatera Barat sementara Sang Bupati sedang dalam perjalanan ke Mekah. Adapun alasan perceraian adalah karena istrinya dinilai tidak pandai menyesuaikan diri dengan kehidupan Kabupaten sehingga banyak menimbulkan perselisihan.  Di bagian ini dikisahkan juga tentang Tan Malaka yang pernah menaruh hati pada Syarifah namun Syarifah memilih menikah dengan Sang Bupati. 

Bupati yang mendapat porsi bahasan cukup banyak di buku ini adalah Bupati R.A.A Martanegara. Disebut bupati penyelang karena bukan dari trah Wiranatakusumah. Martanegara adalah tokoh yang benpendidikan, sejak kecil sudah dititipkan di pelukis terkenal Raden Saleh dan disekolahkan di sekolah teknik di Semarang. Walau diawal kepemimpinannya ada yang berusaha membunuhnya karena tidak senang mendapat bupati yang bukan berdarah Bandung namun hal ini tidak membuat sang Bupati ciut, ia malah bersemangat berkarya untuk membuktikan bahwa dirinya, walau bukan orang Bandung mampu membuat kemajuan-kemajuan bagi warga Bandung.

Beberapa karya monumental dari Bupati Martanegara antara lain mengganti atap-atap rumah di Bandung dengan genteng, ia mendatangkan ahli dari luar untuk melatih penduduk di Balubur Hilir membuat genteng, memajukan penanaman singkong, membangun irigasi dan sawah-sawah baru, membantu Dewi Sartika mendirikan Sakola Istri, dan yang paling monumental adalah membangunn jembatan bambu di lima titik kali Citarum. Walau terbuat dari bambu dan seherhana namun jembatan tersebut mendapat banyak pujian. Bahkan ada yang menduga ia sudah pernah sekolah teknik di Belanda, padahal sang Bupati hanya lulusan Sekolah Teknik di Semarang. 

Masih banyak hal-hal menarik yang bisa kita peroleh dari buku ini terkait sejarah Bandung sejak bernama Tatar Ukur, menjadi kabupaten dengan Ibukota di Krapyak, Dayeuhkolot, hingga berlokasi di Cikapundung. Era Bandung yang dipimpin secara tradisional hingga era menjelang Bandung mengalami pembaratan oleh pemerintah Kolonial 

Sebagai sebuah buku sejarah Bandung yang disajikan ditulis dengan gaya naratif membuat buku ini akan mudah dipahami oleh berbagai kalangan terlebih bagi generasi milenial sehingga sejarah Bandung akan terus dibaca dari generasi ke generasi. 

Dari segi cakupan bahasannya buku ini tentunya menambah atau melengkapi apa yang mungkin belum ditulis secara tuntas di buku-buku sejarah Bandung yang pernah terbit sebelumnya terlebih tentang wilayah Ukur dan konflik Dipati Ukur dengan kerajaan Mataram di abad ke-17 yang pada akhirnya akan melahirkan wilayah yang disebut Bandung dan menurunkan dinasti bupati Bandung selama berabad-abad. 

Jilid selanjutnya dari buku ini akan membahas dimulainya pembaratan (westernisasi) atas Bandung sebagai pemukiman kolonial di akhir abad XIX, sebagai gemeente (kotapraja) di jaman Parijs van Java hingga sejarah Pasar Baru dan pasar-pasar lainnya. Dilanjutkan dengan jilid ketiga tentang sejarah Bandung di masa Pendudukan Jepang hingga  tahun 1960-an

Semoga penulis dapat menuntaskan ketiga jilid bukunya sehigga generasi masa kini dan akan datang dapat membaca sebuah buku sejarah Bandung secara utuh sejak jaman Dipati Ukur hingga tahun 1960an.  

@htanzil

Friday, April 29, 2022

Katumbiri - Regenboog (Jilid-1)

[No. 402]
Judul : Katumbiri Regenboog (jilid-1)
Cerita & Gambar : Yaya Riyadin
Penerbit : Grafiti Indah Karya
Cetakan : I, Februari 2022
Tebal : 100 hlm, bw mate paper 120 gr
ISBN : 978-623-99414-0-6

Buku ini adalah sebuah novel grafis/komik berlatar Bandung di masa kini dan di awal abad ke 20. Berkisah tentang seorang tokoh bernama Ganesha, lulusan ITB yang kemudian meneruskan studi Hidrologi (ilmu tentang air) di Ihe-Delf, Belanda. 

Di Belanda Ganesha bertemu dengan Amelia yang berasal dari Bandung juga. Saat bersepeda bersama Amelia untuk berkunjung ke rumah seorang profesor yang mendalami sejarah Bandung mereka diserang oleh komplotan  Laurens van Hauvel yang sangat terobsesi dengan Amelia. Obsesi terhadap wanita Indonesia yang diwariskan kakek buyutnya yang penah tinggal di Priangan di jaman pemerintahan kolonial Belanda.

Berkat keahliannya dalam ilmu bela diri pencak silat, Ganesha berhasil mengalahkan komplotan Laurens van Hauvell. Ganesha dan Amelia melanjutkan perjalanannya untuk bertemu dengan sang profesor. Di rumah sang profesor Ganesha mendapat tugas untuk meneliti jembatan Cimalati di kampung Pasirmelati, wilayah Ciburial yang dibangun pada awal abad 20 yang secara teknis melebihi jamannya.

Sejarah mencatat jembatan tersebut  dibuat oleh seorang pribumi muda bernama Putra Martanegara. Darimana sang insinyur pribumi memiliki keahlian seperti itu? Pertanyaan besar karena di masa itu di Hindia belum ada sekolah teknik. Techinische Hoogeschool/ITB baru diresmikan tahun 1920.

Saat pulang ke Bandung, Ganesha segera mencari data tentang jembatan Cimalati di Dago Pakar. Saat itulah Ganesha terlempar ke masa lalu, ke jaman Kolonial Belanda tahun 1915, terlibat konflik dan asmara dengan gadis setempat. 

Komik berlatar sejarah ini dibuat dengan sangat menarik, lewat pane-panel gambarnya pembaca diajak bertamasya mulai dari suasana kota Delf, Belanda, Bandung masa kini hingga wilayah Bandung utara di tahun 1915 yang dimasa itu masih berupa desa kecil dengan hutan-hutannya yang rimbun. 

Untuk mengurangi ketegangan dari kisahnya, penulis menghadirkan sosok-sosok wajah yang mirip dengan aktor terkenal, setidaknya saya menemukan wajah Chou Yun Fat, Klaus Kinsky, Leonardo de Caprio,dll di komik ini,

Dari segi gambar, sebagai orang yang jarang membaca komik dan bukan pemerhati komik saya sangat puas menikmatinya. Gambar dan arsiran hitam putih dalam komik ini begitu memukau dan hidup. Setiap gambar dibuat dengan sangat detail sehingga pembaca dapat lebih menjiwai keseruan kisah dalam komik ini.   cukup bagi saya untuk menikmati gambar-gambarnya dalam sekali baca. Ketika saya menyelesaikan buku ini saya langsung tergerak untuk membaca ulang sambil mengamati gambar-gambarnya satu persatu dengan lebih detail lagi. Semakin saya amati semakin kagum saya dibuatnya.

Dari segi alur kisah, komik ini menarik bagi yang suka sejarah karena penulis melatarkan kisahnya dalam balutan sejarah bandung di masa kolonial yang dihiasi dengan kisah seru petualangan Gansesha baik dimasa kini maupun dimasa lalu menghadapi orang-orang yang tidak senang dengan pertemanannya dengan teman wanitanya.  Selain itu kisah dalam komik ini juga beririsan dengan kisah tenggelamnya kapal Titanic dan Mata Hari, mata-mata lagendaris Belanda yang pernah tinggal di Jawa di masa kolonial.

Satu hal yang agak mengganjal bagi saya adalah ketika Ganesha terlempar ke masa lalu. Dikisahkan Ganesha saat berada di Dago Pakar ia tertidur dan ketika ia terbangun dari tidurnya ia telah berada di masa lalu. Anehnya Ganesha merasa biasa-biasa saja ketika bangun. Tidak tergambarkan/terkisahkan keheranan Ganesha ketika ternyata dia sudah berada di satu abad yang lampau, semua terjadi dengan begitu saja. Orang-orang yang ia temui di masa lalu itupun tidak merasa heran bertemu seorang pemuda yang berpakaian tidak seperti kebanyakan orang-orang di masa itu. 

Terlepas dari hal diatas kehadiran komik Katumbiri ini perlu diapresiasi setinggi-tingginya dan dapat dijadikan momentum baik untuk membangkitkan kembali dunia komik tanah air.

Di laman Facebook ada banyak komentar-komentar positif terhadap komik ini. Hal ini sejalan dengan larisnya komik ini terjual. Ketika tulisan ini dibuat saya mendapat kabar bahwa stock buku yang dicetak sebanyak 500 eks ini tinggal beberapa buah saja. Sedangkan di Tokopedia dimana komik ini dijual, Katumbiri menduduki peringkat ke 4 kategori komik dewasa terlaris dimana urutan 1-3 nya adalah komik remastering Godam.

Tidak sabar rasanya menunggu terbitnya jilid-2 yang sepertinya akan banyak menghadirkan suasana kota Bandung di awal abad ke-20 beserta keindahan bangungan-bangunan klasiknya beserta kisah seru bagaimana akhirnya nasib Ganesha, dan apakah dia akan mengungkapkan misteri siapa Putra Martanegara sang pembangun Jembatan Cimalati yang kepintarannya dan hasil pembangunannya melebihi jamannya.

Seperti Mas Erwin Prima Raya dalam komentarnya di facebook terhadap novel ini saya juga menantikan komentar dari penulis-penulis mumpuni seperti Hikmat Darmawan, Seno Gumiro Ajidarma, dll  untuk mereview komik yang banyak mengundang decak kagum dari para pembacanya dan sepertinya layak di go-international-kan.

@htanzil

Foto2 diperoleh dari IG Yaya Riyadin

Monday, April 25, 2022

Riwayat Sarekat Islam Bandung 1912-1916

[No. 401]
Judul : Riwayat Sarekat Islam Bandung 1912-1916
Penulis : Hafidz Azhar
Penerbit : Tandus
Cetakan : I, September 2021

Tebal : xvi + 115 hlm
ISBN : 978-623-96613-1-1

Sejarah pergerakan nasional di Indonesia dimulai  pada awal abad ke 20 dengan munculnya berbagai organisasi yang akan menjadi benih-benih nasionalisme Indonesia. Salah satu organisasi yang menjadi pelopornya adalah Sarekat Dagang Islam yang didirikan pada tahun 1905 oleh KH Samanhudi di Solo dengan tujuan untuk menggalang kerjasama antar pedagang Islam demi memajukan kesejahteraan pedagang Islam pribumi.

Pada tahun 1912 HOS Tjokroaminoto mengubah nama Sarekat Dagang Islam menjadi Sarekat Islam agar organisasi tersebut tidak hanya terbatas untuk para pedagang saja namun terbuka untuk seluruh umat Islam di Indonesia. Hal itu membuat Sarekat Islam berkembang semakin pesat. Organisasi Islam ini mengembangkan sayapnya juga di Bandung, dan ke berbagai kota lainnya, tidak hanya di Pulau Jawa melainkan hingga ke Sumatera, Sulawesi, hingga Maluku. 

Di tahun itu pula, Tjokroaminoto mengutus dua orang anggota dari Surabaya untuk menemui tiga orang tokoh di Bandung. Mereka adalah Suwardi Suryaningrat, Abdul Muis, dan A. Wignyadisastra. Suwardi Suryaningrat, yang kemudian dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara, didapuk menjadi ketua Sarekat Islam Bandung (SI Bandung) dengan Abdul Muis sebagai wakil ketua dan Wignyadisastra sebagai sekretarisnya.

Kehadiran SI Bandung ternyata mendapat sambutan hangat dari kalangan masyarakat Bandung saat itu, terbukti ketika beberapa kali mengadakan perkumpulan/rapat akbar, pertemuan tersebut dihadiri oleh banyak massa bahkan dihadiri oleh para pejabat setempat. 

Walaupun termasuk organisasi yang pernah mengalami kejayaan di masanya sayangnya tidak banyak orang yang tahu, penyebabnya mungkin karena belum ada buku yang secara khusus membahas sepak terjang SI Bandung padahal organisasi massa Syarikat Islam masih eksis hingga kini termasuk di Bandung. Syarikat Islam pusat  saat ini diketuai oleh tokoh yang tidak asing lagi yaitu Hamdan Zoelva, yang pernah menjabat sebagai  Ketua Mahkamah Konstitusi Indonesia periode 2013-2015

Bersyukur kini hadir sebuah buku yang menyajikan apa dan bagaimana SI Bandung di awal berdirinya hingga tahun 1916. Walau bukan buku yang secara komprehensif menyajikan kiprah SI Bandung karena berasal dari artikel-ertikel yang pernah dimuat di BandungBergerak.id  namun buku ini sangat bermanfaat bagi mereka yang ingin mengetahui SI Bandung yang selama ini sulit diperoleh karena informasi mengenai SI Bandung tersebar di beberapa buku sejarah, itupun sepertinya tidak mendetail.

Buku Riwayat Sarekat Islam Bandung 1912-1916 ini disusun berdasarka kronologis waktu. Dimulai dari bab Riwayat Sarekat Islam Bandung yang membahas sejarah berdirinya Sarekat Islam Bandung pada 1912 dan dilanjutkan dengan pidato Suwardi Suryadiningrat selaku ketua SI Bandung dalam Vergadering Propaganda yang digelar pada 9 Februari 1912 yang merupakan momen penting salam perkembangan organisasi SI Bandung karena membahas visi misi SI dalam membangun kemajuan Pribumi di Hindia. Di bab ini penulis mengutip nukilan beberapa bagian pidato Suwardi Suryadiningrat yang membangkitkan semangat kaum Pribumi agar maju dalam hal perdagangan dan pertanian.

"Saudara-saudara! Dalam Anggaran Dasar SI ditekankan, perdagangan dan pertanian. Dengan pertolongan Allah, perdagangan adalah kemajuan bagi seseorang. Mengapa kita melepaskan senjata itu? Apakah kita terlalu bodoh untuk itu? Itu tidak benar, karena meskipun sering disebut orang oleh orang Eropa sebagai 'penduduk asli yang bodoh', beberapa dari kita telah menjadi sosok yang baik di lembaga-lembaga studi di Belanda. Biarlah dikatakan kepada Anda bahwa kita harus mencari kekuatan, bahwa kita tidak ingin menjadi 'pribumi yang tidak dapat diandalkan' seperti yang diambil oleh orang Belanda itu" (De Express 11 Februari 1913)

(hlm 8)

Di buku ini juga dibahas bahwa pekembangan dan jalannya roda SI Bandung tidak terlepas dari dua sayap pemberitaan SI Bandung yaitu koran De Express dan Kaoem Moeda yang gencar memberitakan sepak terjang organisasi ini. Limpahnya berita-berita mengenai SI Bandung inilah yang dimanfaatkan oleh  penulis  untuk menyusun buku ini sehingga lewat buku ini kita bisa melihat apa saja yang telah dilakukan SI Bandung dan sekitarnya beserta tantangan-tantangannya untuk memajukan kaum pribumi. Tidak hanya dalam hal keagamaan saja melainkan dalam hal sosial, pendidikan, dsb.

Dalam hal permasalahan sosial  terungkap bagaimana prostitusi di Bandung pada awal abad ke 20 telah meresahkan masyarakat sehinga SI bersama organisasi Madjoe Kamoeljan bersatu padu memberantas prostitusi antara lain dengan digelarnya pertemuan di salah satu ruangan Bioskop Arendsen de Wolf di alun-alun Bandung. Pertemuan ini  diperkirakan dihadiri oleh 600 orang dari kalangan Pribumi, bangsa Eropa, Tionghoa, dan Arab. Selain itu dalam pertemuan yang lain SI Bandung juga menyoroti masalah  minuman keras di kalangan masyarakat dimana disepakati agar seluruh perwakilan ranting SI dapat menekan peredaran minuman keras.

Dalam hal pendidikan, SI Bandung mendirikan sekolah partikelir pertama di wilayah Priangan yang mencampurkan pelajaran agama Islam dan pelajaran umum. Sekolah yang diberi nama Madrassatoel Ibtidayah  diperuntukkan bagi anak-anak miskin dan anak-anak anggota Sarekat Islam. Pada saat pembukaannya terdapat 181 siswa. Jumlah yang termasuk besar di masa itu. Sayangnya penulis tidak menyertakan informasi sampai kapan sekolah yang mendapat sokongan dana dari banyak kalangan dan didukung oleh pemerintah di masa itu.

Masalah keorganisasian dan tokoh-tokoh yang terlibat dalam SI Bandung juga mendapat bahasan dalam buku ini. Dalam hal kepengurusan, selain tokoh terkenal seperti Soewardi Suryadiningrat, Abdoel Moeis, ternyata Penghulu  Besar Bandung sekaligus pujangga Sunda  Haji Hassan Mustapa mendapat tempat dalam struktur organisasi SI Bandung yaitu sebagai Penasehat Urusan Agama. 

Selain itu ada pula dibahas sosok Mas Kandoroean Partadiredja, sastrawan Sunda yang banyak menulis dongeng-dongeng Sunda dan akivis pergerakan massa yang namanya cukup dikenal masyarakat luas. Partadiredja menjadi salah satu tokoh yang diperhitungkan dalam jajaran kepengurusan SI Bandung. Saat ketua SI Bandung, Suwardi Suryadiningrat mendapat hukuman diasingkan ke negeri Belanda, Partadiredja menjadi calon terkuat dalam memimpin SI Bandung. Wignyadisastra,dalam salah satu tulisannya bahkan pernah menyandingkan Partadiredja sebagai calon Presiden Sarekat Islam Bandung dengan Haji Hasan Mustapa sebagai penasehatnya karena kedua-duanya sama-sama mempunyai pengaruh yang kuat di masyarakat, khususnya di wilayah Bandung. 

Selain Suwandi Suryadiningrat, Abdoel Moeis, Haji Hasan Mustafa, Tjokroaminoto,  nama ketua SI Bandung, Wignyadisastra banyak berpengaruh pada perkembangan SI Bandung, sayangnya penulis tidak menyajikan bab khusus tentang Wignyadisastra, salah satu tokoh awal SI Bandung yang sepertinya paling banyak disebut di buku  ini namun tidak banyak orang yang mengetahuinya terlebih di masa sekarang. Mungkin ada baiknya jika buku ini ada kelanjutannya, tokoh Widnyadisastra bisa diberikan tempat khusus.

Buku ini diakhiri dengan 3 buah tulisan tentang Kongres Central Sarekat Islam di Bandung pada tanggal 17-24 Juni 1916. Di tiga tulisan ini tergambar dengan jelas suasana kongres yang begitu meriah dimana siang dan malam ribuan orang memadati Alun-alun Bandung karena di alun-Alun digelar bermacam-macam dagangan dari makanan hingga hasil ketrampilan yang konon hasil penjualan dagangan tersebut akan disumbangkan untuk sekolah Madrasatoel Ithidayah.

Selain digelarnya barang-barang dagangan, diadakan juga perlombaan olah raga, diputarnya film-film di bioskop dan pertunjukan wayang. Kemeriahan kongres ini juga terekam dalam buku Haji Hasan Mustafa jeung Karya-Karyana, menurut kesaksiannya, Bandung kala itu bergitu ramai, para pujangga, aparat pemerintah, dan petinggi-petinggi, dan tokoh-tokoh penting dari berbagai organisasi dan kalangan berkumpul dalam acara itu. Menurut laporan koran De Preangerbode ada sekitar 300.000 orang yang hadir. 

Selalin mengungkapkan kemeriahan-kemeriahan kongres yang bisa dirasakan oleh masyakarat Bandung, penulis juga mengungkapkan keputusan-keputusan penting yang dihasilkan. Menurut catatan Haji Hasan Mustafa, konggres ini menghasilkan 17 permintaan yang akan diserahkan ke pemerintah untuk ditindaklanjuti antara lain dalam hal pendidikan, sosial ekonomi, seperti  izin mendirikan sekolah guru agama Islam, dan kemudahan dalam perizinan membuka tanah. Selain itu dalam konggres ini Tjokroaminoto, Ketua Sarekat Islam dalam pidatonya yang menggebi-gebu  menyadarkan peserta konggres akan pentingnya memperjuangkan masyarakat pribumi. 

Selain 20 tulisan tentang Sarekat Islam Bandung yang secara berkala pernah dimuat di portal BandungBergerak.id, buku ini juga menyajikan kata sambutan dari Ketua Cabang Syarikat Islam cabang Kabupaten Bandung. Pilihan yang tepat dari penulis karena hal ini akan menyadarkan pembacanya bahwa organisasi Islam ini masih eksis di Bandung yang kini bahkan menjadi salah satu basis terbesar Syarikat Islam di Jawa Barat selain di Kabupaten Garut. 

Masih banyak hal-hal menarik yang dapat kita temui dalam buku ini. Dalam periode berdirinya SI Bandung di tahun 1912 hingga tahun 1916 kita akan banyak melihat bagaimana organisasi  berjuang untuk kesejahteraan masyarakat pribumi. Di periode ini walau didirikan oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional namun belum terlihat kalau organisasi ini bergerak ke arah pergerakan politik. Tentunya kita berharap buku ini ada kelanjutannya agar kita semua tahu apa yang terjadi dan bagaimana kiprah Sarekat Islam bandung di tahun-tahun setelah Congres Central Sarekat Islam digelar. 

Akhir kata saya sepakat dengan pemimpin redaksi BandungBergerak.id, Tri Joko Her Riadi yang dalam kata pengantarnya di buku ini berharap buku ini mampu memberikan  warna baru bagi pemaknaan Bandung sebagai kota pergerakan. Saya tambahkan setidaknya buku ini mengingatkan kita semua akan Bandung sejak awal abad ke 20 dikenal sebagai kota pergerakan!. Pemaknaan yang sepertinya kini tergeser menjadi sebagai Bandung sebagai kota wisata sehingga membuat Bandung selalu macet di setiap akhir pekan. 

@htanzil 

Review ini telah dimuat di BandungBergerak.id

tujuan untuk menggalang kerja sama antara pedagang Islam demi memajukan kesejahteraan pedagang Islam pribumi.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Sarekat Islam: Pendirian, Perkembangan, dan Perpecahan", Klik untuk baca: https://www.kompas.com/skola/read/2020/12/21/171147069/sarekat-islam-pendirian-perkembangan-dan-perpecahan?page=all.
Penulis : Gama Prabowo
Editor : Serafica Gischa

Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:
Android: https://bit.ly/3g85pkA
iOS: https://apple.co/3hXWJ0L

menggalang kerja sama antara pedagang Islam demi memajukan kesejahteraan pedagang Islam pribumi.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Sarekat Islam: Pendirian, Perkembangan, dan Perpecahan", Klik untuk baca: https://www.kompas.com/skola/read/2020/12/21/171147069/sarekat-islam-pendirian-perkembangan-dan-perpecahan?page=all.
Penulis : Gama Prabowo
Editor : Serafica Gischa

Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:
Android: https://bit.ly/3g85pkA
iOS: https://apple.co/3hXWJ0L

menggalang kerja sama antara pedagang Islam demi memajukan kesejahteraan pedagang Islam pribumi.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Sarekat Islam: Pendirian, Perkembangan, dan Perpecahan", Klik untuk baca: https://www.kompas.com/skola/read/2020/12/21/171147069/sarekat-islam-pendirian-perkembangan-dan-perpecahan?page=all.
Penulis : Gama Prabowo
Editor : Serafica Gischa

Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:
Android: https://bit.ly/3g85pkA
iOS: https://apple.co/3hXWJ0L

Tuesday, November 16, 2021

Sumur

[No.400]
Judul : Sumur
Penulis : Eka Kurniawan
Desain sampul & ilustrasi : Umar Setiawan
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : 2021
Tebal : 48 hlm
ISBN : 978-602-065324-2

Air adalah salah satu sumber kehidupan yang tidak tergantikan. Manusia tidak dapat hidup tanpa air. Kita akan melakukan apapun, bahkan rela berkorban untuk memperoleh air entah itu untuk minum atau untuk melakukan berbagai aktivitas keseharian kita, apalagi bagi mereka yang usaha/pekerjaannya sangat bergantung akan ketersediaan air. 

Dalam cerpen panjang Sumur karya Eka Kurniawan ini air menjadi sumber konflik yang menyebabkan dua sahabat menjadi dua seteru. Dikisahkan sejak kecil Toyib dan Siti bersahabat, demikian juga dengan kedua orang tua mereka. Ayah Toyib bersahabat dengan Ayah Siti. Sayangnya karena berebut air dari mata air yang mulai seret airnya karena kemarau yang berkepanjangan membuat persahabatan antara ayah Toyib dan ayah Siti berakhir dengan tragis.

Sengketa air  berujung pada sebuah duel diantara mereka yang membuat nyawa Ayah Siti melayang, sementara Ayah Toyib harus mendekam di penjara untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya. 

Tragedi ini membuat persahabatan antara Toyib dan Siti seakan membeku. Mereka tidak pernah lagi bertemu. Empat tahun kemudian ketika ayah Toyib bebas dari penjara, untuk menebus rasa bersalahnya terhadap sahabatnya, Ayah Toyib menitipkan sejumlah uang yang didapat dari jasa bengkel yang dilakukannya selama di penjara kepada Toyib untuk diserahkan ke keluaga Siti.

Toyib tak dapat menolak permintaan ayahnya. Pada ayahnya Toyib tak bisa mengatakan bahwa ia tak lagi berteman dan berbicara lagi dengan Siti. Meskipun begitu Toyib bersedia untuk membawa uang itu untuk diberikan pada ibunya Siti.

Saat itu mata air dan paritnya yang menjadi sengketa antara ayah Toyib dan ayah Siti sudah mengering. Satu-satunya sumber air yang tersisa hanyalah sebuah sumur di sebuah lembah di balik bukit kecil di seberang perkampungan mereka. Setiap hari Toyib dan Siti mengambil air di sumur tersebut, namun  selama ini Toyib sengaja menghindar untuk bertemu Siti hingga akhirnya ia memberanikan diri menemui Siti di sumur untuk menyampaikan uang titipan ayahnya. 

Pertemuan yang canggung dan kaku. Siti menolak untuk menerima uang tersebut. Sepulang dari sumur, Siti terjatuh. Toyib menolongnya, namun hubungan mereka tidak menjadi pulih. Walau demikian semenjak peristiwa itu Toyiblah yang setiap hari mengambilkan air untuk keluarga Siti. Namun Siti tetap tidak mau menemuinya. Ia hanya mengintip dari dalam rumahnya ketika Toyib menuangkan air sumur ke tempat penampungan air di rumah Siti. Ssuatu saat Toyib menyadari bahwa tidak ada lagi mata Siti yang mengawasinya dari celah bambu di rumahnya.

Toyib dan Siti terpisah oleh jarak. mereka menjalani pahit getir kehidupannya masing-masing. Setelah sekian lama mereka tidak saling bertemu akhirnya takdir mempertemukan mereka kembali dalam sebuah pertemuan yang canggung di sumur yang sama seperti yang pernah mereka lakukan di tahun-tahun yang lampau.  

Cerpen panjang Sumur adalah sebuah kisah yang muram sejak awal hingga akhir, namun bukan berarti cerpen ini menjadi tidak menarik. Kisah Toyib dan Siti  dituturkan dengan kalimat-kalimat lugas dan padat. Tak ada kalimat yang mendayu-dayu untuk melukiskan kehidupan muram para tokoh-tokohnya. Dibalik kemuraman kisahnya tampaknya  ada maksud yang hendak disampaikan oleh penulisnya yaitu bagaimana perubahan iklim menyebabkan lingkungan alam yang berubah. Perubahan yang tidak hanya berdampak luas pada kehidupan masyakat secara umum melainkan berdampak baik secara fisik maupun psikis pada entitas yang terkecil yaitu individu-individu dalam keluarga.

Kisah sumur  merupakan karya Eka Kurniawan yang awalnya ditulis dalam bahasa Inggris dengan judul The Well yang dimuat dalam buku Tales of Two Planets: Stories of Climate Change and Inequality in a Divided World [Kisah Dua Planet: Cerita-Cerita tentang Perubahan Iklim dan Kesenjangan dalam Satu Dunia yang Terbelah] yang diterbikan oleh penerbit terknal, Penguin Books, 2020. Buku setebal hampir 300 halaman itu memuat esai, cerpen, dan puisi 36 penulis dari berbagai negara  dengan tema perubahan iklim dan kesenjangan.

Sesuai dengan dimana cerpen Sumur ini dimuat, penulis melatari kisah Toyib dan Siti dengan dampak peruibahan iklim  yang ada di kampung mereka dengan sangat baik. Mata air yang tadinya mengalir deras untuk mengairi sawah dan berbagai keperluan hidup penduduk desa lambat laun menjadi semakin kecil alirannya dan mengering. 

Mata air tak juga kembali. Kemarau lebih panjang dari musim penghujan yang sesingkat hidup bunga malam. Bebukitan tak hanya semakin cokelat, tapi juga semakin gersang. Para cukong datang dan membujuk para penduduk kampung menjual kayu-kayu yang tesisa, dan itu berarti uang yang mudah didapat. Pohon-pohon menghilang, dan itu membuat air semakin sulit. Karena air semakin sulit, pohon-pohon semakin enggan bertunas. Tak seorang pun termsuk Toyib mengerti bagaimana memotong lingkaran itu, hingga akhirnya tak ada lagi yang bertanya 
(hlm 34)

Kampung tersebut menjadi tidak lagi memiliki masa depan yang pasti, anak-anak muda terpaksa harus ke kota untuk mencari penghasilan. Ternyata di kota, di daerah-daerah yang padat dengan pemukiman penduduk air pun sama langkanya. Hal ini tergambar ketika penulis menceritakan kehidupan salah satu tokohnya. 

Pengantin baru itu tinggal di rumah petak yang hanya terdiri dari satu kamar, satu ruang tamu merangkap tempat menyimpan berbagai perkakas dapur, serta jamban kecil yang airnya harus beli dari pikap penjual air dalam ember besar. Mereka memang bisa menanam pompa air menembus bumi, dan mungkin tak perlu sedalam sumur di kampung, tetapi air yang yang keluar butek dan sedikit berbau, mereka hanya menggunakannya untuk mencuci piring.  (hlm 37)

salah satu ilustrasi dalam buku ini
 

Pada intinya cerpen ini adalah cerpen yang menggambarkan tentang perubahan iklim  yang dibalut dengan drama kisah cinta antar tokohnya yang menarik. Jadi lewat cerpen ini kita akan mengetahui bagaimana dampak perubahan iklim mempengaruhi lingkungan manusia  ke kehidupan individu-individu yang ada di cerpen ini. 

Walau cerpen ini berisi pesan dampak perubahan iklim terhadap lingkungan namun kekuatan kisah yang dibangun oleh penulisnya membuat pembaca tidak seperti dikuliahi pesan-pesan bertema lingkungan namun terhanyut dalam kisah Toyib dan Siti yang muram. 

Sebagai sebuah cerpen, buku ini dikemas dengan sangat menarik. Jika biasanya cerpen dimuat dalam sebuah antologi bersama cerpen-cerpen lainnya, lain halnya dengan karya ini. Penerbit  memilih untuk menerbitkannya dalam sebuah buku yang hanya berisi satu cerpen saja setebal 48 halaman dengan ukuran buku lebih kecil dari ukuran buku normal.

Buku kecil dan tipis mungkin tidak akan menarik perhatian, namun tidak dengan buku ini.  Karena disajikan dengan cover yang menarik dan dikemas dalam sebuah amplop yang ilustrasinya sama dengan covernya, ditambah beberapa ilustrasi hitam putih yang dilukis dengan detail ditambah ketenaran penulisnya membuat buku ini menjadi buku yang layak untuk dikoleksi.  


 Sebuah pesan menarik
dari penerbit di pembatas buku ini juga menambah daya tarik tersendiri. Mengajak pembaca untuk memiliki buku ini karena hanya akan dicetak sekali sehingga akan menjadi buku langka. 

 @htanzil