Tuesday, December 11, 2012
Post Kolonial & Wisata Sejarah dalam sajak - Membaca Sejarah yang dipuisikan
[No. 299]
Judul : Post Kolonial & Wisata Sejarah dalam sajak.
Penulis : Zeffry Alkatiri
Penerbit : Padasan
Cetakan : I, 2012
Tebal : 192 hlm
Kita sering membaca sejarah ditulis dalam bentuk buku teks atau difiksikan dalam bentuk novel, namun sejarah yang ditulis, diinterpretasikan, dan dibukukan dalam bentuk puisi rasanya baru kali ini kita menemukannya dalam buku "Post Kolonial Wisata Sejarah dalam Sajak" karya Zeffry Alkatiri, penyair, pengamat sejarah yang juga pengajar dan peneliti di Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UI.
Dalam buku kumpulan puisinya ini Zeffry menafsirkan sejarah dalam bentuk puisi/sajak dalam kalimat-kalimat yang lugas, tanpa kiasan-kiasan atau metafora-metafora yang kadang membingungkan pembacanya. Semua puisinya ditulis dalam bentuk sajak realis sarat dengan kritik sosial yang langsung mengena hati dan pikiran pembacanya.
Sebagai contoh mari kita lihat sajak berjudul Smakelijk Eten, Meneer! yang menggambarkan bagaimana posisi para meneer Belanda dan ungkapan kekesalan jongos pribumi yang melayani mereka di masa kolonial dulu.
"Smakelijk eten, Menner!"
Diucapkan oleh para jongos berseragam tanpa sepatu
Yang antre menyediakan Risjsttafel dalam nampan-nampan
Kepada para Dewa dan Dewi kemakmuran
Yang mulutnya seperti gua
Yang tak pernah selesai menelan segala.
"Makanlah apa yang tuan mau"
Kami akan sediakan.
Kami akan sediakan,
Smakelijk eten, Meneer!"
Cuah!!
(2010)
Buku ini memuat 117 sajak yang terbagi dalam dua bagian besar yang mengikuti periode historis sejarah Indonesia dan dunia, bagian pertama terdiri dari 21 puisi dengan tema nusantara sejak kedatangan pengembara asing yang pertama hingga keadaan Indonesia di masa kolonialisme dan setelahnya . Bagian kedua terdiri dari 96 puisi yang diberi nama Wisata Sejarah yang merupakan tafsiran penulis dari penggalan sejarah bangsa-bangsa di dunia.
Di bagian pertama puisi yang menurut saya paling menarik adalah puisi berjudul "Kami Hanya Menonton: Pengakuan si Midun, si Amat, dan si Inah (Dari Buyut sampai Cucu). Puisi ini merupakan puisi yang terpanjang dalam buku ini, tersaji dalam 104 stanzah, 28 halaman, dalam cakupan periode historis sejak jaman kolonial Belanda hingga masa kini. Puisi ini merekam keadaan sejarah dan kondisi sosial Indonesia dari masa ke masa. Berikut saya cuplikkan beberapa stanzah secara acak (bukan dalam urutan aslinya) dalam puisi ini yang mewakili beberapa periode waktu.
Kami sering menonton:
Ketika para nyonya dan noni
Membeli roti dan kue-kue
Di toko Van Otten dan Borgerij
Kalau sudah begitu
Kami hanya bisa membayangkan
Kue tampah murah Mpok Minah
......
Kami menonton
Orang Belanda dan Indo
Dikerangkeng seperi di kebon binatang
Kami melihat : tubuh mereka kurus dan kumal
Tak bedanya dengan kami yang berada di luar.
.......
Kami menonton:
Banyaknya orang antre beras dan minyak
Di wilayah kampung kami setiap hari
Kami melihat :
Banyak perempuan muda tak mampu
Membeli jepitan rambut paling murah sekalipun
Dan kami juga menonton:
Mulai banyak orang tidur di kolong jembatan,
Di tempat pembuangan sampah, dan di emperan jalan.
Sementara kami menonton:
Presiden kami kawin lagi.
....
Kami menyaksikan :
Generasi baru kami hanya mengenal
Para pahlawan dari beberapa negeri asing
Yang mempunyai nomor dan nama
Di punggung mereka
.....
Kami menonton :
Iring-Iringan mobil presiden hampir setiap hari di Jakarta
Kalau sudah begitu:
Kami harus menunggu lama karenanya.
Bahkan pernah ada seorang ibu yang terpaksa harus melahirkan di jalan.
Sementara presiden, wakil presidan dan para istrinya senyam senyum saja
Melihat jalanan yang dirasakan lenggang olehnya.
....
Ada banyak sekali puisi-puisi menarik dalam buku ini. Bagian pertama dengan mudah kita dapat memahaminya karena pada umumnya kita mengetahui sejarah bangsa kita sendiri, namun di bagian kedua (Wisata Sejarah) dimana berisi puisi-puisi tentang sejarah bangsa-bangsa di dunia walau ditulis dalam puisi yang relaitf pendek-pendek (hanya dalam beberapa baris saja) namun bagi kita yang tidak memahami latar sejarah dunia yang memadai rasanya akan sulit untuk menangkap isi dari puisi-pusi di bagian kedua buku ini.
Buku ini saya rasa baik untuk dibaca siapa saja yang ingin mengetahui sejarah lewat puisi yang realis, terlebih bagi mereka yang suka sejarah. Buku ini menawarkan kebaharuan dalam membaca dan menginterpretasi sejarah plus kritik-kritik sosialnya dalam dalam bentuk puisi. Mona Lohanda dalam kata penutupnya mengatakan bahwa lewat puisi-puisi dalam buku ini "Kita diajak untuk menjadi bijaksana, belajar dari sejarah, belajar menjadi bangsa yang berdikari-mandiri dan berbangga diri"
Buku ini juga dipilih oleh dewan juri Khatulistiwa Litrary Award (KLA) 2012 sebagai pemenang kategori puisi. Dalam laporan pertanggung jawabannya dewan juri berpendapat bahwa :
Ia menghadirkan semacam kritik atas kritik, dengan mengajukan banyak pertanyaan terhadap kenyataan yang dianggap mapan. Sebuah intervensi yang khas sastra terhadap upaya menghadirkan sejarah yang lurus dengan pikiran yang logis.
Satu hal yang menjadi catatan juri KLA 2012 atas buku ini adalah soal judulnya yang tidak mencerminkan sebuah buku puisi :
Satu-satunya masalah dengan kumpulan ini yang dirasakan juri adalah judulnya, yang bisa membuat orang salah mengira sedang berhadapan dengan sebuah tesis ilmiah, dan juga berpotensi mematahkan gairah membaca
@htanzil
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteLuar biasa. aku suka buku ini. terima kasih. numpang yach....Bagi teman-teman yang tertarik belajar bahasa Inggris full conversation Gratis, lengkap dengan modul (pdf) + audio (mp3). silahkan buka link http://to.ly/hUAG
ReplyDelete