Judul : Tidur Berbantal Koran - Kisan Inspiratif Seorang Penjual Koran Menjadi Wartawan
Penulis : N. Mursidi
Penerbit : Elexmedia Komputindo
Cetakan : I, 2013
Tebal : 243 hlm
Sebagai
seorang yang sangat suka membaca saya selalu
tergelitik ingin tahu apakah orang-orang yang pekerjaannya menjual bahan-bahan
bacaan seperti penjual koran, penjual
buku-buku bekas, pramugari toko buku, dll membaca juga apa yang mereka jajakan? Jika memang demikian tentunya akan banyak
sekali manfaat yang mereka peroleh dari apa yang mereka jajakan karena
buku, koran, majalah, dll adalah sumber pengetahuan dan ispirasi hidup yang
begitu mudah mereka dapatkan hanya dengan cara membacanya.
Itulah yang
dialami N. Mursidi, seorang anak desa yang mencoba
membiayai kuliahnya di Jogya dengan cara berjualan koran. Sebelumnya cita-citanya
hanyalah bisa kuliah dan memperoleh pekerjaan yang layak. Namun siapa
sangka, dari yang tadinya berjualan koran hanya untuk sekedar membiayai hidup
dan kuliahnya ternyata dari koran-koran yang ia jajakan itu jalan hidup dan
mimpinya berubah.
Berawal dari seorang tukang becak yang selalu membeli korannya untuk dibacanya membuat Mursidi tergeragap melihat begitu antusiasnya seorang tukang yang rela menyisihkan sedikit hasil jerih lelahnya untuk membeli koran dan membacanya dengan tekun.
Berawal dari seorang tukang becak yang selalu membeli korannya untuk dibacanya membuat Mursidi tergeragap melihat begitu antusiasnya seorang tukang yang rela menyisihkan sedikit hasil jerih lelahnya untuk membeli koran dan membacanya dengan tekun.
“Aku merasa
malu pada diriku sendiri. Selama tujuh hari berjualan koran, aku tidak pernah
membaca koran yang kujajakan sendiri. Aku seperti tidak peduli dengan apa yang
kujual karena yang kuinginkan adalah koranku lalu… Tak pernah aku meluangkan
waktu untuk membaca dengan detail isi berita koran yang kujual” (hlm 5-6)
Tergugah oleh apa yang dilakukan tukang becak itu maka iapun tergerak untuk membaca setumpuk koran yang
dijualnya. Dari apa yang dibacanya itu Mursidi menemukan sebuah opini yang
ditulis mahasisiwa di sebuah rubrik koran yang dijualnya. Dari situ dirinya tersadarka akan sebuah kenyataan bahwa mahasiswa seperti dirinya
bisa menulis di koran apalagi ketika dirinya membaca rubrik resensi di koran
Mingggu yang biasanya ditulis oleh para mahasiswa. Saat itulah ia memutuskan
untuk bisa menulis di koran.
“Setiap
selesai membaca tulisan-tulisan penulis yang masih berstatus mahasiswa itu,
otakku serasa mendidih bagai air yang dijerang di atas tungku. Ada sekelebat
mimpi di dadaku yang memompaku untuk bisa menulis; menorehkan namaku di koran
seperti mereka. Maka dalam hati, aku berjanji bahwa suatu saat nanti aku harus
bisa menulis di koran.” (hlm 6)
Semenjak itu
pula dirinya makin rajin membaca koran
yang dijualnya dan mempelajari tulisan yang dimuat secara koran secara
otodidak dan mulailah ritual baru dalam kehidupannya, pagi berjualan koran dan
membaca koran setiap ada kesempatan, siang berangkat kuliah, dan malam harinya
menulis dengan mesin tik bekas yang dibeli dari temannya. Demi menghasilkan tulisan ia rela memotong waktu tidurnya agar memiliki waktu banyak untuk menulis dan mencoba mengirimkan tulisan-tulisannya ke sejumlah koran.
"Waktu itu, aku memang sengaja tidak membeli bantal agar jam tidurku tidak berkepanjangan. Tak salah, karena di kamar banyak buku, maka buku-bukuku itulah yang kerap kujadikan bantal. Tak jarang, aku pun bahkan memakai alas tumpukan koran sebagai bantal" (hlm 172-173)
Namun tak
semudah yang ia bayangkan, ia harus menghadapi banyak tantangan, ada banyak jalan berliku, perjuangan yang
tidak mudah, persaingan yang ketat antara sesama penulis, dan ekstra kesabaran yang harus dilakonimya
sebelum akhirnya tulisannya dimuat di koran. Dan karena ketekunannya membaca dan menulis secara otodidak pada akhirnya tidak hanya satu dua tulisan yang berhasil dimuat di koran melainkan ratusan tulisannnya menghiasi berbagai koran lokal dan nasional dan hal ini pula yang akan mengantar dirinya menjadi seorang
wartawan dan penulis tetap di sebuah majalah islami terkenal hingga kini.
Semua
pengalaman N. Mursidi dari seorang penjual koran menjadi wartawan tersebut
tertuang dalam buku memoarnya yang berjudul “Tidur Berbantal Koran”. Buku ini tersaji dalam 4 bagian besar. Di bagian pertama dikisahkan suka duka penulis berjualan koran di
jalanan, bagaimana trik-triknya untuk mendapatkan pembeli, serta
bagaimana kerasnya hidup di jalanan dan bagaimana penulis dengan hidup nomaden dengan sepeda Onthelnya
Pengalaman penulis ketika belajar menulis secara otodidak dengan mesin tik bekas di malam hari bagaimana perjuangan penulis agar tulisannya dimuat di koran tersaji di bagian kedua dan ketiga. Ada berbagai pengalaman menarik di bagian ini antara lain bagaimana tulisannya menjadi pembungkus nasi yang sedang disantapnya, pengalaman pertama mengirim resensi via email, dan bagaimana pengalaman pahitnya ketika ia diejek teman-temannya karena terus menerus menerima surat pengembalian resensi dari Kompas.Dan di bagian akhir bagian ketiga ini penulis juga menyuguhkan tips-tips membuat resensi berdasarkan pengalamannya
Di bagian ke empat, yang merupakan bagian akhir dari memoar ini ada bagian yang menyuguhkan tips dan buah manis dari perjuangannya menulis untuk koran seperti tips membaca koran dan menyelami apa yang ada di balik teks, dan kisah bagaimana akhirnya penulis hijrah ke Jakarta dan diterima sebagai wartawan di sebuah majalah Islami terkenal.
Singkatnya lewat memoar yang tersaji dengan menarik dan ditulis dengan jujur dan apa adanya ini akan mendorong pembacanya untuk tidak menyerah dalam menggapai mimpi walau seribu kesulitan dan tantangan menghadang. Buku ini cocok sekali untuk memotivasi para penulis yang sedang mencoba menjajal kemampuan menulisnya dan sedang memimpikan namanya tercetak di koran-koran.
Lewat buku ini pembaca akan diajak menapaki jejak perjuangan penulis dimana awalnya ia begitu sulit menembus koran namun berkat ketekunan dan kerja kerasnya akhirnya si mantan penjual koran ini berhasil menjadi penulis produktif dimana hingga kini ada sekitar 300an tulisannya (opini, essai, cerpen, resensi) yang sudah dimuat di koran lokal dan nasional. Tak berlebihan rasanya jika harian Jurnal Nasional menyebutnya sebagai "Raja Resensi"
Lewat buku ini pembaca akan diajak menapaki jejak perjuangan penulis dimana awalnya ia begitu sulit menembus koran namun berkat ketekunan dan kerja kerasnya akhirnya si mantan penjual koran ini berhasil menjadi penulis produktif dimana hingga kini ada sekitar 300an tulisannya (opini, essai, cerpen, resensi) yang sudah dimuat di koran lokal dan nasional. Tak berlebihan rasanya jika harian Jurnal Nasional menyebutnya sebagai "Raja Resensi"
Satu-satunya kritik terhadap buku ini adalah pada label yang diberikan penerbit pada memoar ini. Di cover buku ini tepatnya di atas nama penulisnya tertera tulisan "Sebuah Novel" padahal dalam pendahuluannya penulis dengan jelas menyebutkan bahwa buku ini adalah Memoar. Lalu kenapa menjadi novel? padahal novel dan memoar adalah dua hal yang berbeda. Atau apakah ini novelisasi dari pengalaman penulis? Dalam sebuah kesempatan saya pernah menanyakan langsung pada penulisnya, dan beliau mengatakan bahwa semua yang ditulis dalam buku ini adalah kisah nyata dan tidak ada dramatisasi kisah seperti layaknya sebuah novel yang diangkat dari kisah nyata.
Jika ini memoar, kenapa penerbit mencantumkan label novel pada buku ini? Apakah ini hanyalah strategi pasar? Bagi seorang pembaca saya tentunya tidak bisa menerima alasan ini karena yang dibutuhkan pembaca sejati adalah buku yang kemasannya (cover, label, judul, sinopsis, dll) mencerminkan isi buku yang sesuai dengan apa yang hendak disampaikan penulisnya.
###
@htanzil
Untuk membaca tulisan2 N. Mursidi silahkan membaca blog bukunya Etalase Buku
Tips-tips menulis resensi buku ala N. Mursidi dapat dibaca di Program Indonesia Menulis sebuah blog "Sekolah Menulis Gratis" yang dibuka untuk umum dan tak dipungut biaya (gratis)
N. Mursidi saat diwawancarai TV One dalam acara "Apa dan Siapa" dengan judul
"Dari Jalanan untuk Masa Depan” yang ditayangkan pada tgl 18 November 2011 bisa dilihat
di sini
Jika ini memoar, kenapa penerbit mencantumkan label novel pada buku ini? Apakah ini hanyalah strategi pasar? Bagi seorang pembaca saya tentunya tidak bisa menerima alasan ini karena yang dibutuhkan pembaca sejati adalah buku yang kemasannya (cover, label, judul, sinopsis, dll) mencerminkan isi buku yang sesuai dengan apa yang hendak disampaikan penulisnya.
###
@htanzil
Untuk membaca tulisan2 N. Mursidi silahkan membaca blog bukunya Etalase Buku
Tips-tips menulis resensi buku ala N. Mursidi dapat dibaca di Program Indonesia Menulis sebuah blog "Sekolah Menulis Gratis" yang dibuka untuk umum dan tak dipungut biaya (gratis)
N. Mursidi saat diwawancarai TV One dalam acara "Apa dan Siapa" dengan judul
"Dari Jalanan untuk Masa Depan” yang ditayangkan pada tgl 18 November 2011 bisa dilihat
di sini
3 comments:
saya pengen buku ini, bisa tau dapet dari mana?
Baru aja ngerasa familiar, ternyata emang cerita narasumber yang diwawancara di tvone waktu itu. Memang menakjubkan ceritanya.
apa kelebihan dan kekurangan di buku ini
Post a Comment