Thursday, June 20, 2013

Ayah Menyayangi Tanpa Akhir by Kirana Kejora

[No. 310]
Judul : Ayah Menyayangi Tanpa Akhir
Penulis : Kirana Kejora
Penerbit : Zettu
Cetakan : I, 2013
Tebal : 372 hlm

"Novel ke 17 ini berdasar kisah nyata tentang mensyukuri & menikmati arti kesepian, kehilangan. Pada saatnya kita memang harus sendiri." 

Demikian tulis Kirana Kejora di lembar-lembar awal novelnya ini, novel yang mengisahkan tokoh bernama Arjuna Dewanga (Juna) seorang ayah muda yang harus menjadi orang tua tunggal karena ditinggal istri tercintanya yang meninggal saat melahirkan anaknya semata wayang.

Arjuna Dewanga awalnya mungkin tak pernah menduga ia akan menikah muda untuk kemudian menjadi orang tua tunggal. Ketika masih kuliah di Jogya Arjuna berpacaran dengan Keisha Maizuki, gadis Jepang yang sedang mengikuti program penelitian dan pertukaran mahasiswa di jurusan arkeologi FIB UGM. Sayangnya hubungan mereka tidak direstui oleh kedua orang tua mereka. Tidak ingin cinta mereka kandas mereka memutuskan untuk menikah dalam usia muda walau tanpa restu dari orang tua masing-masing.

Pernikahan mereka membuahkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Rajendra Mada Prawira atau kerap dipanggil Mada. Sayangnya Kiesha meninggal saat melahirkan Mada hingga akhirnya Juna harus sendirian mengurus putranya seorang diri dengan dibantu oleh dua orang pembantunya yang setia.

Sepeninggal istrinya, Juna memutuskan untuk tinggal di Jakarta bersama anak dan dua orang pembantunya. Karir Juna sebagai seorang apoteker melejit dan dengan usahanya sendiri ia menjadi eksekutif muda yang sukses yang dengan segala kesibukannya tetap memperhatikan Mada. Juna adalah sosok pria pekerja keras, dengan ketampanan dan kekayaannya  ia banyak dikagumi para wanita. Namun tekad Juna sudah bulat, ia memilih tidak menikah dan mengurus  Mada sendirian. Ia memilih menjadi seorang ayah sekaligus Ibu yang mencintai dan membesarkan Mada dengan cintanya yang tiada berakhir. 

Novel ini menceritakan dengan detail bagaimana Juna membesarkan anaknya mulai dari bayi hingga beranjak remaja dengan segala suka duka dan tantangan-tantangan yang dihadapi seperti bagaimana menghadapi Mada yang sakit, mengantar Mada ke sekolah untuk memperingati hari Ibu, bagaimana Juna menghadapi perubahan- perubahan fisik dan cara berpikir Mada yang mulai menginjak remaja, hingga perjalanan napak tilasnya ke Jogya dan Solo bersama Mada untuk menjejaki tempat-tempat dimana Juna dan Keisha pernah menikmati kebahagiaan sebagai sepasang suami istri.

Tadinya saya mengira novel ini adalah novel yang mengharu biru dan sarat dengan drama romantik dari seorang ayah yang begitu menyangi anak semata wayangnya. Ternyata tidak. Kisah mengharukan baru akan kita temui di bab-bab terakhir novel ini ketika Mada terserang penyakit mematikan. Tidak banyak konflik yang terjadi di sepanjang novel yang terbagi dalam 46 bab ini. Kalaupun ada konflik antara tokoh-tokohnya semua terselesaikan dalam satu atau bebarapa bab yang dalam setiap babnya hanya menghabiskan 3-5 halaman saja.

Novel ini  tidak sekedar menceritakan bagaimana suka duka seorang ayah membesarkan anak semata wayangnya seorang diri dan gambaran cinta seorang ayah terhadap anaknya saja namun novel ini juga kaya dengan muatan-muatan ensiklopedis tentang banyak hal yang membuat pembaca terbuka wawasannya baik secara filosofis maupun pengetahuan.

Seiring perjalanan tokoh Juna dengan Mada yang merupakan tokoh sentral dalam novel ini, penulis memasukkan banyak sekali ragam pengetahuan bagi pembacanya mulai dari filosofi elang dan filosifi baju tradisional Jawa, kota buku Jimbocho dan perayaan Hanami di Jepang, perjalanan sebuah grup band rock, keraton Pakubuwana, sejarah warung angkringan sego kucing, candi sukuh, prambanan dengan sendratari Ramayana, profil Gajah Mada,  dan  masih banyak lagi.

Ragamnya muatan enskiklopedis dalam novel ini di satu sisi memang dapat menambah wawasan pengetahuan pembacanya namun di sisi lain dapat membuat alur cerita dari novel ini menjadi  tersendat karena adanya paragraf-paragraf yang menjelaskan tentang hal-hal di atas. Bagi mereka yang menyukai kisah dengan alur kisah yang mengalir dan dramatik kehadiran muatan ensiklopedis dalam novel ini dapat dianggap sebagai hal yang cukup mengganggu.

Sebaliknya bagi mereka yang menyukai novel yang tidak hanya menyuguhkan sebuah drama kehidupan semata novel ini dapat menjadi pilihan terbaik. Kisah dengan muatan budaya, filosofi, sejarah, dan pengetahuan dalam buku ini membuat novel ini sangat baik dibaca oleh para pelajar atau siapa saja dan memiliki rentang keterbacaan yang panjang mulai dari usia remaja hinga dewasa. 

Yang menjadi ganjalan bagi saya di  novel ini  adalah adanya beberapa adegan merokok yang dilakukan Juna, jika adegan merokok itu dideskripsikan ketika Juna seorang diri, atau bersama teman-temannya mungkin tidak terlalu masalah,  tapi sayangnya yang dideskripsikan adalah adegan Juna merokok di depan istrinya yang sedang hamil, dan di depan anaknya yang masih remaja. Bahkan ada satu adegan ketika Juna dan Mada berada dalam perpustakaan pribadinya  Tentunya merokok dalam satu ruangan baik itu bersama istri yang sedang hamil atau dengan anak bukanlah tindakan yang baik untuk kesehatan si istri dan anak.

Satu hal lagi seperti luput dari penceritaan penulis adalah tentang kayakinan Juna dan Keisha yang pada dasarnya berbeda budaya . Dalam hal ini penulis tidak menceritakan apakah mereka sedari awal memang memiliki satu keyakinan/agama? penulis hanya menceritakan bahwa mereka melakukan akad nikah di sebuah masjid kecil di Semarang. Jika memang sudah satu keyakinan sebaiknya ada sedikit penjelasan yang melatari bagaimana Keisha seorang gadis Jepang menjadi seorang muslim mengingat tidak banyak orang Jepang yang menganut agama Islam.

Namun terlepas dari semua itu novel ini mendapat sambutan  yang baik dari pembacanya. Menurut penulisnya dua minggu sejak diluncurkan novel ini telah dicetak ulang dua kali dan telah dicetak sebanyak 10 rb eks, dan kabarnya novel ini juga mulai dilirik para filmmaker untuk diangkat ke layar lebar.

Yang pasti kisah dalam novel ini membuat kita memahami akan arti kesendirian, kesetiaan,hubungan antara ayah dan anak, pengorbanan, perjuangan hidup, dan cinta ayah yang tak akan pernah berakhir pada anaknya. Dan muatan ensiklopedisnya membuat novel ini menjadi novel yang memberi banyak pengetahuan kepada pembacanya

Dan akhir kata, seperti yang diungkap penulis buku ini kepada  harian Media Indonesia bahwa novel ini akan mengingatkan kita semua bahwa pada saatnya manusia memang harus sendiri.

"Karenanya jangan menggantungkan diri pada siapa pun, Semua harus dihadapi sendiri, mandiri, tetapi juga bisa memberi. Kita lahir sendiri, kembali kepada-Nya pun sendiri. Artinya, bersiaplah selalu bertanggung jawab atas kehidupan kita sampai nanti"

@htanzil

Tuesday, June 04, 2013

30 Hari Keliling Sumatera - Ary Amhir


[No.309]
Judul : 30 Hari Keliling Sumatra
Penulis : Ary Amhir
Penerbit : Dolphin
Cetakan : I, 2013
Tebal : 278 hlm

"Tetapi apalah artinya perjalanan jika kau semata berjalan saja. Perjalanan  bagiku adalah juga belajar, membaca yang tersirat, dan menemukan makna sebuah pencarian" (hal 273)

Itulah arti perjalanan bagi Ary Amhir, gadis petualang yang juga suka menulis. Menyimak catatan perjalanannya yang dibukukan dengan judul 30 Hari Keliling Sumatra ini membuktikan apa yang diyakininya tentang maksa sebuah perjalanan.

Tulisan-tulisan dalam buku ini tidak hanya memuat keindahan alam di berbagai tempat yang dikunjunginya atau sekedar berbagi tips melakukan perjalanan keliling Sumatera melainkan sarat dengan muatan budaya, legenda, makna kearifan lokal, humanisme, dan ketinggalan kritik sosial  yang hampir selalu ia tulis di setiap tulisannya.

Buku yang terbagi dalam 32 bagian ini dimulai dengan kisah perjalanan seorang diri ke Pariaman, Sumatra Barat  untuk memenuhi undangan pernikahan salah seorang temannya, sesama mantan TKI di Malaysa. Di bagian ini alih-alih menuliskan tentang pesona alam atau kekhasan bangunan di Pariaman, penulis memulainya dengan  rumah-rumah yang hancur akibat gempa Padang dan bertebarannya tenda-tenda putih tempat tinggal sementara para pengungsi paska gempa dahsyat di Padang pada tahun 2009 yang lalu

Setelah itu dengan lancar Ary dalam setiap babnya ia  menulis tentang adat membeli lelaki di Padang, semangat penduduk Pariaman setelah gempa,  gempa Mentawai dan Adat Dedaunan, pemanggil Roh di Toba,  Jejak Amir Hamzah di Tanjung Pura. dll.

Kehidupan rakyat kecil tak luput dari pengamatannya, antara lain kisah Baharudin si Tukang Becak  lulusan SMA yang tidak memiliki ijazah karena tidak memiliki uang untuk melunasi SPP-nya. Selain itu ada pula kisah tentang Perempuan Penyapu Jalan di Takengon, dan kisah para kuli bangunan seusai gempa. Semuanya itu mengingatkan kita akan kehidupan dan problematika rakyat kecil yang kadang dilupakan oleh para penulis catatan perjalanan 

Gambaran tentang Aceh, serambi mekah juga tak luput dari pengamatan kritisnya. Di tulisannya yang berjudul Mencecap Negeri Hijab ini penulis mengangkat tentang Hijab yang wajib dipakai di Aceh dimana sebagian wanita Aceh menggenakannya bukan karena kesadaran akan makna pemakaian kerudung melainkan karena  peraturan mengharuskannya. Sebagai contoh apa yang diamati penulis ketika ia berada dalam bus yang membawanya keluar dari Banda Aceh, ketika  bus yang ditumpanginya  telah meninggalkan Banda Aceh tampak seorang perempuan muda segera  melepas jacket dan kerudungnya sehingga tampak ia menggenakan t-shirt hitam seksi yang memperlihatkan tengkuk putihnya.

Nasib petani Sawit di Sumatera juga menjadi salah satu bagian yang menarik dalam buku ini. Dalam kisah yang diberinya judul Sawit Sang Idola, penulis mengungkapkan bagaimana belantara Sumatra yang semakin menipis karena kini kebun-kebun karet dan persawahan berganti wajah menjadi kebun Sawit.

Sawit memang pernah menjadi idola petani Sumatra. Pada awalnya beberapa petani sawit merasakan  keuntungan yang besar ketika sawit yang ditanamnya berhasil dipanen sehingga sebagian besar petani ikut-ikutan menanam sawit. Sawit yang awalnya menjadi primadona bagi rakyat Sumatra ternyata lambat laun tidak mampu mensejahterakan para petani, bahkan kini sawit dituduh berperan dalam memiskinkan petani tradisional Sumatra.

Selain perkebunan sawit, perkebunan  tembakau Deli yang pernah begitu terkenal dan mendunia juga bernasib sama. Kini pesona tembakau Deli dan PTPN yang mengelolanya semakin meredup Mengapa bisa demikian? beberapa penyebabnya mungkin pernah kita dengar di berita-berita namun apa kata para mantan petani dan buruh tembakau Deli? di bab berjudul Memoar Jatuhnya Tembakau Deli penulis menuturkannya dengan gamblang.

Masih banyak kisah-kisah yang menarik dalam buku ini, seperti tentang proses akulturasi budaya Palembang dengan China, tentang orang-orang Kubu yang ditakuti penduduk Sumatra, hingga kisah-kisah ringan seperti Lelaki Tekongan yang seksi, kasih sayang lelaki aceh, warung kopi di Aceh dan perbedaan antara kereta di Jawa dengan di Sumatra.

Semua tulisan-tulisan tersebut terangkai dengan foto-foto jepretan sang penulis dan tambahan data dan informasi terkait dengan wilayah atau topik yang dibahas di setiap kisahnya. Hal ini menunjukkan bahwa penulis merangkai catatan perjalanannya bukan dari apa yang ia alami saja melainkan dilengkapinya dengan berbagai informasi yang diperolehnya dari  riset literarur yang memadai.

Namun dibalik keistimewaan buku ini ada beberapa hal yang mungkin bisa menjadi masukan bagi penulis dan penerbit.Yang pertama, ini bisa disebut kelebihan sekaligus kelemahan. Karena penulis tampak lebih mengusung tema-tema sosial, budaya, dan kultur masyarakat setempat sehingga pendeskripsian obyek-obyek yang menarik agak terabaikan, misalnya ketika ia mengunjungi bangunan-bangunan bersejarah seperti rumah raja gula Oey Tiong Ham, Masjid Baiturrahman Banda Aceh, Istana Maimun di Medan, dll dimana penulis hanya menggambarkan mengenai bangunan luarnya secara umum.

Kedua, di kisah "Opera Batak" sebuah seni pertunjukan yang telah ada sejak 1920-an penulis tidak menyertakan sinopsis atau alur kisah dari opera batak itu sendiri. Memang penulis menguraikan bahwa dalam opera ini ada unsur tarian batak atau Tortor, pantum Batak, folkore atau sejarah Batak, dll namun alangkah baiknya jika disertakan sinposis singkat atau alur dari Opera Batak itu sendiri sehinga pembaca dapat megnetahui apa sebenarnya yang dipentaskan dalam Opera Batak.

Ketiga, penulis tidak menyertakan data kapan perjalanan keliling Sumatra-nya dilakukan. Informasi waktu yang didapat adalah bahwa perjalanannya itu dilakukan paska gempa Sumatra dimana masih terdapat tenda2 pengungsian dan bangunan-bangunan rusak yang belum diperbaiki. Saya pikir penyertaaan keterangan waktu perjalanan dalam sebuah catatan perjalanan adalah hal yang tidak boleh diabaikan karena keadaan tempat bisa berubah dan di masa-masa yang akan datang tidak semua pembaca akan ingat kapan gempa dahsyat di Sumatra tepatnya di Padang terjadi.

Keempat, adalah  covernya. Cover dengan ilustrasi seorang gadis dengan ransel dipunggung dengan latar Ngarai Sianok memang sangat menarik. Namun saya pikir cover ini membatasi persepsi calon pembaca akan buku ini. Dengan cover seperti akan menimbulkan kesan kalau isi buku ini hanyalah catatan perjalanan wisata saja padahal yang disajikan penulis bukanlah catatan perjalanan wisata semata melainkan pengamatannya atas budaya dan situasi sosial di setiap tempat yang dikunjunginya.

Untuk itu saya lebih suka cover buku ini ketika masih diterbitkan secara indie (2011) yang menampilkan Sungai Musi beserta dertean perahu kecil dan bangunan-bangunan yang ada di sisinya plus cover belakang yang menampilkan anak-anak di sebuah kampung di Lhoksuemawe.

Cover edisi  lama (2011)


Demikian tentang buku catatan perjalanan yang telah berhasil mengungkap apa yang menjadi arti sebuah perjalanan menurut pandangan penulisnya dimana sebuah perjalanan adalah "membaca yang tersirat dan menemukan makna sebuah pencarian". Melalui buku ini kita tidak hanya membaca apa yang disaksikan penulis lewat pandangan matanya saja melainkan kita diajak menemukan apa yang tersirat dan menggali makna dari setiap perjalanan yang telah dilakukannya.

@htanzil