Thursday, October 10, 2013

Kho Ping Hoo & Indonesia : Seniman dan Karyanya

[No. 320]
Judul : Kho Ping Hoo & Indonesia - Seniman dan Karyanya
Editor : Ardus M. Sawerga
Penerbit : Balai Soedjatmoko
Cetakan : 2012
Tebal : 215 hlm

Siapa yang tidak kenal dengan nama Kho Ping Hoo? walau namanya tidak tercatat dalam buku-buku teks pelajaran sastra di sekolah ataupun dalam sejarah sastra Indonesia  namun namanya begitu dikenal oleh publik tanah air terlebih bagi mereka yang menyenangi cerita silat (cersil). Nama Kho Ping Hoo memang  identik dengan cersil sehingga jika kita ditanya, "Siapa penulis cerita silat Indonesia?",  dengan cepat kita akan menjawab "Kho Ping Hoo!" walau mungkin kita belum pernah membaca satupun cersilnya.

Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo (selanjutnya ditulis KPH) lahir di Sragen 17 Agustus 1926 dari keluarga Tionghoa peranakan, Meskipun sekolahnya hanya sampai kelas I HIS, namun minat baca dan menulisnya sangat tinggi.  Karier kepenulisannya dimulai pada tahun 1951 saat ia berusia  25 tahun ketika ia mulai menulis cerita roman dengan nama pena Asmaraman Kho Ping Hoo dan dimuat oleh majalah-majalah terkenal saat itu seperti Star Weekly, Cermin, Pawancara, dan Liberty

KPH mulai menulis cerita silat bersambung pada tahun 1959 dengan judul Pedang Pusaka Naga Putih di majalah Teratai yang  ternyata mendapat respon positif dari para pembacanya. Mulai saat itu kreatifitas dan imajinasi KPH untuk menulis cerita silat terus mengalir tanpa henti. Walau saat itu belum pernah mengunjungi China dan tidak bisa berbahasa Mandari namun itu bukan halangan bagi KPH untuk menulis cerita silat berlatar belakang Tiongkok kuno. Berbekal peta Tiongkok kuno, buku-buku dan film-film silah yang pernah ia tonton KPH menulis tanpa henti sepanjang hidupnya. Energi menulisnya begitu luar biasa sehingga dalam seminggu sekali lahirlah satu jilid buku dari mesin tik manualnya.

Pada tanggal 22 Juli  1994 di usianya yang ke 68 KPH meninggal dunia karena serangan jantung. Di masa sakitnya ia masih menulis cerita Hancurnya Kerajaan Han yang belum selesai. Hingga akhir hayatnya KPH telah menulis lebih dari 120 judul buku dalam ribuan jilid buku dan hingga kini karya-karyanya masih terus dibaaca dan dicetak ulang.

Untuk mengenang kiprah dan karya-karyanya maka pada tahun 2012 yang lalu diperingati 86 tahun kelahiran KPH yang diselenggarakan di Balai Seodjatmoko Solo dan Bentara Budaya Bali  (11-18/7/2012). Saat itu dipamerkan ilustrasi cersil yang pernah ditulis KPH, memorabilia KPH , dan diskusi dari berbagai narasumber yang diharapkan bisa menempatkan KPH sebagai sastrawan secara proprosional dalam jagat sastra Indonesia.

Sebagai pelengkap gelaran memperingati 86 kelahiran KPH itulah buku Kho Ping Hoo & Indonesia terbit. Sebuah buku yang memuat wacana tentang diri dan karya KPH dari berbagai dimensi berupa esai, hasil penelitian, kliping koran, kesaksian, dan wawancara dengan sejumlah saksi mata seperti istri, anak, mantu, dan mereka yang pernah terlibat langsung dalam proses penerbitan buku-buku KPH .

Buku ini memuat 20 tulisan, dari berbagai narasumber mulai dari cendekiawan, budayawan, wartawan, hingga pembaca setia KPH antara lain Leo Suryadinata, Seno Gumira Ajidarma, Prie GS, Arswendo Atmowiloto. Eka Kurniawan, dll. Dari tulisan Leo Suryadinata berjudul Kho Ping Hoo dan Karya-karyanya kita akan mengetahui darimana KPH mendapat inspirasi untuk menulis kisah-kisahnya.

Menurut penelitian Leo Suryadinata terungkap bahwa karya-karya KPH sedikit banyak terpengaruh dari cersil terjemahan dan film silat Hong Kong dan Taiwan yang pernah dibaca dan ditontonnya. Beberapa kisah diketahui mengambil plot dari cersil terjemahan namun walau demikian cersil KPH tetap mempunyai ciri tersendiri. Salah satunya adalah bagaimana KPH memasukkan nasehat filosofis yang kadang disesuaikan dengan kondisi  Indonesia.

"Kho Ping Hoo membicarakan perkawinan campur Tionghoa-Indonesia, meskipun ini dianjurkan tapi mesti didasarkan percintaan. Kho mengharapkan para pembaca bisa menerima manfaat yang terkandung di dalam cersilnya. Menggunakan cersil untuk memberi "kuliah" ini mirip dengan novel peranakan yang terbit pada awal abad keduapuluh. Cara ini jarang ditemui pada cersil-cersil terjemahan" (hlm 44)

Ketika membahas dampak cersil terhadap Indonesia Leo juga mengungkapkan bahwa cersil karya KPH setiap terbitannya mencapai 10.000 sampai 15.000 jilid (ekslempar) yang habis dalam sebulan dan setiap empat lima tahun dicetak ulang. Menurut hitung-hitungannya bila setiap jilid dibaca  25 orang, maka setiap edisinya kira-kira ada 1,6 juta pembaca!

Jika Leo Suryadinata  membahas tentang  Kho Ping Hoo dan karya-karayanya, Eka Kurniawan membahas unsur sejarah dalam cerita silat KPH terlebih dalam karya-karyanya yang berlatar belakang Nusantara seperti Banjir Darah Borobudur, Satria Gunung Kidul, Badai Laut Selatan. Menurut pengamatan Eka sejarah dalam cersil KPH bukanlah sejarah dalam perspektif istana dan kaum elitenya melainkan sejarah yang bergerak di luar itu, sejarah yang bergerak di bawah.

"Kho Ping Hoo tak semena-mena menyatakan bahwa sejarah selalu merupakan "sejarah atas". Dengan menurunkan orang-orang istana ke desa-desa, sungai, gunung dan sawah, dan bahkan menjadi gembel, ia ingin memperlihatkan bahwa sejarah juga bergerak di bawah. Bahwa sejarah juga merupakan kisah kaum antah berantah" (hlm 58)

Sedangkan Seno Gumira Ajidarma dalam essainya berjudul Kho Ping Hoo dan Indonesia  mencoba menjawab keraguan orang apakah karya-karya KPH yang berlatar Tiongkok kuno itu bisa disebut sebagai cersil Indonesia dan apakah cersil KPH itu termasuk karya sastra? Dalam essainya ini Seno menyimpulkan bahwa

(1) cerita silat berbahasa Indonesia  dengan latar dan lokasi sejarah Tiongkok adalah bagian yang sah dari kebudayaan Indonesia; (2) Kho Ping Hoo adalah seorang penulis cerita silat Indonesia ; (3) karya tulis Kho Ping Hoo, dan karya tulis manapun, dalam perkembangan teori kebudayaan mutakhir, sudah tidak relevan lagi dipersoalkan dari sudut pandang susastra atau bukan-susastra  (hlm 117)

Masih banyak hal-hal menarik tentang Kho Ping Hoo dan karya-karyanya yang terungkap di buku ini, antara lain tentang 5 buah mesin ketik yang semuanya masih terpasang kertas dan berisi 5 buah cerita  yang sedang dikerjakannya sekaligus, tentang jari-jari KPH yang sakit waktu kecil, pemakaman KPH yang dihadiri ribuan pelayat namun tidak dihadiri pejabat penting maupun para seniman, dll.

Selain hal-hal diatas buku ini memuat pula daftar lengkap karya KPH versi majalah MATRA, 33 buah desain sampul karya-karya KPH, dan puluhan  ilustrasi yang dibuat oleh dua orang ilustrator buku-buku KPH, Yanes dan Dwi Laksono. Tidak hanya itu buku ini juga memuat cuplikan cerita Dewi Sungai Kuning sebanyak 8 halaman.


Demikian sekilas tentang buku ini yang mencoba mengungkap KPH beserta karya-karyanya. Buku ini sangat baik untuk mengenal KPH dan kerya-karyanya dari berbagai sudut pandang.  Sayangnya buku ini tidak memuat tulisan  dari pejabat tinggi atau pesohor terkenal seperti  B.J. Habibie, Ashadi Siregar, dll yang merupakan pembaca setia cersil KPH.. Dan yang lebih disayangkan lagi adalah buku ini tidak bisa diperoleh di toko-toko buku umum karena hanya bisa diperoleh pada saat Peringatan 86 Tahun KPH di Solo dan Bali setahun yang lampau.

Sudah saatnya buku ini dicetak secara masal dan beredar di masyarakat sehingga Kho Ping Hoo yang ribuan jilid bukunya telah dibaca dan menginpirasi jutaan orang dari berbagai lapisan masyarakat Indonesia, yang cersil-cersilnya telah mewarnai dunia perbukuan tanah air  dan telah menghidupi banyak orang termasuk mereka yang membuka persewaan buku di seantero Tanah Air ini layak dinobatkan sebagai "sastrawan besar" yang pernah lahir di bumi Nusantara.

Sebagai penutup saya kutipkan komentar Kho Ping Hoo  mengapa ia memilih menjadi penulis cerita silat.


Saya menulis untuk mencurahkan hati saya. Dengan menulis saya bisa melepaskan persoalan penindasan yang ada di dalam batin. Sebagai contoh, dalam kehidupan sehari-hari saya sering menjumpai ketidakadilan, penindasan, dan kerakusan. tapi saya hanya bisa marah dalam hati. Untuk mengkritik saya tidak memiliki keberanian. Lewat cerita silat saya bisa mengkritik tanpa harus menyakiti perasaan siapapun
(hlm 98)

Melalui cerita silat saya merasa bahwa saya dapat berkomunikasi dengan para pembaca, bukan melalui silatnya itu sendiri, melainkan melalui kehidupan para tokohnya, suka dukanya dalam kehidupan, dan saya mengajak para pembaca sama-sama menghadapinya, mempelajarinya, menyelidikinya dan menanggulanginya
(hlm 113)

@htanzil

No comments:

Post a Comment