Judul : Santo dan Sultan - Kisah Tersembunyi Tentang Juru Damai Perang Salib
Penulis : Paul Moses
Penerjemah : Adi Toha
Penerbit : Pustaka Alvabet
Cetakan : I, Desember 2013
Tebal : 440 hlm
ISBN : 978-602-9193-40-4
Perang Salib adalah salah satu perang antar umat beragama (Islam dan Kristen) yang paling besar yang pernah terjadi sepanjang sejarah umat manusia. Perang Salib yang berlangsung selama dua abad (1095-1291) ini pada hakekatnya bukan perang agama, melainkan perang merebut kekuasaan daerah. Perang ini dimulai pada 1095 ketika Paus Urbanus II menyerukan Perang Salib guna merebut Yerusalem yang dikuasai oleh pasukan Muslim. Pasukan Kristen berhasil merebut Yerusalem pada 1099, tetapi mengalami pukulan telak ketika Sallahudin mengambil alih kota suci itu delapan puluh delapan tahun kemudian. Dalam dekade berikutnya, paus demi paus meluncurkan satu persatu upaya militer yang gagal untuk untuk merebut kembali Yerusalem.
Pada 1219. Di terngah kecamuk Perang Salib V berlangsung. Fransiskus, (yang kelak menjadi seorang Santo) dari Asisi menyeberangi garis pasukan Muslim untuk menemui Sultan Malik al-Kamil di kamp-nya di tepi Sungai Nil guna menawarkan perdamaian. Fransiskus yang pernah menjadi seorang tentara Perang Salib, tidak asing lagi dengan kekejaman manusia dalam peperangan, ia tahu betul akan penyiksaan dan mutilasi yang dilakukan kedua pasukan terhadap orang yang dicurigai sebagai mata-mata. Sadar akan segala resiko yang bakal dihadapinya ia dan rekan seperjalannnya Bruder Illuminatus tetap pergi menemui Sultan.
Sang Sultan berkenan menemui Fransiskus, tidak hanya menemuinya bahkan terjadi sebuah dialog damai antara Fransiskus, Sultan dan para pasukannya, sayangnya apa yang diinginkan Fransiskus tidak tewujud. Setelah pertemuan itu Perang Salib terus berkecamuk dengan hebatnya. Namun pertemuan sang Santo dan Sultan itu menciptakan sebuah hubungan yang baik antara sang Santo dan Sultan, keduanya saling menghormati dan mengagumi. Pertemuan itu juga mendorong sebuah gagasan revolusioner bagi Fransiskus dan ordo Hina Dina yang dikembangkannya.
Francis and The Sultan (1901) karya Arnoldo Zoocchi
di Gereja St Joseph, Kairo-Mesir
Sekembali dari pertemuan, Fransiskus menganjurkan pengikutnya agar hidup damai dengan umat Muslim jika memang ingin mengabarkan injil di dunia Arab. Sebuah anjuran yang sangat tidak populer karena di masa itu telah terbentuk sebuah paradigma bahwa untuk mengubah keyakinan suatu bangsa haruslah melalui peperangan. Gagasan itu tidak mendapat restu dari Paus sehingga tidak heran kisah pertemuan dan gagasannya itu tidak bergema di kalangan Kristen pada masa itu.
Seiring berjalannya waktu, kisah pertemuan Sang Santo dan Sang Sultan lambat laun semakin menguap, informasi resmi dari sumber-sumber sejarahpun sangat sedikit yang menceritakan peristiwa tersebut hingga akhirnya Paul Moses mencoba menggali berbagai literatur sejarah guna mengungkap kembali perihal diplomasi damai antara Sang Santo dan Sang Sultan hingga akhirnya pada 2009 terbit sebuah buku berjudul Saint and the Sultan : The Crusades, Islam, and Francis of Assisi's Mission Peace ketika Perang Teluk yang oleh sebagian orang dianggap sebagai sebuah Perang Salib di abad modern ini sedang berkecamuk.
Dalam bukunya ini Paul Moses tidak hanya mengungkap kembali peristiwa bertemunya Sang Santo dan Sultan dan bagaimana dahsyatnya Perang Salib yang menelan banyak korban. Lebih dari itu di buku ini kita bisa membaca kisah kehidupan dua tokoh itu. Dari Fransiskus kita bisa melihat bagaimana pertobatannya dari seorang tentara menjadi seorang biarawan yang menemukan makna dari kemiskinan, makna kehidupan sederhana dan keras dalam pengabdiannya kepada Yesus. Fransiskus kelak mendirikan ordo Hina Dina yang pertahankan kemurnian ajarannya yang mengutamakan kesederhaaan secara ekstrim dan perdamaian dalam menjalankan misi ordonya.
Walau dikenal sebagai seorang biarawan yang taat dalam keimanannya, di buku ini juga terungkap bahwa Fransiskus memiliki sikap yang terbuka terhadap umat Muslim. Setelah kunjungannya ke perkemahan Sultan ia terkesan oleh kumandang azan dan bagaimana prajurit Muslim bergegas meninggalkan semua aktifitasnya untuk bersembahyang menghadap ke Mekah. Ia tidak sekedar mengaguminya namun ia juga ingin menghadirkan kesungguhan dan kepatuhan yang sama ke dalam dunia Kristen. "Jika semua orang di dunia ini membungkuk damai dalam doa, era perdamaian tidak jauh lagi", demikian ujar Fransiskus
Melalui kehidupan Sultan Al-Kamil yang adalah keponakan dari Salahudin (Pahlawan Perang Salib di pihak tentara Muslim) kita melihat bagaimana di masa remajanya, di saat Perang Salib III al-Kamil dinobatkan sebagai ksatria di Acre oleh ksatria Perang Salib Richard si Hati Singa. Satu hal yang menarik adalah bagaimana Sultan al-Kamil juga sesungguhnya seorang raja yang mencintai perdamaian, selama Perang Salib V ia mengajukan beberapa kesepakatan damai guna mengakhiri Perang Salib. Buku ini juga mengungkap sosok Sultan al-Kamil yang oleh kalangan Kristen dianggap sebagai sultan yang bengis ternyata seorang Sultan yang murah hati. Di akhir Perang Salib V sebelum membebaskan tentara Kristen yang menjadi tawanan perangnya ia menjamu para tawanan yang hendak dibebaskannya dalam jamuan makan yang mewah dan melimpah.
Di bagian akhir buku ini, penulis juga mengungkapkan bagaimana kisah misi perdamaian dan biografi Fransiskus dikaburkan dari makna perdamaian demi melindungi mimpi-mimpi Perang Salib dari para Paus, contohnya pada 1266 The Mayor Legend of Saint Francis karya Bonaventura dinyatakan sebagai biografi resmi Fransiskus. Biografi sebelumnya yang ditulis oleh penulis lain dimusnahkan sehingga hanya ada dua salinan dari riwayat kehidupan Fransiskus sebelum karya Bonaventura yang selamat hingga kini.
Walaupun kisahnya telah berubah dan dilupakan orang namun benih-benih perdamaian Fransiskus yang jatuh di tanah yang berbatu tetap bertunas. Gagasan Fransiskus agar umat Kristen untuk hidup damai dengan umat Muslim akhirnya terwujud secara resmi dalam Konsili Vatikan Kedua pada 1965 dengan dikeluarkannya Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan Agama-Agama Bukan Kristen atau Nostra Atete, Pada Zaman Kita yang menyatakan bahwa Gereja Katolik sangat menghargai umat Islam.
Paus Yohanes Paulus II kemudian memperkokoh hubungan ini. Selain dengan menyatakan penghargaan kepada agama-agama bukan Kristen dalam surat ensilik pertamanya, seperti Fransiskus, dia menciptakan tablo perdamaian; antara lain dengan mengunjungi tempat -tempat suci umat Islam di Yerusalem yang pernah diperebutkan oleh Tentara Salib, menetapkan hari Doa untuk Perdamaian Sedunia yang diadakan di Asisi, kota kelahiran Fransiscus pada 26 Oktober 1986, mengunjungi Masjid Agung Bani Umayah di Damaskus pada 2001, dll
Doa untuk Perdamaian Sedunia di Asisi, 1986
Sebagai sebuah buku yang memunculkan kembali kisah yang kini hanya samar-samar terdengar mengenai misi perdamaian yang diupayakan Fransiskus saya rasa melalui buku ini Paul Moses dengan riset sejarahnya yang mendalam berhasil mengungkap informasi perihal diplomasi damai antara Sang Santo dan Sang Sultan serta peristiwa yang melatarinya dengan sangat rinci, kontekstual, berimbang (tidak memihak), dan informatif. Bagi mereka yang tertarik dengan Perang Salib, buku ini bisa menjadi salah satu sumber literatur yang baik. Dan yang lebih penting buku ini tampaknya mampu menggugah kesadaran pembacanya akan arti penting sebuah dialog antara umat bergama demi perdamaian dunia
Yang sangat disayangkan dalam versi terjemahan buku ini yang dilengkapi dengan 38 halaman catatan kaki, keterangan singkat tokoh-tokoh utama, kronologi, daftar singkatan, dan ratusan daftar pustaka ini tidak dilengkapi dengan indeks. Entah mengapa penerbit Alvabet tidak menyertakan indeks seperti di buku aslinya. Untuk sebuah buku sejarah indeks sangatlah diperlukan untuk memudahkan pembacanya mencari tokoh, peristiwa, atau apapun yang terkait dalam bahasan buku ini.
Terlepas dari itu melalui kisah Santo Fransiskus ini dari upaya perdamaian yang dilakukannya di masa lampau kita dapat belajar bahwa jalan menuju perdamaian bukan hanya dapat dilakukan oleh penjabat pemerintah yang memimpin atas nama kita . Fransiskus mengambil inisiatif sendiri dengan memberanikan diri mengupayakan suatu hubungan pribadi dengan sang sultan. Perang lebih mungkin terjadi jika suatu masyarakat berjarak dari masyarakat yang lain dan saling mengutuk. Perdamaian akan mendapat kesempatan jika kesenjangan antar-masyarakat tersebut dijembatani melalui hubungan pribadi.
@htanzil
Baca juga ah
ReplyDeleteGimana caranya biar buku saya diresensi di blog ini?
ReplyDeletePak Adam Husein,
ReplyDeletesilahkan kontak saya by email di
htanzil@gmail.com
resensi yang lengkap, kayaknya dengan membaca resensnya saja sudah cukup.
ReplyDeleteMas kalo aku mau tanya-tanya, bisa hubungi kemana nih?
ReplyDeleteTerima kasih..
@irham : silahkan email saya di htanzil@gmail.com
ReplyDeletethanks blog
ReplyDeletebagus banget infonya gan dan tampilan blognya bagus banget gan
ReplyDeleteResensi yang sangat bagus, terima kasih atas infonya. salam kenal
ReplyDelete