Judul : Ideologi Saya adalah Pramis - Sosok, Pikiran, dan Tindakan Pramoedya Ananta Toer
Penulis : Muhidin M. Dahlan
Penerbit : Octopus
Cetakan : I, 2016
Tebal : 328 hlm
ISBN : 978-602-72743-1-0
Pramoedya Ananta Toer (Pram) adalah legenda sastra dan simbol perlawanan terhadap ketidakadilan yang bukunya masih terus dibaca dan dibicarakan orang. Tak hanya itu sosok, pemikiran, dan apapun tentangnya seakan tak pernah habis ditulis orang dan selalu menarik orang untuk membacanya. Satu dekade sepeninggal Pram (2006-2016) muncul buku terbaru tentang Pram yang ditulis oleh Muhidin M. Dahlan, penulis, pengagum, dan pewaris semangat Pram dalam mengarsip koran. Buku itu diberi judul yang diambil dari kata-kata Pram sendiri yang ketika ditanyakan soal Ideologinya, dengan lantang mengatakan " Ideologi saya adalah PRAMIS"
Buku ini seluruhnya merupakan essai-essai penulis tentang sosok, pikiran, dan tindakan Pramoedya Ananta Toer yang sebelumnya terserak di berbagai media seperti blog pribadi, bahan makalah, surat kabar, tabloid, hingga kata pengantar di buku-buku Pram. Essai-essai terbaik tentang Pram itu kini dihimpun dalam sebuah buku yang dibagi dalam 8 bab yang disusun secara sistematis, mulai dari Bab yang menjelaskan Siapakah Pram? Di bab ini terdatpat dua buah essai yaitu Mas Pram. Siapakah Sebenarnya Kamu? yang berisi riwayat singkat Pram yang ditulis dengan gaya personal layaknya sebuah surat pribadi untuk Pram. Setelah itu disajikan sebuah essai yang akan menjawab kepenasaran orang tentang apa sesungguhnya Agama Pramoedya Ananta Toer : Ateis,Teis, atau Pramis.?
Setelah kita diajak mengenal Pram, maka di bab kedua yang berjudul PRAM BEKERJA kita akan melihat proses kreatif Pram dalam berkarya. Pram tidak menulis untuk iseng-iseng, untuk kesenangan sendiri, atau demi uang. Ada 4 jalan yang dilakukan Pram dalam menulis yaitu menulis adalah ideologis atau tugas nasional, riset, disiplin, dan ketrampilan berbahasa. Kehidupan Pram yang banyak dipengaruhi oleh nenek dan ibunya membuat karya-karyanya banyak bercerita tentang tokoh perempuan.
Para srikandi, ini di tangan Pramoedya menjadi kekuatan anonim yang dengan kekuatan individu yang dipunyainya coba berdiri tegar di zaman yang penuh daya dera yang menggilas, walau pun pada akhirnya mereka kalah dalam pertarungan sejarah
(hlm 44)
Walau banyak menceritakan tokoh wanita Pram tidak mengekspolitasi keindahan wanita dalam karya-karyanya karena bagi Pram keindahan bukan ada pada keindahan tubuh wanita namun terletak pada kemanusiaan dan perjuangan untuk kemanusaan ; pembebasan terhadap penindasan.
Dibagian ini juga dikisahkan bagaimana dalam menulis Pram melakukan riset pustaka. Pram pernah meminjam buku-buku Perpustakaan Nasional hingga sebecak penuh. Buku yang dipinjam itu ternyata tidak hanya dibaca melainkan disalinnya kembali dengan tekun, bahkan beberapa tetangganya kerap dipanggil untuk membantu menyalin. Selian membaca, menyalin, dan menulis Pram juga dikenal dengan pengkliping yang tekun. Penulis menjulukinya sebagai Si Pendekar Gunting dari Bojong.
Kliping-kliping ini selain dicita-citakan untuk menjadi sebuah ensiklopedi juga menjadi sumber utama karya-karyanya. "Hampir semua karya saya berasal dari klipingan koran," kata Pram.
Bab tiga berisi tentang esssai-essai penulis tentang Pemikiran Pram yang banyak menyinggung keinginan dan harapan Pram terhadap angkatan muda. Di bab ke empat dengan judul PRAM DAN POLITIK terdapat essai-essai tentang bagaimana karya-karya Pram senantiasa dikaitkan dengan sikap politiknya yaitu tentang Pram yang tanpa tedeng aling-aling menolak Hadiah Sastra Yamin, kontorversi Hadiah Magsasay dan bagaimana karya-karya Pram menjadi ancaman bagi mereka yang membacanya.
Essai-essai tentang PRAM DAN PARA SAHABATNYA bisa ditelaah di bagian ke empat buku ini. Persahabatan Pram dengan Hasjim Rahman dan Joesoef Ishak melahirkan sebuah usaha penerbitan yang bernama Hasta Mitra yang kelak akan menjadi ikon bagi karya-karya Pram . Sedangkan persahabatannya dengan HB Jasin melahirkan sebuah kongsi dagang berupa bisnis timah. Sayangnya kongsi Pram dengan para sahabatnya tidak bisa langgeng karena diterpa berbagai masalah, Hasta Mitra maupun kongsi dagang timah pun hanya tinggal sejarah.
Bagian ke kelima di buku ini merupakan bagian yang paling panjang karena memuat tafsir penulis atas 20 lebih karya-karya Pram. Yang paling panjang adalah ketika penulis menafsir drama Mangir dalam sebuah perenungan lengkap dengan napak tilas penulis ke beberapa tempat yang pernah dijajaki tokoh-tokoh Mangir sambil membaca penggalan lakon Mangir.
Setelah membaca tafsir-tafsir penulis atas karya-karya Pram, penulis juga merangkum tafsir Prof. Koh Young Hun yang dalam bukunya berjudul Pramoedya Menggugat - Jejak Sejarah Indonesia (Gramedia, 2011) yang membagi jejak Indonesia dalam empat tonggak berdasarkan karya-karya Pram. Lalu ada pula tulisan tentang pengalaman dan tafsir Hari "Ong" Wahyu yang banyak membuat ilustrasi sampul untuk buku-buku Pram terbitan Hasta Mitra di tahun 2000-an.
Di bagian akhir, buku ini memuat wawancara penulis dengan orang-orang terrdekat mulai dari istri dan anak-anaknya yaitu Maemunah Thamrin, Astuti ananta Toer, Yudistira Ananta Toer, dan Mujib Hermani, sahabat Pram. Dari istri dan anak-anaknya kita bisa melihat Pram sebagai seorang suami, dan ayah bagi anak-anak. Dari wawancara penulis dengan Maemunah kita akan mengetahui hal-hal sederhana dalam keseharan seperti Pram yang tidak pernah membantu memasak karena waktunya habis untuk mengkliping dan menulis, Pram yang menjadi menantu kesayangan, pesan-pesan terakhir Pram, dll.
Dari kisah Astuti dan Yudistira kita melihat sosok pram sebagai ayah yang kaku dan selalu mendorong anak-anaknya untuk menulis catatan harian sedetail mungkin. Terungkap pula tentang anak-anak Pram yang tidak pernah dibelikan mainan karena 'mainan' yang diberi Pram hanya buku. Pram juga kerap mengajar anak-anaknya menulis. Beginilah cara Pram mengajar menuli dan membaca buku kepada anak-anaknya
Dibagian ini juga dikisahkan bagaimana dalam menulis Pram melakukan riset pustaka. Pram pernah meminjam buku-buku Perpustakaan Nasional hingga sebecak penuh. Buku yang dipinjam itu ternyata tidak hanya dibaca melainkan disalinnya kembali dengan tekun, bahkan beberapa tetangganya kerap dipanggil untuk membantu menyalin. Selian membaca, menyalin, dan menulis Pram juga dikenal dengan pengkliping yang tekun. Penulis menjulukinya sebagai Si Pendekar Gunting dari Bojong.
Kliping-kliping ini selain dicita-citakan untuk menjadi sebuah ensiklopedi juga menjadi sumber utama karya-karyanya. "Hampir semua karya saya berasal dari klipingan koran," kata Pram.
Bab tiga berisi tentang esssai-essai penulis tentang Pemikiran Pram yang banyak menyinggung keinginan dan harapan Pram terhadap angkatan muda. Di bab ke empat dengan judul PRAM DAN POLITIK terdapat essai-essai tentang bagaimana karya-karya Pram senantiasa dikaitkan dengan sikap politiknya yaitu tentang Pram yang tanpa tedeng aling-aling menolak Hadiah Sastra Yamin, kontorversi Hadiah Magsasay dan bagaimana karya-karya Pram menjadi ancaman bagi mereka yang membacanya.
Essai-essai tentang PRAM DAN PARA SAHABATNYA bisa ditelaah di bagian ke empat buku ini. Persahabatan Pram dengan Hasjim Rahman dan Joesoef Ishak melahirkan sebuah usaha penerbitan yang bernama Hasta Mitra yang kelak akan menjadi ikon bagi karya-karya Pram . Sedangkan persahabatannya dengan HB Jasin melahirkan sebuah kongsi dagang berupa bisnis timah. Sayangnya kongsi Pram dengan para sahabatnya tidak bisa langgeng karena diterpa berbagai masalah, Hasta Mitra maupun kongsi dagang timah pun hanya tinggal sejarah.
Bagian ke kelima di buku ini merupakan bagian yang paling panjang karena memuat tafsir penulis atas 20 lebih karya-karya Pram. Yang paling panjang adalah ketika penulis menafsir drama Mangir dalam sebuah perenungan lengkap dengan napak tilas penulis ke beberapa tempat yang pernah dijajaki tokoh-tokoh Mangir sambil membaca penggalan lakon Mangir.
Setelah membaca tafsir-tafsir penulis atas karya-karya Pram, penulis juga merangkum tafsir Prof. Koh Young Hun yang dalam bukunya berjudul Pramoedya Menggugat - Jejak Sejarah Indonesia (Gramedia, 2011) yang membagi jejak Indonesia dalam empat tonggak berdasarkan karya-karya Pram. Lalu ada pula tulisan tentang pengalaman dan tafsir Hari "Ong" Wahyu yang banyak membuat ilustrasi sampul untuk buku-buku Pram terbitan Hasta Mitra di tahun 2000-an.
Di bagian akhir, buku ini memuat wawancara penulis dengan orang-orang terrdekat mulai dari istri dan anak-anaknya yaitu Maemunah Thamrin, Astuti ananta Toer, Yudistira Ananta Toer, dan Mujib Hermani, sahabat Pram. Dari istri dan anak-anaknya kita bisa melihat Pram sebagai seorang suami, dan ayah bagi anak-anak. Dari wawancara penulis dengan Maemunah kita akan mengetahui hal-hal sederhana dalam keseharan seperti Pram yang tidak pernah membantu memasak karena waktunya habis untuk mengkliping dan menulis, Pram yang menjadi menantu kesayangan, pesan-pesan terakhir Pram, dll.
Dari kisah Astuti dan Yudistira kita melihat sosok pram sebagai ayah yang kaku dan selalu mendorong anak-anaknya untuk menulis catatan harian sedetail mungkin. Terungkap pula tentang anak-anak Pram yang tidak pernah dibelikan mainan karena 'mainan' yang diberi Pram hanya buku. Pram juga kerap mengajar anak-anaknya menulis. Beginilah cara Pram mengajar menuli dan membaca buku kepada anak-anaknya
Dari pengalaman Mujib Hermani, sahabat dan orang terdekat Pram diluar keluarganya, terungkap bahwa Pram pernah menghayal jadi presiden seperti yang kita baca dalam buku ini yang meruapakan dialog antara Mujib dengan Pram
Dari percakapan di atas kita dapat melihat bahwa Pram benar-benar menjunjung tinggi hukum walau ia pernah diperlakukan tidak adil dimana negara pernah menghukumnya belasan tahun di P. Buru tanpa melalui proses hukum yang berlaku saat itu.
Sebelum penulis mengakhiri buku ini dengan sebuah epilog berjudul Keberangkatan Setelah Pasar Malam Usai, penulis menyertakan kronologi 66 jam sebelum Pram meninggal dunia. Di bagian ini penulis mencatat apa yang dilihat dan dialami dengan sangat detail mulai dari keberangkatannya bersama teman-temannya pada 27 April 2006 hingga 30 April 2006.
Sebagai sebuah buku kumpulan essai tentang sosok, pikiran, dan tindakan Pram, buku ini sangat bagus untuk dibaca. Seperti yang saya kagumi dari penulis, kalimat-kalimat yang ditulis Muhidin tidak bertele-tele, ringkas namun bertenaga seperti halnya tulisan-tulisan Pram yang ia jadikan panutan. Bagi pembaca dan penggemar karya-karya Pram buku ini harus disandingkan di samping buku-buku Pram yang monumental.
Walau bisa dikatakan lengkap namun sayangnya ada beberapa tulisan yang seharusnya dapat di update sesuai dengan kekinian seperti di bagian Mesin-mesin Pram yang bahasannya berakhir di tahun 2005. Dan yang perlu disesali bagi saya adalah tidak ada essai tentang bagaimana kondisi penerbitan buku-buku Pram pasca kepergian Pram hingga kini atau bagaimana generasi masa kini mengapresiasi karya-karya Pram, dan apakah karya, sosok, pikiran, dan tindakan Pram masih berdampak pada pola pikir angkatan muda sekarang? Angkatan yang selalu diharapkan oleh Pram untuk mendobrak ketidakadilan dan memimpin bangsa ini.
@htanzil
2 comments:
wah, saya jadi pengen baca ini novelš«
Hai semua salam kenal, mampir yuk di instagram aku di @griya_buku. Terima kasih
Post a Comment