Tuesday, February 14, 2006

Obrolan Tukang Nonton


Judul : Obrolan Tukang Nonton -
dari Charlie Chaplin sampai Mengejar Matahari
Penulis : Arie Saptaji
Penerbit : Papyrus
Cetakan : I, Desember 2005
Tebal : 191 hal.

Obrolan ringan selepas menonton sebuah film sangatlah mengasyikan, apapun bisa dijadikan bahan pembicaraan, mulai dari alur cerita, kedasyatan efek film, keindahan gambar, hingga gosip artis yang memerankan salah satu tokoh film tersebut. Tak perlu menjadi pakar perfileman untuk mengobrolkan film, malah obrolan orang awam penggemar film akan terasa lebih mennyenangkan dibanding obrolan pakar perfileman yang mengusung teori-teori perfileman. Obrolan ringan semacam inilah yang membuat kenikmatan menonton sebuah film menjadi semakin sempurna karena dari obrolan ringan tersebut akan tergali kekayaan, makna, hingga pernak-pernik dari film yang telah ditonton.

Buku Obrolan Tukang Nonton yang ditulis oleh Arie Saptajie, salah seorang film mania ini seakan mengajak pembacanya khususnya para penggemar film untuk mengobrolkan film-film yang telah ditontonnya. Arie Saptajie bukanlah pakar di bidang teori perfileman, jadi jangan harap kita akan menemui soal-soal teknis terjadinya sebuah film di buku ini, tak ada kalimat-kalimat sulit dari definisi-definisi film, semua tersaji dalam kalimat-kalimat yang lugas dan sederhana seperti mendengar saran seorang kawan akan film yang telah ditontonnya

Buku ini mengulas lebih dari 40 buah film, keragaman film-film yang dibahasnya membuat buku ini sangat variatif dan tidak membosankan. Jika dilihat dari tahun produksi film-film yang ditontonnya, buku ini merentang masa selama 73 tahun! Dimulai dari film "City Lights" – Charlie Chaplin (1931) hingga Mengejar Matahari (2004). Jika dilihat dari negara pembuatnya, buku ini mengajak pembacanya untuk berpikinik mengelilingi dunia sambil menonton film, mulai dari Indonesia, Singapura, Australia, India (Bollywood), Jepang, Inggris Amerika (Hollywood), Brazil hingga Irak. Pembaca juga akan diajak menyimak berbagai genre film yang dibahas di buku ini, mulai dari drama, suspense, horor hingga film animasi tak luput dari pengamatan Arie Saptajie.

Kesemua bahasan film-film diatas tersaji secara runut berdasarkan tahun pembuatannya. Setiap film dibahas tak lebih dari 5 halaman buku ini, singkat namun padat, lengkap dengan sinopsis dan pendapat penulis. Selain ditulis dengan kalimat-kalimat yang enak dibaca dan reflektif, Arie mengemukakan pendapatnya dengan jujur. Kesannya yang buruk terhadap sebuah film ia ungkapkan dengan gamblang di buku ini. Hal ini terungkap ketika ia membahas film Mystic River, film kelas Oscar ini dikritik habis oleh Arie, ia melihat penggarapan bagian-bagian pelacakan film ini jika dilihat dari standard film detektif kurang berisi, sehingga mengakibatkan ketimpangan sewaktu disandingkan dengan konflik psikologis amat pekat diantara tokoh-tokohnya (hal 156).

Selain mengkritisi film-film yang dibahasnya, Arie juga berhasil menemukan benang merah antara satu film dengan film lainnya, ketika membahas sebuah film, pembaca diajak membandingkan atau menengok film-film lain yang memiliki keterkaitan dengan film yang sedang dibahasnya. Tidak hanya itu Arie juga terkadang merefleksikan sebuah film dengan keadaan Indonesia saat ini. Simak saja kalimat pembukaan di bahasan film The Manchurian Candidate: - Membandingkan The Manchurian Candidate dengan situasi dan kondisi Indonesia bisa bikin kita terperangah. Kalau dipikir-pikir, rupanya Indonesia itu "lebih jagoan" dari AS. Apa yang mesti AS lakukan dengan mendayagunakan teknologi canggih dibarengi siasat licik dan brutal, bisa kita lakukan secara amat santun – dan tak kalah efektif pula. (hal 167).- Dalam hal ini antara lain Arie mencontohkan proses kisah cuci otak dalam film ini yang harus menggunakan intrik buas dan metode yang cangih, dengan jeli Arie membandingkannya dengan Indonesia yang tanpa peralatan canggih, pencucian otak telah berlangsung dengan tenteram dan damai melalui penataran P4, indoktinasi teror SARA, sensor, dll. (hal 169)

Dalam buku ini dari sekitar 40 buah film yang dibahasnya Arie hanya menyuguhkan tiga buah film nasional : November 1928, Si Doel Anak Betawi dan Mengejar Matahari, tak dijelaskan mengapa hanya tiga film nasional ini yang dipilih, entah apakah bagi Arie hanya tiga film ini yang layak dibahas atau memang keterbatasan sumber yang menyebabkan hanya tiga film tersebut yang dimasukkan dalam buku ini, padhal kini situasi perfileman nasional kembali bergeliat dengan sejumlah film yang layak diapresiasi. Namun terlepas dari semua itu usaha Arie untuk mengangkat 3 buah film nasional dalam buku ini patut dihargai.

Sebagai bonus, dibagian akhir buku ini Arie menyajikan bab tersendiri mengenai tema persahabatan sejati dalam sejumlah film yang telah ia tonton, dari Driving Miss Daisy hingga Oerog yang membuat pembaca mendapat tambahan perspektif dalam melihat persahabatan.

Jika dilihat dari seluruh bahasan film yang ada di buku ini, seperti diakui oleh Arie dalam kata pengantarnya, tulisannya cenderung reflektif karena baginya dalam aspek inilah setiap orang bebas membuka suara. Tanpa perlu teori muluk-muluk. Tanpa perlu menjadi pakar perfileman, setiap orang tentu memiliki kesan pribadi terhadap film yang ditonotonnya, dan leluasa untuk mengobrolkannya dengan sesama penggemar. (hal 15). Hal ini pula yang menyebabkan tulisan-tulisannya dalam buku terasa lebih menarik karena menyajikan sisi lain yang tidak terungkap oleh penikmat film lain. Arie juga bisa dikatakan berhasil mengeluarkan intisari suatu film dengan memberikan interpretasi pesan sesuai dengan pandangan penulis ataupun merefleksikan cerita film tersebut pada problema kehidupan manusia yang universal.dari sebuah film yang dibahasnya.

Kritik atas buku ini ada pada penempatan keterangan title film. Di buku ini seluruh title film diletakkan di halaman belakang sebagai indeks. Hal ini membuat pembaca harus bolak-balik menuju halaman indeks untuk mengetahui title film yang sedang dibahas. Untuk kenikmatan membaca, akan lebih baik jika title film yang sedang dibahas menyatu dengan halaman bahasannya. Minimnya tampilan visual pada buku ini juga sangat disayangkan, padahal tampilan visual berupa poster dari film-film yang dibahas akan sangat membantu pembaca dalam menyegarkan ingatan pembaca akan film-film yang pernah ditontonnya.

Siapapun bisa membaca buku ini, syaratnya hanya satu suka nonton!. Di mata Arie film bukanlah sekedar hiburan yang enak ditonton, namun juga mengandung butir-butir kebenaran yang kerap tak terduga. Hal inilah yang seantiasa ada dalam tulisan-tulisan Arie sehingga pembaca buku inipun akan memperoleh butir-butir kebenaran dalam film2 yang telah ditonton Arie.

@h_tanzil

No comments: