Saturday, May 06, 2006

Berjuta-Juta dari Deli - Satoe Hikajat Loeli Contract


Judul : Berjuta-juta dari Deli
Satoe Hikajat Koeli Contract
Penulis : Emil W. Aulia
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, 2006
Tebal : viii + 261 hlm

Persoalan kaum buruh dan pengusaha sepertinya tak pernah berakhir. Kaum buruh selalu menuntut agar mereka memperoleh upah dan fasilitas yang layak, sementara untuk kelangsungan perusahaannya, para pengusaha berusaha membayar tenaga kerja buruh seminimal mungkin untuk menekan ongkos produksi mereka.

Jika kita menarik ke belakang ternyata sejak jaman pemerintahan kolonial Belanda masalah buruh sudah menjadi persoalan, apalagi pada saat itu hampir dikatakan tidak ada lembaga-lembaga atau serikat-serikat buruh yang peduli dan memperjuangkan nasib mereka. Seperti apa nasib kaum buruh pada masa itu ? Novel ini setidaknya memberikan sebagian dari apa yang dialami para buruh Jawa ketika mereka dijadikan kuli kontrak di Deli-Sumatera Timur.

Berjuta-juta dari Deli adalah novel yang ditulis berdasarkan sebuah brosur yang ditulis oleh Johanes Van den Brand pada awal abad ke-20. Van den Brand adalah tokoh pembela kaum pribumi di masa kolonial Belanda. Namanya masih kalah populer dibanding Multatuli (Douwes Dekkker) dan Van de Venter. Namun sejarah mencatat bahwa di awal abad 20 Ven den Brand pernah menggegerkan pemerintahan Belanda melalui tulisannya yang mengungkap perlakuan tak manusiawi para pengusaha perkebunan tembakau di Deli terhadap para kuli kontraknya. Tulisan ini dikemas dalam sebuah brosur berjudul " Millioenen uit Deli (Berjuta-juta dari Deli)".

Van den Brand adalah seorang advokat yang tinggal di Medan dan melihat secara langsung derita kuli-kuli kontrak di perkebunan tembakau di Deli. Berdasakan apa yang dilihatnya dan didukung oleh data-data tertulis yang ia kumpulkan dari berbagai media yang terbit dimasa itu, Van Den Brand dengan penuh keberanian menentang sengit penale sanciate (aturan hukum bagi kuli-kuli yang bekerja di perkebunan) yang dibuat oleh pemerintahan kolonial Belanda di wilayah tersebut. Ia melihat bahwa aturan ini hanya menguntungkan pemilik-pemilik perkebunan secara sepihak dan menyengsarakan kuli-kuli kontrak yangmenyebabkan mereka kehilangan kebebasan dan harkat manusianya selama menjadi kuli kontrak.

Brosur Millioenen uit Deli setebal 71 halaman diterbitkan pada tahun 1902 di Belanda. Brosur yang memprotes diberlakukannya penale sanciate dan juga mengurai derita dan skandal perbudakan yang dialami ribuan kuli kontrak asal Jawa yang berkerja di perkebunan tembakau milik swasta Belanda di Deli – Sumatera Timur ini tentu saja menggegerkan kedamaian negeri Belanda. Brosur ini mendapat perhatian dari Majelis Rendah Belanda (Tweede Kamer) yang langsung membahasnya dalam sidang-sidangnya. Pihak oposisi menjadikan isu kekerasan yang dialami kuli untuk menekan pemerintah. Hubungan Belanda dengan negara-negara tetangganya juga terganggu, beberapa negara mengecam kekerasan yang terjadi di Deli dan mengancam akan memutuskan hubungan dengan Belanda jika isi dari brosur itu benar adanya.

Perjuangan Van den Brand tidaklah mulus, pihak-pihak yang merasa kedudukannya terancam akibat terungkapnya kebobrokan di Deli tidak tinggal diam. Tuan-tuan perkebunan di medan dan pejabat-pejabat Belanda bersatu mengucilkan dirinya. Mereka menuding Van den Brand menyebar fitnah, tidak patriotik, hanya mencari popularitas dan melawan pemerintahan Belanda. Meski demikian Van den Bran tetap pada pendiriannya, ia kembali menulis brosur: Nogs Een : Millioenen uit Deli (Sekali Lagi : Berjuta-juta dari Deli : 1903). Di brosur keduanya ini Van den Brand menyerang balik pihak-pihak yang menentangnya. Akhirnya kegigihannya membuahkan hasil, pemerintah kolonial melahirkan sejumlah perubahan yang walau mungkin tak seusai dengan yang diharapkannya, namun setidaknya suara kaum kuli kontrak yang selama ini tak terdengar menjadi menggaung dimana-mana. Karena jasa-jasanya surat kabar "Harian Batak" yang terbit di Tapanuli menyebut Van den Brand sebagai "Bapak Kuli Kontrak". Sayangnya nama Van den Brand tampaknya terlupakan oleh masyarakat Indonesia bahkan namanya bisa dikatakan tidak tercatat dalam buku-buku pelajaran sejarah di sekolah-sekolah.

Perjuangan Van den Brand yang terlupakan ini rupanya menggugah jurnalis kelahiran Kubang Putih, Bukittinggi, Sumatera Barat , Emil W. Aulia, untuk menuliskan sebuah novel berdasarkan brosur De Millioenen uit Deli. Walau dikemas dalam bentuk novel yang tentu saja tak terlepas dari kebebasan imajinasi penulisnya, novel ini layak dijadikan sumber rujukan untuk mengetahui nasib kaum kuli kontrak di awal abad 20 yang sarat dengan derita.

Bisa dikatakan novel ini adalah gambaran yang lebih detail dari apa yang dituangkan oleh Ven den Brand dalam brosurnya. Novel setebal 259 halaman ini dibagi kedalam 26 bab plus prolog dan epilog. Pembagian bab-babnya dibuat secara sistematis sehingga pembaca akan diajak menelusuri jejak pengalaman kelam para kuli kontrak mulai dari bujuk rayu makelar pencari kerja, derita kuli kontrak dalam kesehariannya, kehidupan para pengelola perkebunan hingga perjuangan Van den Brand dalam memperbaiki nasib kuli kontrak.

Para kuli kontrak yang bersal dari Jawa umumnya terbujuk oleh mulut manis makelar pencari kerja yang dengan mahir mempengaruhi penduduk desa agar mau dijadikan kuli kontrak. Mereka diming-imingi hal yang menarik bahwa di Deli mereka akan menemukan , pohon yang berdaun uang, ronggeng, wayang kulit, dll. Para penduduk desa yang miskin tentu saja tertarik untuk dijadikan kuli kontrak. "Deli mengganggu tidur malam mereka…Tak sabar mereka ingin melihat langsung, merasakan, meraba, merengkuh semua pesona negeri ajaib itu. Uang yang berlimpah, wayang kulit…arak…emas…perempuan-perempuan ronggeng…Ah, apa yang lebih penting dari semua ini?…hlm 10. Ironisnya apa yang dijanjikan dan mereka impikan itu tak menjadi kenyataan, mereka malah menemui berbagai penderitaan di Deli.

Seluruh proses mulai dari keberangkatan, situasi di kapal dan kedatangan para kuli kontrak itu di perkebunan terekam dengan jelas di novel ini. Sesampai di pelabuhan mereka segera diharuskan membubuhkan cap jempol mereka pada secarik kertas yang isinya tidak mereka mengerti karena toh mereka tidak bisa membaca. Seketika itu mereka dihadapkan pada kenyataan yang pedih, mereka bertemu dengan sosok-sosok asing yang menggenggam kehidupan mereka. Jiwa dan raga para kuli-kuli kontrak itu telah ikut tergadai!.

Di perkebunan derita para kuli kontrak semakin menjadi, kehidupan mereka diatur oleh bunyi suara kentongan. Kentongan bangun pagi, istirahat siang, tidur malam, dll. Novel ini secara memikat mengungkap apa yang terjadi selama waktu-waktu terebut. Di sela-sela kerja dan istirahat para kuli kontrak, kerap terjadi tindak kekerasan yang tak manusiawi baik dari para mandor maupun Tuan Besar perkebunan. Setiap kuli yang melakukan kesalahan akan mendapat pukulan, tendangan, cambukan. Tak peduli kuli pria ataupun wanita, semua mendapat hukuman keji. Seorang kuli wanita yang tak mau diajak ‘main’ oleh Tuan Asisten Perkebunan harus mendapat siksaan disalib seperti Kristus. Dijemur dalam keadaan telanjang selama berhari-hari dari matahari terbit hingga terbenam. Tidak hanya itu saja "Opas-opas pribumi itu mencambuki pinggulnya dengan tali sanggurdi. Tentu, perempuan itu meruang-raung kesakitan. Belum puas, opas-opas itu kemudian menggosok kemaluannya dengan lada yang ditumbuk halus. Raung perempuan itu semakin menjadi-jadi." (hlm 73).

Selain mengungkap derita para kuli kontrak, novel ini juga mengungkap praktek pelacuran, perjudian, dan madat yang terjadi di perkebunan. Setiap akhir bulan setelah masa gajian para kuli dibiarkan terpikat ke dalam perjudian, masuk dalam bilik-bilik pelacuran dan rumah candu agar mereka menghabiskan upah mereka hingga harus meminjam uang kepada mandor perkebunan dengan bunga yang mencekik. Dengan begitu para kuli akan terbelit oleh hutang yang tak terbayarkan sehingga mau tidak mau mereka harus terus memperpanjang kontrak kerja mereka. Jika mereka kabur, para penduduk asli siap menangkap mereka untuk memperoleh imbalan yang besar dari pengelola perkebunan. Para kuli yang kabur diburu bak binatang buruan, ketika tertangkap mereka akan diikat dan dibawa ke perkebunan dengan tangan dan kaki diikat pada sebilah kayu layaknya seekor babi hutan.

Upah yang diterima para kuli wanita lebih kecil dibanding kuli pria. Secara teoritis upah yang diterimanya tak memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Hal inilah yang membuat praktek pelacuran mau tak mau harus mereka jalani. Yang mungkin agak beruntung adalah mereka yang memiliki wajah yang cantik dan terpilih oleh Tuan Besar untuk menjadi Nyai. Dengan menjadi Nyai mereka bisa merasakan kehidupan yang mewah, namun masa depan merekapun tak pasti karena begitu ketahuan hamil, maka merekapun akan terusir dari hadapan Tuan Besar.

Setelah diajak melihat derita para kuli kontrak, pembaca akan diajak melihat bagaimana kehidupan kaum para Tuan Kebun. Mereka bak raja kecil, hidup dalam pesta pora dan hidup yang mewah. Ketika mereka sedang beristirahat di beranda istana kecilnya dan lewatlah sekelompok kuli, maka "serentak mereka menurunkan badan-berjongkok dan kepala menekuk. Dengan lutut hampir menyentuh dada, pelan-pelan mereka menyeret langkah. Semua berlangsung dalam kepasrahan yang utuh…."(hlm 207). Setelah mereka melewati sang Tuan Besar barulah para kuli itu berdiri kembali dan menegakkan punggung mereka.

Para Tuan Besar pengelola perkebunan memang dididik untuk menjadi raja kecil yang otoriter, mereka tak harus mengetahui seluk beluk menanam dan merawat tembakau. Hal terpenting bagi mereka adalah : Bagaimana membuat kuli-kuli itu tunduk! Karena bagi mereka bahasa yang dimengeri oleh para kuli adalah bentakan dan makian. "Yang diperlukan bukan kata-kata menjelaskan, melainkan memerintah. Lengkap dengan bentakan dan makian. Hanya bahasa macam itu yang mereka mengerti"…(hlm. 155)

Setelah menyelami derita para kuli kontrak barulah di bab-bab terakhir pembaca akan diajak mengikuti sepak terjang Van den Brand dalam memperjuangkan misinya untuk mengungkap derita kaum kuli kontrak dan menegaskan bahwa kebijakan Poenale Sanciete tidak boleh dipertahankan karena aturan itu melegalkan terjadinya perbudakan dan membuat tindakan-tindakan tidak manusiawi menimpa para kuli kontrak.

Di bagian ini akan terungkap bagaimanaVan den Brand yang banyak mendapat tantangan dari pengelola perkebunan dan pejabat kolonial Belanda tak menyerah begitu saja, namun terus berjuang untuk kepentingan kaum kuli kontrak yang sebenarnya tak ada sangkut paut dengan kehidupannya.

Walau sebagian besar novel ini berisi kisah-kisah yang memilukan dan banyak mengungkap kekerasan yang dialami kaum kuli kontrak, novel ini dikemas dalam kalimat-kalimat yang indah, ketepatan penulis dalam memilih kalimat yang memukau untuk mengungkap derita para kuli kontrak membuat novel ini menjadi seimbang karena muatan kekerasan dalam novel ini diimbangi dengan untaian kalimat-kalimat yang indah.

Nama tokoh-tokoh Belanda yang muncul dalam novel ini bukanlah fiktif, mereka pernah pernah hidup dan menjadi pelaku sejarah. Selain itu kutipan-kutipan dari berbagai literatur di awal abad ke-20 membuat aroma sejarah novel ini sangat terasa sekaligus menyatakan bahwa novel ini bukanlah kisah fiksi semata, namun dikerjakan berdasarkan penggalan peristiwa sesungguhnya yang diperoleh dari riset literatur yang serius.

Beberapa ilustrasi yang memuat iklan/selebaran tenaga kerja di awal abad 20 juga turut menghiasi novel ini. Sayangnya novel ini tak menyertakan foto para kuli kontrak, scan cover atau beberapa halaman asli dari brosur De Millioenen uit Deli yang dijadikan sumber buku ini. Walau bukan buku teks sejarah namun pemuatan repro beberapa halaman brosur dan foto-foto tentunya bukan hal yang tabu dan tentunya akan menambah bobot sejarah dari novel ini.

Akhirnya usaha Emil W. Aulia dalam menulis novel ini patut dihargai setinggi-tingginya baik oleh kalangan sejarahwan maupun oleh kalangan pembaca umum karena berhasil mengungkap perjuangan seorang tokoh kemanusiaan asal Belanda "Bapak Kuli Kontrak" yang selama ini namanya terlupakan dan terkubur dalam buku-buku sejarah Indonesia.

@h_tanzil

13 comments:

Anonymous said...

Pak Tanzil, terima kasih atas resensinya! Detail dan (semoga) memikat orang buat baca novel ini. Kenapa tidak ada scan cover brosur itu? karena memang tidak ada covernya. Yang ada hanya tulisan biasa seperti judul pada makalah. Emil hanya memiliki fotokopiannya, itu pun sudah sobek-sobek pinggirnya. Thanks again, Pak Tanzil. Indeed, this novel is worth to read!

mirna
editor Berjuta-juta dari Deli

Duma said...

Bang Tanzil, aku juga sudah baca nih buku ini. Memang bagus. Bener lo, nama Van Den Brand gak pernah kedengaran yah sama sekali, padahal ternyata dia cukup berpengaruh juga memberitahukan apa yang terjadi di Deli ke mata dunia. Buku ini bagus.

Anonymous said...

Makasih Mbak Mirna,
Saya rasa scan brosur yang sudah terkoyak-koyak pun sangat layak untuk dimuat di novel tsb...biar pembaca tahu bagaimana bentuk asli dari brosur yang mengilhami novel ini.

Anonymous said...

betul Kobo!
Novel ini bagus-gus-gus! mengingatkanku pada novel2nya almarhum Pramoedya AT.

Anonymous said...

Bang Tanzil, sering-sering dong please bikin resensi dan sinopsis buku-buku spt ini. Abis kan kalo terjemahan udah banyak gitu yang bikin, hehehe... Yang kaya gini jarang banget dan haus rasanya kepingin baca buku-buku lokal yang ada muatan sejarahnya seperti ini.

Anonymous said...

Oke deh, masalahnya penulis2 lokal nggak banyak yang nulis novel sejarah. Hermawan Aksan pernah bikin novel Dyah Pitaloka (sudah aku review di blog ini.

Editor said...

Numpang beriklan. Saya menjual novel dengan setting serupa karangan Ivans (J. VAN SCHEVICHAVEN) berjudul "Slinksche Wegen. Een roman uit het delische Plantersleven" terbitan 's-Gravenhage, D.A. Daamen, s.d.[..], 1931.

Mengenai novel itu, Antiquarian Booksellers Gemilang menggambarkan:

Historical novel, supplying excellent insight into daily life of so-called Delianen, planters working on the large Deli-Estates, incl. an account on the rioting on the Rubber-estate Tanah Boekit. The plates are of topographical nature and depict the famous Medan-hotel De Boer, the Social Club of Medan and the palace of the Sultan of Deli. Although bibliography states 1931 as publishing-date, this novel has actually been published in 1938 as the preface by Henri Horman reveals, besides the rioting on the earlier mentioned estate took place in 1933! Good copy. Rare.

Nuwun,
yuli ahmada
0888 356 1727

Anonymous said...

kuli kontrak mah sudah gak ada lagi. Cuma....Tembakau Deli...nasibmu kini,antara ada dan tiada!!!!Antara harapan dan impian...

Anonymous said...

kuli kontrak mah sudah gak ada lagi. Cuma....Tembakau Deli...nasibmu kini,antara ada dan tiada!!!!Antara harapan dan impian...

Anonymous said...

Very cool design! Useful information. Go on! epson stylus c80 ink cartridges party poker Auto dealer flags and poles statewide dance competition and minnesota Movie starring the game Touch liposuction New mexico new laguna laser tatoo removal paris hilton video discovery land rover review Double jogging strollers wheel Arizona accutane dictionary Puerto rico and insurance producers and 2006

Anonymous said...

World Of Warcraft gold for cheap
wow power leveling,
wow gold,
wow gold,
wow power leveling,
wow power leveling,
world of warcraft power leveling,
world of warcraft power leveling
wow power leveling,
cheap wow gold,
cheap wow gold,
buy wow gold,
wow gold,
Cheap WoW Gold,
wow gold,
Cheap WoW Gold,
world of warcraft gold,
wow gold,
world of warcraft gold,
wow gold,
wow gold,
wow gold,
wow gold,
wow gold,
wow gold,
wow gold
buy cheap World Of Warcraft gold g3d6y7tp

Anonymous said...

masak sih pada jaman itu orang2 desa belum pernah mendengar tentang kerja paksa dan buruh perkebunan, sehingga mereka mau berangkat ke deli hanya karena iming2 "daun uang"? Sedangkan di jawa sendiri banyak penerapan kerja paksa.

haris said...

Dimana saya bisa mendapatkan buku ini?