Judul : A Thousand Splendid Suns
Penulis : Khaled Hosseini
Penerjemah : Berliani M. Nugrahani
Penerbit : Qanita
Cetakan : I, November 2007
Tebal : 510 hlm
Di ranah perbukuan internasional sebelum tahun 2003, tak seorangpun mengenal Khaled Hosseini, pria kelahiran Afghanistan lulusan San Diego School of Medicine yang sempat membuka praktik selama 10 tahun sebagai seorang dokter di Amerika. Namun di pertengahan tahun 2003 namanya tiba-tiba menjadi buah bibir dimana-mana. Bukan karena kepiawaiannya menangani masalah medis, melainkan karena kemahirannya merangkai cerita yang dirawinya menjadi sebuah novel yang diberinya judul “The Kite Runner “ (2001).
Novel perdananya yang berlatar belakang persabatan dua bocah Afghanistan disela-sela berkecamuknya perang saudara di Afghanistan meraup sukses luar biasa dan menjadi buku terlaris sepanjang 2005. The Kite Runner bertengger selama lebih dari 2 thn di daftar New York Times bestseller. Terjual lebih dari 8 juta kopi di seluruh dunia dan telah diterjemahkan ke dalam 42 bahasa. Filmnya sendiri telah dibuat oleh Paramount Picture, dan kabarnya akan diputar di bioskop-bioskop Indonesia pada Februari 2007.
Kesuksesan TKR mengantar Khaled Hosseini menjadi duta besar keliling UNHCR yang salah satu tugasnya mengunjungi para pengungsi di sejumlah negara yang sedang berada dalam konflik termasuk Afghanistan. Di tanah kelahirannya ini ia sempat mewawancarai sejumlah wanita Afghan yang kelak akan mengilhaminya untuk membuat novel keduanya yang diberinya judul A Thousand Splendid Suns
Novel ini mengambil setting di Afganistan antara tahun 1964 hingga tahun 2003. Tokoh utamanya adalah dua orang perempuan bernama Mariam dan Laila. Keduanya berasal dari latar belakang yang berbeda, usia yang berbeda, dan memiliki sifat yang bertolak belakang, namun sebuah peristiwa akhirnya mempertemukan mereka dan membuat keduanya harus menjalani berbagai kepedihan hidup ditengah situasi perang yang memporak porandakan kota dimana mereka tinggal.
Bab-bab pertama pertama novel ini mengisahkan kisah Mariam, seorang harami (anak haram) hasil hubungan gelap Jalil dan Nana, antara majikan dan pembantunya. Karenanya Nana disingkirkan oleh keluarga Jalil dan tinggal di sebuah desa terpencil bersama Mariam. Sedangkan Jalil hidup bersama ketiga istri sahnya di Herat. Walau Jalil tak pernah mengakui Mariam sebagai anaknya secara sah, namun seminggu sekali Jalil tetap mengunjunginya.
Saat Mariam akan berulang tahun yang ke 15, ia meminta agar ayahnya mengajaknya menonton film Pinokio di bioskop milik ayahnya di Herat. Jalil menjanjikannya. Namun malangnya saat yang dinanti-nantikannya berbuah kekecewaan, ayahnya tak datang untuk menjemputnya. Mariam nekad pergi sendiri menuju Herat untuk menemui ayahnya. Kenekatan Mariam harus dibayar mahal, sepulang menemui ayahnya, Mariam menemukan ibunya tewas gantung diri.
Setelah ibunya meninggal, Mariam diasuh oleh ayahnya. Namun bukan kebahagiaan yg ditemuinya. Ketiga istri Jalil tak menerima kehadiran Mariam. Ia dianggap aib bagi keluarganya, karenanya mereka mendesak Jalil untuk segera menikahkan Mariam dengan Rasheed, seorang duda tua pengusaha sepatu di Kabul. Inilah taktik bagi ketiga istri Jalil untuk menghapuskan jejak skandal memalukan suami mereka. Membuang Mariam ke Kabul yang berjarak enam ratus limapuluh kilometer dari Herat dengan menikahkannya.
Mariam akhirnya menikah dengan Rasheed. Awalnya tak ada yang meresahkan dalam pernikahan mereka kecauli sikap Rahseed yang over protektif terhadap Mariam. Karena Rasheed pernah kehilangan anak laki-laki dari pernikahannya terdahulu, ia berharap memiliki anak laki-laki dari Mariam. Sayangnya harapan Rasheed sirna karena berkali-kali Mariam mengalami keguguran. Sikap Rasheed menjadi berubah, selalu murung dan lekas marah. Kehidupan pernikahan mereka menjadi tak bahagia. Kesalahan sekecil apapun yang dibuat Mariam membuat Rasheed tak segan-segan memukul, menampar, atau menendang Mariam.
Lalu ada pula tokoh Laila, seorang gadis berusia sembilan tahun yang cerdas yang dilahirkan dari keluarga yang sadar akan pentingnya pendidikan. Laila tinggal bersama ayah dan ibunya di Kabul, dua orang kakak laki-lakinya gugur ketika berjuang bersama Mujahidin melawan Soviet. Hal ini menyebabkan ibunya menderita kepedihan yang amat dalam sehingga ibunya menutup diri dan nyaris gila. Laila juga bersahabat dengan seorang pria yang bernama Tarig yang seiring dengan bertambahnya usia mereka, mereka saling jatuh cinta.
Ketika Laila berusia lima belas tahun sebuah tragedi memisahkan Laila dari keluarganya dan kekasihnya Tariq. Laila kemudian diasuh oleh Rasheed dan Mariam yang rumahnya tak jauh dengan rumah Laila. Tanpa memerhatikan perasaan Mariam, Rasheed akhirnya menikahi Laila dan mulailah babak baru dalam kehidupan Mariam dan Laila. Awalnya Mariam selaku istri yang dimadu membenci Laila, apalagi Rasheed semakin merendahkan posisi Mariam dengan mengharuskan Mariam untuk melayani segala keperluan Laila.
Namun lambat laun kebencian Mariam pada Laila luntur ketika akhirnya keduanya mendapat perlakuan yang kasar dari Rasheed. Kekerasan dalam rumah tangga mewarnai kehidupan mereka. Mariam dan Laila harus mengalami penderitaan yang berlipat, selain mengalami penindasan dari suaminya sendiri, mereka juga harus bertahan mengahadapi situasi diluar yang tidak menguntungkan bagi para wanita. Kesamaan nasib yang mereka alami ini akhirnya melahirkan sebuah persahabatan yang membuat mereka memiliki kekuatan untuk mengarungi kerasnya hidup hingga seribu mentari surga yang bersembunyi di balik dinding menampakkan cahayanya.
Persahabatan antara Mariam dan Laila dan bagaimana mereka berjuang untuk mempertahankan hidup mereka inilah yang menjadi inti cerita dari novel kedua Khaled Hossaeini ini. Sebenarnya kisah yang diangkat oleh Hosseini ini adalah kisah melodrama yang umum. Kisah keluarga berpoligami dimana terdapat kecemburuan dan kekerasan dalam rumah tangga layaknya sinetron-sinetron TV.
Namun dari sebuah tema melodramatik yang umum, dengan piawai Kahled Hosseini berhasil mengemas kisahnya dengan gambaran latar belakang situasi politik dan realitas sosial Afghanistan sejak Soviet masih berkuasa hingga jatuhnya Taliban. Latar inilah yang membuat novel ini memiliki daya tarik tersendiri dan istimewa. Jika saja tanpa deskripsi latar realitas Afghanistan bisa dipastikan novel ini hanyalah sekedar kisah drama dengan pergolakan emosi yang menyentuh hati pembacanya (walau tak sekuat The Kite Runner).
Dibanding dengan novel pertamanya, latar belakang kehidupan sosial dan politik di novel ini tampak lebih detail dan kronologis. Khaled merinci tahun dan pihak-pihak yang bertikai pada saat itu. Ia juga menyelipkan nama-nama riil tokoh politik dan pejuang-pejuang baik dari pihak Najibullah, Mujahidin, dan Taliban. Dengan demikian pembaca awam dapat memahami berbagai pergantian pemerintahan di Afghanistan secara kronologis.
Pembaca juga diajak melihat bagaimana gambaran penderitaan rakyat Afghanistan akibat peperangan yang terus berkecamuk, roket-roket berjatuhan di kota Kabul, penduduk sipil meregang nyawa dengan tubuh yang tercerai berai, gerak kaum perempuan dibatasi dimana Taliban mewajibkan semua wanita untuk tinggal di dalam rumah sepanjang waktu, tidak boleh bersekolah dan tidak boleh bekerja. Sedangkan laki-laki diwajibkan memelihara janggut, memakai serban, dll.
Tak hanya pembatasan gerak terhadap wanita, apresiasi seni dan kebudayaanpun diharamkan. Dilarang menyanyi, dilarang menari, para musisi dipenjara. Karya-karya seni yang dianggap bertentangan dengan Islam dihancurkan, bahkan Taliban tak segan-segan meluluh lantakkan patung Budha raksaksa di Bamiyan yang merupakan situs sejarah terbesar Afganistan yang berusia dua ribu tahun. Berbagai gambaran situasi Afghan itulah yang turut membangun kisah Mariam dan Laila menjadi semakin kuat, menyentuh sekaligus berwawasan karena menyajikan potret kehidupan masyarakat Afghanistan secara utuh.
Tema yang diangkat di novel ini pun tampaknya lebih dekat dengan kondisi di Indonesia dimana masalah poligami dan kekerasan dalam rumah tangga juga masih menjadi problema dalam kehidupan perempuan di Indonesia. Karenanya bukan tak mungkin novel yang hingga kini masih bertengger dalam bestseller versi the New York Times ini di Indonesia akan lebih laris dibanding The Kite Runner.
Hanya berselang 7 bulan semenjak dirilisnya novel aslinya, terjemahan novel ini kini telah beredar di toko-toko buku. Penerbit Qanita masih mempercayakan novel kedua Khaled ini diterjemahkan oleh penerjemah yang sama dengan novel pertamanya, yaitu Berliani M. Nugrahani. Langkah yang tepat karena setidaknya penerjemah telah memiliki modal dan pengalaman dalam menerjemahkan karya Khaled yang penuh dengan kalimat-kalimat indah dan menyentuh.
Bagi penerjemah sendiri menurut pengakuannya ia tak menemui kesulitan yang berarti dalam menerjemahkan novel ini. Dalam blognya ia mengungkap, bahwa menerjemahkan novel ini adalah sebuah petualangan yang sangat berkesan baginya. Ia menambahkan bahwa menerjemahkan novel ini adalah salah satu mimpi yang jadi kenyataan buat semua penerjemah. Dengan antusiasme yang besar dari penerjemahnya tak heran jika novel diterjemahkan dengan sangat baik sehingga pembaca tidak akan menemui kesulitan untuk menikmati novel ini.
Sebuah review atas novel ini yang dimuat di koran Sindo ( 20/1/2008) yang ditulis Denny Ardiansyah mengungkap bahwa penerjemah novel ini abai dalam menerjemahkan kosa kata dalam bahasa Afghanistan. Namun saya rasa hal ini tidaklah tepat, memang novel ini menyertakan puluhan kosa kata Afghanistan namun pada kalimat berikutnya apa yang dimaksud dalam kata-kata asing tersebut selalu dijabarkan. Jadi walau tanpa terjemahan dan tanpa glosarry, pembaca pasti akan memahami makna kalimat tersebut. Dan lagi ketika saya mencek ke naskah aslinya yang ditulis Khaled dalam bahasa inggris, Khaled pun tak menerjemahkan secara langsung kosa kata Afghan tersebut kedalam bahasa Inggris.
Akhirnya novel ini memang sangat layak untuk diapresiasi. Apa yang disajikan oleh Khaled pada novel ini membawa kita pada makna sebuah persahabatan dan pengorbanan cinta, kesabaran tanpa batas, penderitaan kaum perempuan karena kekerasan dalam rumah tangga dan kungkungan rezim otoriter, semangat hidup di tengah pudarnya harapan, dan ironi pahit sebuah peperangan yang selalu digagas atas nama keadilan namun selalu berbuah penderitaaan bagi warga sipil.
@h_tanzil
3 comments:
si penerjemah abai mendapatkan pembelaan dari rahib, hihihi...
*menjura kepada rahib
nice review! saya juga pecinta buku, salam kenal mas. Tapi ini belom baca, but "the kite runner" udah, hampir-hampir nangis bacanya, hehee
salam kenal mas,,
saya juga suka baca buku, dibilang kutu buku sih tidak juga,, heheheh
saya sudah membaca buku ini dan buku the kite Runner juga sudah saya baca, sampai mewek sendiri dikamar.
mungkin karena aku wanita jadi terbawa suasana hehehe..
jika masih punya refensi lain boleh disaher mas..
klo boleh..
Post a Comment