Monday, May 26, 2008

Buddha

No : 152
Judul : Buddha
Penulis : Deepak Chopra
Penerjemah : Rosemary Kesauly
Editor : Hetih Rusli
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : April 2008
Tebal : 400 hlm ; 20 cm


Siddharta Gautama adalah salah seorang tokoh sejarah yang juga dikenal sebagai pendiri salah satu agama tertua yang masih dianut di dunia hingga kini. Melalui dirinya yang telah mengalami pencerahan sejati, ia mengajar dan melahirkan sebuah keyakinan yang kini disebut agama Buddha.

Bagi para penganutnya riwayat hidup pangeran Siddharta yang kemudian menjadi Sang Buddha tentu sudah hafal diluar kepala. Namun bagi sebagian lainnya riwayat hidup Sang Buddha mungkin hanya mereka ketahui secara singkat lewat pelajaran agama di sekolah-sekolah.Kini riwayat hidup Buddha secara detail dapat kita baca melalui novel karya Deepak Chopra, dokter dan spiritualis yang dalam beberapa tahun terakhir menjadi guru spiritual selebriti Hollywood.

Chopra membuka novelnya ini dengan adegan Raja Suddhodana (ayah Siddharta) yang sedang berperang melawan musuhnya. Pada saat yang sama, Ratu Maya, permaisuri Suddhodana ditandu melintasi hutan Lumbini. Ia sedang mengandung sepuluh bulan dan berniat melahirkan di kampung halaman orang tuanya. Belum sampai di tujuan, ditengah hutan Lumbini, saat bulan mulai bersinar terang lahirlah seorang putra yang sudah dinanti-nantikannya. Dinamainya putranya itu dengan nama Siddharta.

Layaknya seorang raja yang menginginkan anaknya agar menjadi penerus tahta kerajaannya, begitupun dengan Suddhodana, ia menginginkan Siddharta kelak menjadi penggantinya. Namun oleh Asita, seorang petapa, Siddharta diramalkan tidak akan menjadi raja agung yang berkuasa atas rakyatnya melainkan ia ditakdirkan untuk ‘menguasai jiwanya sendiri’

Suddhodana berniat mengubah takdir Siddharta, ia meminta bantuan Canki, pendeta istana. Canki menyarankan agar selagi muda Siddharta digembleng untuk menjadi seorang raja besar dan tak boleh keluar dari dinding-dinding istana. Siddharta tak diizinkan melihat penderitaan, penyakit, kemiskinan, orang-orang tua yang lemah, dll. Karenanya lingkungan istana terbebas dari hal-hal itu. Orang-orang yang sakit, tua dan menderita diusir dari istana dan dibuang ke sebuah desa yang terisolasi.

Siddhartapun hidup terkukung dalam istana mewahnya. Ia digembleng oleh ayahnya untuk menjadi seorang raja, namun lambat laun sikap Siddharta tak sesuai dengan sikap seorang calon raja seperti yang diinginkan Suddhodana.

Usaha membelokkan takdir Siddharta tak hanya berasal dari ayahnya, melainkan dilakukan juga oleh Mara, sang Iblis yang semenjak Siddhara lahir selalu mencoba menghancurkan mental Siddharta agar tak menjalani takdirnya. Baik secara langsung maupun meminjam tangan Devadatta, sepupu Siddharta yang ambisiun dan keji, Mara mencoba membelokkan takdir Siddharta.

Takdir tak dapat dilawan, walau telah memiliki istri dan seorang anak, Siddharta akhirnya meninggalkan istana dan keluarganya untuk menjadi seorang petapa guna mencari darma dan pencerahan batin. Ia mengganti namanya menjadi Gautama. Apa yang dijalaninya ternyata tak mudah, ia harus mencari guru yang membimbingnya. Beberapa petapa menjadi gurunya, namun tak satupun yang memberinya jawaban atas apa yang dicarinya.

Pencariannya tak mudah. Bayang-bayang kenikmatan hidup masa lalunya sebagai seorang pangeran sempat menghantuinya. Mara, sang iblis selalu menggodanya. Berbagai peristiwa yang dialami selama masa pencariannya ini membuatnya hampir menyerah.

Akhirnya Siddharta bergabung dengan lima orang pertapa yang kelak akan menjadi pengikut setianya ketika ia telah menjadi Buddha. Siddhara akhirnya sanggup melepaskan diri dari ikatan-ikatan duniawinya, ia mengalahkan iblis, hingga akhirnya menemukan jawaban atas apa yang dicarinya yaitu mencapai pencerahan sejati dan menjadi seorang Buddha.

Di novel ini riwayat hidup Buddha dibagi dalam tiga fase hidupnya ; Siddharta sang Pangeran, Gautama sang Pertapa, dan Buddha yang penuh belas kasih. Deepak Chopra tampak setia terhadap fakta sejarah dan alur riwayat kehidupan Buddha seperti yang telah diketahui oleh umum. Chopra hanya mengisi kekosongan periode-periode kehidupan Buddha yang tidak dicatat dalam lontar-lontar kuno dan prasasti-prasasti.

Jika mungkin selama ini kita mengenal Buddha sebagai tokoh damai dan bersahaja, namun melalui imajinasi Chopra kisah hidup Buddha dideskripsikan penuh dengan cerita cinta, seks, pembunuhan, kehilangan, perjuangan, dan penyerahan diri.

Tampaknya Chopra mencoba mengambarkan Buddha keluar dari kabut waktu, dan menonjolkan Buddha secara lebih manusiawi dan membumi. Tak seperti Pramoedya yang melucuti legenda Ken Arok dari unsur-unsur mistis dan tahayulnya (Arok Dedes, Hasta Mitra 1999), Chopra tetap mempertahankan unsur mistis dan supranatural secara wajar dan tak berlebihan. Selain itu selubung misteri dan sisi agung Buddha tetap dipertahankan sehingga bagi para penganutnya novel ini tampaknya tetap bisa diterima sebagai bacaan alternatif dari riwayat Sang Buddha.

Mengisahkan Buddha tentunya tak bisa lepas dari ajaran-ajarannya. Semula saya menyangka novel ini akan sarat dengan kalimat-kalimat filosofis, apalagi nama Deepak Chopra yang dikenal sebagai seorang spiritualis membuat saya awalnya sedikit berjarak dengan novel ini karena khawatir akan susah dimengeri dan membosankan.

Namun kekhawatiran itu ternyata tak beralasan. Chopra mengisahkan riwayat Buddha secara menarik dan enak dibaca. Kalaupun ada kalimat-kalimat filosofis, Chopra menyajikannya dalam porsi yang pas dan menyatu dalam alur kisahnya. Membaca novel ini sama asiknya dengan membaca novel-novel sastra pada umumnya.

Selain itu, di novel ini potret kehidupan masyarakat dan budaya India di tahun 563 SM tampak terdeskrisi dengan baik. Mulai dari upacara pembakaran jenazah, kehidupan di istana, pemilihan jodoh pangeran, hingga kehidupan seorang petapa dan sikap masyarakat terhadap para petapa tersaji dengan menarik dan informatif

Terjemahan yang enak dibaca, cover yang menarik dan pilihan jenis kertas yang tidak silau dan ringan membuat novel setebal 400 halaman ini memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi. Sebagai pelangkap, di bagian epilog dan akhir buku ini Chopra mencoba memberikan penjelasan-penjelasan mengenai ajaran Buddha. Karenanya tak berlebihan jika dikatakan bahwa novel ini dapat menjadi pintu masuk bagi mereka yang ingin mengenal dan memahami ajaran Buddha.

Mungkin ada hal-hal yang tidak tepat dalam mendiskripsikan Buddha menurut imajinasi Chopra, namun karena buku ini sebuah karya fiksi, marilah kita menikmatinya secara sastrawi. Ajaran-ajaran Buddha yang universal yang terdapat dalam novel ini tentunya dapat memberi kita inspirasi dan menutun kita lebih dekat menuju pemahaman hidup dan bagaimana kita menjalani hidup ini dengan lebih baik lagi bagi Tuhan dan sesama manusia.

@h_tanzil

4 comments:

ARTIKEL PENDIDIKAN ISLAM said...

apa yang bikin anda tertarik dengan buku seperti ini. soalnya, jalan cerita dan endingnya sudah bisa kita tebak. ya tidak? bersediakah anda mengomentari tulisan saya yang berjudul, trampil menulis dengan ngeblog, di blog saya ? saya tunggu ya

htanzil said...

betul, garis besar cerita dan ending sudah kita ketahui, tapi yang membuat buku ini menarik, bagaimana chopra menceritakan secara detail perjalanan Siddharta menjadi Buddha.

Dalam kisah pencapaiannya menjadi Buddha itulah banyak hal-hal menarik yang mungkin tidak pernah kita ketahui selama ini.

Anonymous said...

setuju. dalam membaca saya pikir bukan akhirnya saja yg menarik, tapi proses atau bagaimana cerita bergulir menuju akhir itu. lagipula, ternyata masih banyak detil2 ttg hidup Sidharta yg baru kita tahu dari membaca buku ini.

kadang buku yg bagus, kita ingin membacanya lagi bbrp tahun kemudian, hanya karena ingin menikmati kembali "pengalaman membaca" tadi (bukan sekedar endingnya).

salam, Mei.

Anonymous said...

Gue dah baca versi English-nya n mendalam banget. so, this is a good one :)