Monday, August 11, 2008

Lanang

Judul : Lanang
Penulis : Yonathan Rahardjo
Editor : A. Fathoni
Penerbit : Pustaka Alvabet
Cetakan : I, Mei 2008
Tebal : 414 hlm


Sebenarnya agak terlambat untuk membicarakan novel Lanang – Yonathan Rahardjo, pemenang harapan II novel DKJ 2006. Novel yang terbit sejak Mei 2008 ini telah banyak menuai komentar, ada yang memuji dan ada juga yang mengkritiknya. Ketika novel ini dibahas di TIM pada bulan Juli yang lalu, novel ini didiskusikan dengan sangat kritis oleh para pengamat dan pelaku sastra nasional.

Arpesiasi atas novel ini ternyata tak berhenti di ruang-ruang diskusi sastra, kritikan, pujian, dan beraneka tanggapan dari berbagai kalangan terus berseliweran di ruang cyber, baik di milis-milis sastra, maupun blog-blog yang membahas buku ini. Kini semua komentar, diskusi, essai, dan makalah yang membahas novel ini telah dikumpulkan oleh penulisnya dalam sebuah blog yang diberi nama http://novellanang.co.cc

Novel ini diawali dengan deskripsi suasana pedesaan ketika dokter hewan Lanang tengah menolong kelahiran seekor anak sapi perahan. Proses kelahiran anak sapi ini berlangsung dengan lancar dan disambut gembira oleh si empunya sapi. Pulangnya, saat lanang memadu kasih dengan istrinya, mucullah sosok mengerikan dari dalam tanah. Bentuknya menyerupai babi, namun memiliki sayap dan bisa terbang. Belum lagi Lanang sadar dari rasa kagetnya, burung babi hutan yang memporak porandakan rumahnya itu terbang dan lenyap entah kemana.

Kemunculan burung babi hutan itu ternyata diikuti oleh kematian mendadak sapi-sapi perah di desa tempat lanang bekerja, bagai wabah ganas, kematian itu menyebar hingga ke seantero nusantara. Para ahli ternak mulai mencari penyebab wabah kematian sapi-sapi perah itu, namun penyakit aneh yang menyertai kematian para sapi perah tak bisa diidentifikasi secara ilmiah hingga seorang dukun hewan memastikan bahwa burung babi hutan yang pernah mendatangi lananglah penyebab wabah tersebut.

Lanang terobesesi untuk mencari tahu apa sebenarnya mahluk tersebut. Berbagai usaha dilakukannya hingga akhirnya berkat kegemarannya mengumpulkan cairan tubuh dari para wanita yang dikencaninya, ia berhasil merumuskan sebuah cara ilmiah plus mistis guna menghadirkan sosok burung babi hutan. Usahanya tersebut berhasil, burung babi hutan berhasil ditembaknya hingga tewas. Bersamaan dengan tewasnya mahluk tersebut lenyap juga wabah penyakit yang melanda para sapi perahan

Lanang pun menjadi pahlawan. Namun ini bukan akhir dari kisah Lanang, tewasnya burung babi hutan belum menjawab apa dan darimana mahluk tersebut berasal. Peran Lanang sebagai pahlawan pemberantas wabah penyakit hewan tiba-tiba dipertanyakan dan digugat dalam sebuah seminar Kehewanan Nasional. Selain itu rumah tangga Lanang pun diguncang prahara. Kehidupan Lanang berada dalam titik terendahnya. Secara intelektual dan emosional ia dihancurkan oleh sebuah konspirasi tingkat tinggi yang justru dilakukan oleh kolega-koleganya sendiri.

Sanggupkah Lanang bertahan, darimana dan apakakah sebenarnya burung babi hutan itu muncul? Layaknya sebuah novel misteri, semua misteri dan berbagai kejutan tak terduga akan tersaji di lembar-lembar terakhir novel ini.

Novel dengan keragaman tema

Novel yang dibuat oleh seorang dokter hewan sekaligus pecinta dan pelaku sastra ini memiliki keragaman tema. Ada soal cinta, seks, kemunfaikan, psikologis, dan isu-isu sosial yang menyangkut lingkungan kesehatan hewan dan bioteknologi.

Secara psikologis karakter dalam tokoh-tokoh novel ini bisa dibilang menarik. Pada awalnya kita akan disuguhkan karakter Lanang sebagai dokter hewan yang berdedikasi, mencintai istrinya dan tampak taat menjalankan ritual agamanya. Namun Lanang bukanlah tokoh yang sempurna, sedikit demi sedikit kebusukan dan perilakunya yang aneh dan rapuh akan terungkap. Demikian juga dengan tokoh-tokoh lainnya, seperti Putri, istrinya, Dewi, teman seprofesinya, dan Rajikun di dukun hewan yang kontroversial.

Konflik kejiwaan dan karakter tokoh-tokohnya ditampilkan secara mendalam sehingga membangun novel ini menjadi sebuah novel psikologis yang mengungkap sisi malaikat dan sisi iblis pada tiap manusia.

Tema lain yang menonjol dalam novel ini adalah mengenai lingkungan dunia kesehatan hewan. Tampaknya penulis menumpahkan semua pengetahuan akademisnya dan wawasan lingkungannya sebagai seorang dokter hewan pada novel ini. Seluk beluk mengenai dunia kesehatan hewan dieksplorasi dengan baik termasuk intik-intrik didalamnya dan berbagai konspirasi dalam dunia kesehatan.

Dan yang paling menarik adalah tema rekayasa genetika. Akan terungkap bagaimana penggunaan zat-zat transgenik dalam pengolaan pakan hewan bagaikan pisau bermata dua, di satu pihak dapat memacu produktivitas hewan namun sekaligus bisa berdampak menimpulkan penyakit baru. Ironisnya, hal ini ternyata disengaja agar produsen obat penangkalnya bisa memasarkan produknya dengan maksimal.

Dan hal yang lebih ekstrim lagi adalah akibat rekayasa genetika yang dicobakan pada hewan-hewan yang ada disekeliling kita. Misalnya bagaimana seekor monyet yang diberi gen ubur-bur akan membuat monyet tersebut berpendar dalam gelap, seekor babi yang memilik sayap setelah diberi gen seekor burung, atau pemberian gen manusia pada sapi perah agar dapat menghasilkan susu lebih banyak dan kandungan susu yang dihasilkan menjadi sama dengan ASI ! Semua itu akan terungkap dengan jelas pada novel ini.

Alur cerita

Novel yang ditulis dengan bahasa yang ‘nyastra’ ini memiliki alur kisah yang tak terlalu cepat, kalimat-kalimat yang puitik dalam mendeskripsikan sesuatu tampaknya turut membuat alur kisahnya berada dalam kecepatan yang sedang-sedang saja.

Ketika membaca novel ini, pembaca akan diajak bagaikan menaiki sebuah roler coaster. Perlahan tapi pasti pembaca dibawa menaiki puncak ketegangan dari novel ini. Klimaksnya adalah dengan tertembaknya burung babi hutan ditangan dokter lanang.

Uniknya hal ini terdapat di pertengahan novel ini. Tentunya pembaca akan bertanya-tanya, kalau begitu kisah apa lagi yang akan ditemui di sisa halaman selanjutnya? Yang pasti setelah itu situasi kembali mengendur sesaat, emosi pembaca akan diajak kembali menanjak menuju klimaks berikutnya yang berakhir di lembar-lembar terakhir novel ini.

Novel ini juga menyisipkan berbagai teka-teki dan misteri sehingga walau tak memiliki alur kisah yang cepat, hal ini dapat mengikat pembacanya untuk terus betah melahap novel ini hingga selesai guna mencari jawab semua teka-teki dan misteri yang terdapat dalam novel ini.

Novel yang menuai kritik dan pujian

Seperti telah diungkap diatas, novel ini ternyata menuai beragam tanggapan, baik yang positif maupun negatif. Yang memuji, umumnya mengacungkan jempol pada penulisnya karena keberaniannya menghadirkan tema mengenai rekayasa genetik, seluk beluk peternakan, dll yang merupakan wilayah yang jarang dibicarakan di sastra Indonesia.

Yang mengkritik, menyorot soal terlalu banyaknya deskripsi-deskripsi puitik yang mengganggu alur cerita, beberapa kejadian yang tidak masuk akal, hingga struktur kalimatnya yang dianggap berantakan.

Terlepas dari berbagai kritik atas novel ini, saya pribadi bisa menikmati novel ini hingga tuntas, bahkan banyak mendapat pencerahan melalui dialog-dialog seputar kesehatan hewan, bioteknologi, rekayasa genetik, kritik sosial, hingga intrik-intrik politik dunia kesehatan tanah air yang mungkin merupakan cermin apa yang sesungguhnya terjadi di dunia kedokteran hewan dan peternakan di tanah air.

Dibalik pencerahan yang saya dapat memang ada beberapa hal yang mengganggu seperti beberapa puisi yang menurut saya mengganggu alur kisahnya, terutama di bagian ketika Lanang menumpahkan kekesalannya pada kolega-koleganya melalui kalimat-kalimat puisi sebanyak hampir 3 halaman ! Saya terpaksa melompati bagian ini karena sama sekali tak bisa menikmati puisi tersebut.

Sedangkan untuk peristiwa yang menurut saya ganjil adalah ketika Lanang digempur oleh rekan-rekannya dalam seminar Kehewanan Nasional. Umpatan-umpatan dan tuduhan yang ditujukan pada Lanang tampak terlalu berlebihan dan emosional sehingga tidak mencerminkan suasana sebuah seminar nasional yang dihadiri oleh ahli2 dokter hewan dari luar negeri.

Kehadiran sosok burung babi hutan sendiri saya rasa terlalu mengada-ngada dan agak sulit bagi saya untuk menghadirkan sosok tersebut dalam benak saya. Saya rasa dengan tema, pesan, dan muatan yang sama tak perlulah penulis menghadirkan sosok mahluk aneh dan terkesan mistis. Jika saja burung babi hutan digantikan dengan sejenis virus, seperti virus flu burung yang hingga kini masih menjadi momok di negara kita, pasti novel ini akan lebih membumi dan bermanfaat karena ada kesempatan bagi penulisnya untuk mengemukakan hal-hal baru mengenai virus ini.

Selain itu usaha ketika lanang akhirnya memperoleh suatu rumusan yang mencampuradukkan unsur bioteknologi, mistis, dan religi untuk memanggil burung babi hutan saya rasa terlalu berlebihan dan diluar nalar saya yang awam dengan kajian bioteknologi.

Nah, dibalik semua kelebihan dan kekurangannya tersebut, novel yang telah hadir dan menyemarakkan jagad sastra kita ini setidaknya memiliki nilai-nilai baik. Seperti yang ditulis oleh koran tempo, novel ini telah mengangkat satu isu yang sangat aktual, yaitu mengenai teknologi transgenik yang masih diwarnai perdebatan sampai sekarang, Selain itu terungkap pula tarik menarik antara kedokteran modern dangan pengobatan alternatif, hubungan suami istri, serta isu lingkungan.

@h_tanzil

4 comments:

Anonymous said...

Currently reading...

Anonymous said...

Saya belum mebaca bukunya langsung dan tidak mengetahui bagaimana suasana ketika sang tokoh dicaci maki pada saat conference. Tapi di dalam sebuah conference karya ilmiah memang dibenarkan untuk menyanggah pembicara atau pembawa naskah, bahkan mencaci kalau sang penyanggah punya bukti yang bertolak belakang (walaupun dalam kesepakatan memang tidak bisa disebut etis dan disarankan untuk membuat makalah yang menyanggah).

Unknown said...

terimakasih infonya sangat menarik, kunjungi http://bit.ly/2PFnTLA

Unknown said...

bagus kalau dibuat film