Judul : Metropolis
Penulis : Windry Ramadhina
Penerbit : Grasindo
Cetakan : 2009
Tebal : 330 hlm
Narkotika, mafia, konspirasi, dan dendam, itulah tema sentral dalam novel Metropolis karya Windry Ramadhina, penulis muda yang novel perdananya “Orange” masuk dalam longlist Khatulistiwa Literray Award 2008 untuk kategori Penulis Muda Berbakat. Berbeda dengan novel Orange yang bergenre metropop, Metropolis merupakan novel thriller detektif yang menarik untuk disimak karena genre ini masih termasuk jarang digarap oleh penulis-penulis kita.
Dalam Metropolis dikisahkan bagaimana Augusta Bram, salah seorang anggota Satuan Reserse Narkotika Polda Metro Jaya mengungkap sebuah pembunuhan berantai yang menimpa para pemimpin sindikat mafia narkotika Indonesia. Selain karena tugas, Bram juga terobsesi untuk mengangai kasus ini karena ia menyimpan dendam pribadi karena keluarganya pernah berusan dengan masalah ini. Ayahnya yang pecandu narkoba tewas dibunuh oleh para pengedar narkoba karena tak sanggup membayar hutang-hutangnya.
Kisah dalam novel ini diawali dengan adegan pemakaman Leo Saada, salah seorang pemimpin mafia dari sindikat 12 yang menguasai bisnis narkotika terbesar dan merupakan momok bagi polisi-polisi Sat Reserese Narkotika karena selama lima tahun ini polisi tak memiliki cukup bukti untuk menyeret seluruh anggota sindikat 12 ke terali besi. Polisi berasumsi bahwa kematian Leo Saada karena kecelakaan mobil, bukanlah murni kecelakaan karena tim forensik berhasil menemukan beberapa peluru di lokasi kejadian.
Polisi juga menduga ada motif persaingan antar geng dalam kematian Leo Saada karena dalam satu tahun kebelakang sebelum peristiwa ini ada 6 orang pemimpin geng yang tergabung dalam sindikat 12 tewas dalam berbagai cara. Untuk itu Bram dan asistennya Eric, berusaha untuk membongkar dan menangkap siapa pelaku pembunuhan berantai itu.
Ternyata tak hanya Bram yang tertarik dalam kasus ini, Miaa, seorang wanita mantan polisi secara diam-diam mengamati kasus ini. Berkat kejelian Bram, keberadaan Miaa disetiap lokasi peristiwa pembunuhan pimpin sindikat 12 diketahui. Awalnya Bram menaruh curiga kalau Miia terlibat dalam kasus ini, namun akhirnya terkuak apa motifasi Miaa yang sesungguhnya.
Tak mudah mengungkap siapa pelaku dan apa motif dibalik peristiwa pembunuhan berantai ini. Ketika Bram harus memutar otak untuk memecahkan teka-teki kasus ini dengan sedikit bukti yang dia miliki, pembunuhan demi pembunuhan itu terus terjadi. Walau semua pemimpin geng telah meningkatkan kewaspadaannya dan Bram telah memperingatkan mereka, namun pembunuhan terus terjadi. Bram harus bergerak cepat menangkap pelakunya sebelum semua pemimpin sindikat 12 tewas.
Walau novel ini merupakan novel thriller detektif, namun pada pertengahan paruh pertama novel ini siapa pelaku dan apa motif pembunuhan berantai terhadap pemimpin sindikat 12 telah terang benderang diungkapkan oleh penulisnya. Tampaknya penulis sengaja membeberkan motif dan jati diri si pelaku, alih-alih menyimpan rapat siapa pelaku dan motif pembunuhan berantai dengan sasaran para pemimpin sindikat, penulis tampaknya lebih memilih menyajikan teka-teki dan berbagai kejutan dengan munculnya tokoh –tokoh yang memiliki keterkaitan dengan kasus ini. Dengan demikian walau pembaca sudah mengetahui apa motif dan siapa pelakunya, keasyikan pembaca untuk menuntaskan novel ini tak akan terganggu karena meraka tak akan bisa menduga akan kejutan-kejutan yang diberikan penulis hingga lembar-lembar terakhir novel ini.
Walau secara umum novel ini menarik untuk dibaca, namun ada beberapa hal yang tampaknya perlu diekplorasi lagi agar semakin menarik, antara lain kurangnya pendalaman karakter tokoh-tokohnya. Contohnya untuk tokoh utamanya Bram. Masa lalu Bram yang kelam bersama ayahnya hanya dibahas secara singkat saja sehingga tak tereksplorasi dengan baik, padahal jika digali lebih dalam lagi maka novel ini akan semakin menarik. Bukankah di bawah judul novel ini tercantum kalimat “ Demi ayahku yang sudah mati…”. Namun mungkin soal kedalaman karakter dalam novel ini adalah pilihan penulis yang lebih mengutamakan plot cerita dan unsur teka-teki dibanding mengupas habis karakter2-karakter tokoh-tokohnya secara lebih mendalam, dan hal ini sah-sah saja.
Dalam hal mengungkap hubungan antara atasan dan bawahan dalam struktur kepolisian saya rasa, penulis telah terjebak dalam pandangan umum yang diciptakan oleh film-film detektif dimana atasan tak mendukung bawahannya sehingga terjadi clash dan diminta mundur dari kasus yang ditanganinya, dll. Tentunya tak harus seperti itu, ada banyak hal yang mungkin bisa digali untuk soal hubungan antara atasan dan bawahan, jadi untuk membuat sebuah kisah lebih tentu tak selalu harus mengikuti ‘pakem’ film-film detektif pada umumnya.
Kemudian dalam hal seluk beluk dunia mafia narkotika Indonesia, saya rasa kalau saja penulis lebih berani mengupasnya tentu akan lebih menarik. Dalam novel ini intrik-intrik dan cara kerja sindikat 12 hanya terungkap secara garis besar dan apa yang diungkap oleh penulisnya tampak sudah menjadi rahasia umum yang diketahui oleh banyak orang . Selain itu dampak sosial terhadap perilaku para mafia narkotika dalam novel ini juga tak terungkap dengan jelas. Andai saja penulis lebih berani mengungkap sisi-sisi gelap dunia mafia tanah air yang belum banyak diketahui orang dan menyertakan dampak-dampak sosial yang mungkin dirasakan akibat perilaku mereka tentunya novel ini akan jadi novel yang menggegerkan, monumental. Tentunya untuk mengungkap itu semua perlu riset yang lebih dalam lagi dan keberanian untuk mempublikasikannya.
Namun terlepas dari semua hal di atas, apa yang disajikan oleh penulis dalam Metropolis tetaplah menarik dan menghibur. Walau karakter-karakter tokohnya tak diulas secara mendalam namun tetaplah menarik karena penulis tak menghadirkan tokoh-tokoh yang sempurna termasuk tokoh protagonis dalam novel ini. Semua serba abu-abu, ada unsur baik ada pula unsur jahatnya, demikian pula untuk tokoh-tokoh jahat dalam novel ini sehingga semua tokoh terlihat sangat manusiawi.
Selain itu novel ini juga menghadirkan narasinya yang enak dibaca, plot yang cepat, deskripsi yang filmis, dan kejutan-kejutan di sepanjang novel yang akan memacu rasa kepenasaran pembacanya untuk terus membaca novel ini hingga tuntas. Tema persaingan bisnis ilegal narkotika, konspirasi, kisah cinta, dan balas dendam antar geng tentu akan mengingatkan kita pada novel Godfather – Mario Puzo. Jadi mungkin bisa dikatakan inilah Godfather rasa lokal walau rasanya tak pada tempatnya membandingkan Metropolis dengan Godfather.
Walau ending novel ini bisa dikatakan tuntas dan tak menggantung, namun masih ada celah yang bisa dijadikan bahan untuk membuat sekuel dari novel ini. Jika memang itu pilihan penulisnya untuk melanjutkan cerita ini, dan Windry terus konsisten untuk menulis dalam genre ini, bukan tak mungkin ia akan jadi penulis handal dalam genre thriller detektif yang hingga kini masih sedikit digarap oleh penulis-penulis kita.
@h_tanzil
3 comments:
salam kenal
nice blog...
nice post
saya hobi membaca
Bukunya masih ada tidak ya..??
Kalo mau beli diman ya
Post a Comment