Wednesday, September 09, 2009

Braga - Jantung Parijs van Java

No. 223
Judul : Braga - Jantung Parijs van Java
Penulis : Ridwan Hutagalung & Taufani Nugraha
Penerbit : Ka Bandung
Cetakan : Oktober 2008
Tebal : 168 hlm

Di paruh pertama abad ke 20 Bragaweg (Jalan Braga) adalah jalan paling mashyur dan telah menjadi landmark kota Bandung. Jika Bandung pernah dikenal dengan sebutan “Parijs van Java”, tampaknya hanya jalan Braga yang paling mewakili sebutan itu karena Braga merupakan jalan pertokoan yang paling bernuansa Eropa di seluruh Hindia yang memiliki keunikan dan daya tarik yang khas.

Istilah Parijs van Java sendiri hingga saat ini belum diketahui secara pasti kapan tepatnya mulai digunakan. Namun demikian, setidaknya sebuah buku berjudul Boekoe Penoenjoek Djalan Boeat Plesiran di Kota Bandoeng dan Daerahnja yang kemungkinan diterbitkan tahun 1906 telah menyebutkan Bandung sebagai “Parisnya tanah Jawa”. Kenyataannya memang pada masa itu sudah tampak upaya-upaya yang mewujudkan Bandung seperti kota Paris seperti mulai dibangunnya societiet, bioskop, cafĂ© dan restoran, gedung kesenian, serta taman hiburan rakyat yang mampu menghidupkan suasana malam Bandung seperti suasana Paris di malam hari.

Upaya-upaya mewujudkan Bandung yang bernuansa Paris mencapai puncaknya pada masa 1920-1930 terlebih ketika Pasar malam tahunan Jaarbeurs pada tahun 1920 (sekarang lokasi Gedung Kodiklat TNI AD Jl. Aceh) dipromosikan hingga ke luar negeri. Slogan Parijs van Java juga makin populer setelah Boscha sering mengutipnya di berbagai pidatonya. Selain itu di pada masa 1920-1940 Bandung juga dikenal sebagai pusat mode seperti halnya Paris. Saat itu di Braga berdiri berbagai toko mode diantaranya toko mode Au Bon Marche milik orang Perancis yang spesialis menjual pakaian-pakaian mode terbaru dari Perancis.

Di masa kini Braga tak ubahnya seperti jalan-jalan umum lainnya yang padat dan berdebu. Namun di tengah kemacetan Braga pada jam-jam sibuk kita atau suramnya Braga di waktu malam kita masih bisa menikmati sedikit sisa-sisa kejayaan Bandung tempo dulu. Bagaimana caranya? Bacalah buku kecil berjudul Braga – Jantung Parijs van Java, dan kita akan diajak menyusuri sepanjang Braga sambil mengoreh-ngoreh apa saja yang tersisa dari masa keemasan Braga.

Buku setebal 167 halaman ini memang disusun laiknya panduan wisata jalan kaki sehingga pembaca dapat menyusuri sepanjang Braga mulai dari sisi paling selatan di pertigaan jalan Asia Afrika dan Jalan Braga hingga ke berakhir di ujung utaranya di persimpangan Jalan Braga, Jalan Wastukencana, dan Jalan Perintis Kemerdekaan sekarang . Mulai dari gedung bekas toko Van de Vries hingga berakhir di gedung Javasche Bank (kini Bank Indonesia). Ada lebih dari 30 bangunan yang dibahas dalam buku ini, ada yang masih ada hingga kini, namun ada juga yang sudah hilang tak berbekas dan digantikan dengan bangunan yang lebih modern.

Masing-masing bangunan penting sepanjang Braga itu dikisahkan dengan menarik dan cukup detail lengkap dengan kondisinya di masa kini. Dari kisah puluhan bangunan yang terdapat dalam buku ini yang mendapat porsi bahasan yang banyak dibahas adalah Gedung Societeit Concordia (Gedung Merdeka) yang menjadi pusat hiburan masyarakat Belanda di Bandung

Societeit Concordia awalnya adalah nama perkumpulan yang terdiri dari para Preangerlpanter (pengusaha perkebunan di Priangan) dan para elite kota Bandung. Pada 1895 perkumpulan tersebut menempati gedung yang diberi nama Gedung Societeit Concordia. Pada tahun 1940 gedung Societeit Concordia mengalami renovasi yang mengubah penampilannya hingga berbentuk seperti sekarang. Di sinilah Societeit Concordia sebagai perkumpulan kaum elite mencapai puncak popularitasnya

Gedung yang dapat menampung 1.200 orang ini dilengkapi dengan ruang makan, ruang dansa yang luas, ruang bowling serta perpustakaan yang cukup lengkap dengan ruang bacanya . Setiap akhir pekan gedung ini diadakan berbagai pertunjukan seni seperti konser musik (Ismail Marzuki & WR Supratman pernah berkonser di tempat ini) , tonil, dan dansa. Sedangkan di hari minggu pagi gedung ini juga dipakai oleh anak muda Belanda untuk bermain sepatu roda.

Maraknya kegiatan yang dilakukan di dalam gedung ini membuat seorang pelancong Belanda, L.H.C. Horsting menyimpulkan bahwa tidak ada Societeit di seluruh Hindia Belanda yang dapat mengalahkan Societeit Concordia Bandung. Setelah melewati segala kemeriahan dan masa keemasan sebagai pusat hiburan bergengsi pada zaman Hindia Belanda, gedung ini kemudian menjadi terkenal ke seluruh dunia karena menjadi tempat Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955.

Tentunya kita bisa membayangkan bagaimana semaraknya suasana gedung ini di masa lampau, jauh berbeda dengan kondisinya kini yang hanya menjadi sebuah museum bisu yang jarang sekali dipakai untuk aktivitas seni seperti di masa lampau.

Setelah gedung Soceiteit Concordia, gedung legendaris yang mendapat porsi bahasan agak panjang dalam buku ini adalah Maison Bogerijen (Braga Permai) dimana ada lambang kerajaan Belanda yang terpampang di muka restoran ini. Restoran ini dikenal sebagai restoran paling elite di seantero kota yang mendapat piagam restu langsung dari ratu Belanda. Maka dari itu tidak heran jika Maison Bogerijen adalah satu-satunya restoran yang diizinkan menyajikan berbagai hidangan istimewa khas kerajaan Belanda yang tidak bisa ditemukan di sembarang tempat.

Selain kedua gedung diatas, masih banyak gedung-gedung lain yang tak kalah menariknya yang dibahas dalam buku ini seperti gedung DENIS Bank dengan gaya bangunan unik yang merupakan bank pertama kali menggunakan system hipotek di Bandung, Het Snopheus (Sumber Hidangan) , toko mobil Fuchs en Rens yang menjual mobil-mobil terkenal (Peugeot, Renault, Chlyser, Plymouth,dll). Lalu ada pula toko buku van Dorp (sekarang gedung Landmark) yang memiliki cara pemasaran unik yang secara tidak langsung menggiring warga Bandung untuk kerajingan menanam bunga.

Menarik memang menyusuri spanjang Braga bersama buku ini. Hanya saja satu hal yang disayangkan adalah tak adanya kisah-kisah humanis dibalik keberadaan gedung-gedung yang dibahas dalam buku ini karena buku ini hanya mendeskrpisikan sejarah gedung, fungsi bangunan di masa lampau, arsitek pembuatannya,dll. Jika saja penulis memasukkan sedikit kisah-kisah remeh temeh yang merupakan bagian dari orang-orang yang tingal di gedung-gedung ini tentunya buku ini akan lebih menarik lagi dan gedung-gedung yang dibahas dalam buku ini akan terasa lebih bernyawa jika kita mengunjunginya saat ini.

Karena format buku yang kecil, tidak terlalu tebal, bahasan yang runut, mudah dicerna dan informatif karena dilengkapi dengan daftar istilah, indeks, peta, dan tampilan foto-foto yang tajam membuat buku ini sangat nyaman dibawa sebagai pedoman dalam menyusuri sepanjang Braga untuk menemukan serpihan-serpihan kejayaan Braga di masa lampau.

Selain itu kehadiran buku ini juga ikut melengkapi sejumlah buku tentang Bandung yang telah ditulis selama ini. Satu hal yang menarik, walau dikemas dalam gaya popular, namun salah satu penulis dari buku ini adalah lulusan dari jurusan sejarah. Selama ini buku-buku tentang Bandung ditulis oleh budayawan, wartawan, dan ahli planologi.

Namun siapapun yang menulisnya dan apapun yang dibahas mengenai Bandung di masa lampau, buku-buku tersebut, termasuk buku ini bukanlah sekedar hanya menigsahkan kembali sejarah panjang sebuah kota. Ada banyak hal yang positif yang bisa dipelajari, ditimbang, dan mungkin dijadikan teladan khususnya bagaimana mengelola sebuah kota baik untuk masa kini maupun di masa yang akan datang.

@h_tanzil

1 comment:

sewa mobil said...

kayaknya seru banget nih novel menceritakan bandung waktu dulu