Judul : Lasmi
Penulis : Nusya Kuswantin
Penerbit : Kakilangit Kencana
Cetakan : 1, November 2009
Tebal : 232 hlm
Lasmi adalah sebuah novel suram berlatar belakang sejarah kelam Indonesia di tahun 1965. Walau sudah ada beberapa novel yang mengambil setting sejarah di masa-masa itu, novel Lasmi tetaplah menarik untuk disimak dan diapresiasi.
Kisah Lasmi diceritakan melalui tuturan Tikno, suami Lasmi yang berprofesi sebagai guru, sedangkan Lasmi sendiri di mata suaminya adalah wanita yang cerdas dan berpikiran progresif. Kegemarannya membaca buku membuat dirinya memiliki wawasan berpikir yang luas, berani melawan arus, berjuang dalam hal kesetaraan perempuan dan pria, dan memiliki cita-cita luhur untuk memajukan pendidikan dan pengatahuan warga kampungnya.
Awalnya Lasmi berjuang sendiri dengan mendirikan TK dan sekolah menjahit, namun ketika akhirnya ia mencari seorang guru jahit, ia bertemu dengan Sumaryani seorang kader Gerwani. Melalui Sumaryani lah akhirnya Lasmi ikut menjadi kader Gerwani karena di mata Lasmi Gerwani adalah organisasi perrempuan yang mempunyai cita-cita luhur seperti dirinya yaitu berjuang demi kesetaraan perempuan.
Namun siapa sangka, sebuah tragedi politik menyebabkan PKI dianggap sebuah partai yang paling bertanggung jawab terhadap Gerakan 30 September 1965. Akibatnya PKI dan organisasi bentukannya termasuk Gerwani menjadi organisasi terlarang dan harus ditumpas hingga ke akar-akarnya termasuk orang-orang yang berada di dalamnya.
Hal ini membuat Lasmi dan keluarganya berusaha menyelamatkan diri, ia hidup berpindah-pindah tempat guna menghindari kejaran masa terhadap dirinya. Hal ini terus berlangsung hingga akhirnya sebuah tragedi membuat Lasmi tersadarkan dan mengambil takdirnya sendiri, Ia membuat sebuah keputusan yang tidak terduga demi kehormatan dirinya dan demi pembelajaran bagi banyak orang atas peristiwa yang paling keji yang pernah dialamai bangsa yang berasazkan keTuhanan dan perikemanusiaan ini
Kisah kehidupan Lasmi inilah yang tertuang dalam novel ini, dimulai dari perkenalan Lasmi dengan Tikno saat Pemilihan Majelis daerah tahun 1957, pernikahannya, kelahiran anak semata wayangnya, hingga fase kehidupannya yang harus berpindah-pindah untuk menghindari kejaran masa dan berujung saat Lasmi akhirnya mengambil keputusan yang sama sekali tak terduga olehj siapapun.
Di bagian-bagian awal kita akan disuguhkan pengenalan karakter Lasmi menurut pandangan suaminya. Di bagian ini kita akan melihat karakter Lasmi yang tampak begitu maju, modern dan progresif. Pandangan kaum komunisme yang begitu menghargai kerja petani tampak dalam bagaimana cara Lasmi mendidik anak-anak didiknya yang berdoa sebelum makan, alih-alih berterima kasih pada Tuhan, ia mengajarkan agar mereka berterima kasih pada petani yang telah bekeja mengolah padi menjadi beras.Pandangan-pandangan progresif Lasmi soal kesetaraan perempuan dalam pernikahan, pendidikan anak, dll juga mewarnai sekujur novel ini.
Di novel ini juga pembaca akan disuguhkan berbagai fakta sejarah seperti konforntasi dengan Malaysia, demonsrtasi anti Indonesia di Kuala Lumpur, pembentukan angkatan kelima, hingga cuplikan Dekrit Dewan Revolusi. Dan yang mengejutkan adalah munculnya cuplikan pidato Bung Karno “Tahun Vivere Pericoloso” yang diselipkan dalam novel ini.
Secara keseluruhan saya menikmati novel ini, pandangan-pandangan kaum progeresif revolusioner yang biasanya yang baca dalam teks-teks non fiksi kini dituangkan dalam ranah fiksi sehingga terkesan lebih hidup dan membumi. Berbagai fakta sejarah baik yang tercatat maupun yang tidak tercatat di buku-buku teks seperti gosip tentang jari telunjuk Bung Karno ketika sedang berpidato atau betapa kejinya peristiwa pembantaian orang-orang PKI d bisa ditemui di novel ini. Tak hanya itu penulis juga memasukkan sedikit tradisi setempat seperti dalam hal pernikahan, kelahiran anak, dll. Walau tak banyak tapi cukuplah untuk menambah wawasan.
Yang disayangkan dalam novel ini adalah kurang tereksplorasinya karakter dan konflik batin yang dialami Lasmi, karena dituturkan melalui sudut pandang suaminya, otomatis hanya sedikit konlik batin Lasmi yang terungkap. Walau pada akhirnya ada surat panjang Lasmi untuk suaminya tapi hal ini tentunya tidaklah cukup, akan lebih menarik jika Lasmi sendiri diberi kesempatan lebih banyak untuk menuturkan kisahnya sendiri sehingga konflik batin yang dialami Lasmi akan lebih tereksplorasi dengan baik
Penulis juga tampaknya kurang sabar dalam mengembangkan kisah Lasmi ini. Ada banyak hal yang sebetulnya bisa dikembangkan lebih dalam lagi. Kisah pelariannya tampak kurang tereksplorasi dengan baik. Semua seakan terjadi selewat-selewat saja padahal jika hal ini digali lebih dalam lagi pasti akan lebih menarik.
Munculnya pidato Bung Karno yang menghabiskan berlembar-lembar halaman dalam novel ini bisa jadi bumerang, di satu pihak mungkin ada orang yang suka, namun di lain pihak bagian ini bisa jadi membosankan karena seolah terlepas dari inti cerita.
Yang menarik Novel ini juga memiliki ending yang tak terduga. Keputusan Lasmi untuk menjalani takdirnya benar-benar menyentuh nurani, dan bagaimana kelak nasib Tikno, suaminya atas keputusan yang diambil Lasmi benar-benar tidak akan terduga oleh pembacanya.
Namun sayangnya penerbit telah mengungkapkan ending kehidupan Lasmi di sinposis yang terdapat di cover belakangnya. Mungkin penerbit berpendapat bahwa endingnya justru merupakan sisi menarik yang perlu diungkapkan untuk menarik minat pembaca, tapi alangkah baiknya jika penerbit menggantinya dengan kalimat bersayap sehingga akhir kehidupan lasmi tetap misteri dan baru bisa diketahui ketika kita membaca sendiri novelnya.
Terlepas dari hal di atas novel ini bagi bagi saya sangat menarik penulis berhasil memotret situasi sosial di tahun –tahun itu dengan baik. Kisah kehidupan Lasmi berhasil menguggah kesadaran pembacanya untuk memaknai peristiwa pembantaian di tahun 65 dalam perspektif kemanusiaan. Atau seperit diungkap penulisnya di lembar terakhir novel ini, Lasmi diharapkan bisa menjadi semacam upaya kampanye anti kekerasan, semoga demi alasan apa pun kekerasan massal yang melecehkan akal sehat dan mengorbankan kenaifan warga tidak lagi terjadi di negeri ini.
@h_tanzil
6 comments:
Ada Lasmi ada Lastri. Kalau Lastri bisa diplesetkan LAST.RI simak ketika huuf LAST warna Merah dan RI warna putih. Ini simbol pembusukan nasionalisme.
1965 adalah tahun terpanjang di Indonesia yang tidak pernah punya batas akhir. Itulah sebabnya Green day nyanyikan lagu Wake Me Up When September Ends. Itu juga sebabnya terjadi gempa yg ... Lihat Selengkapnyamenghancurkan padang pada 30 September 2009. Yang pasti, saya sangat terharu membaca Lasminya Cok sawitri ini. Bagus dan memiliki nuansa kesejarahan yang kental. Mantap brooooo
Oh maaf bukan karya Cok Sawitri tapi karya Nusya Kuswantin. Nuwun pangapuranipun, Mbak. Manawi dumigi teng tatar Parahiayang monggo pinarak dateng rerompok sim kuing....
Ada Lasmi ada Lastri. Kalau Lastri bisa diplesetkan LAST.RI simak ketika huuf LAST warna Merah dan RI warna putih. Ini simbol pembusukan nasionalisme.
1965 adalah tahun terpanjang di Indonesia yang tidak pernah punya batas akhir. Itulah sebabnya Green day nyanyikan lagu Wake Me Up When September Ends. Itu juga sebabnya terjadi gempa yg ... Lihat Selengkapnyamenghancurkan padang pada 30 September 2009. Yang pasti, saya sangat terharu membaca Lasminya Cok sawitri ini. Bagus dan memiliki nuansa kesejarahan yang kental. Mantap brooooo
Oh maaf bukan karya Cok Sawitri tapi karya Nusya Kuswantin. Nuwun pangapuranipun, Mbak. Manawi dumigi teng tatar Parahiayang monggo pinarak dateng rerompok sim kuing....
Wah...maaf kok postingannya jadi dua. Maaf Tan....maaf...saya masih kaga ngerti cara komen di sini. Lebih mudah di facebook....
Sayang tidak diungkap juga bagaimana kejinya PKI membantai ulama, kyai, santri, dan kaum muslimin...
beli dimana buku ini?
sy punya buku.nya, pemberian dari dosen terbaik saya.. dan ceritanya sangat mendorong keingintahuan saya terhadap sejarah G30SPKI dari berbagai sudut,mengingat d buku hanya menampilkan sudut pandang dari suami lasmi saja. selamat buat penulis"Nusya Kuswantin"
Post a Comment