Judul : Raise The Red Lantern - Persaingan Para Istri
Penulis : Su Tong
Penerjemah : Rahmani Astuti
Penerbit : Serambi
Cetakan : I, November 2011
Novel Raise The Red Lantern adalah kisah tentang persaingan keempat istri Chen Zuoquan dalam memperebutkan perhatian tuannya. Seperti yang sudah menjadi hukum alam, rasanya tak ada seorangpun yang memiliki istri lebih dari satu dapat memperlakukan istri-istrinya dengan adil. Walau mungkin di permukaan tampak rukun-rukun saja namun entah dalam benak terdalam mereka.
Itulah yang menjadi dasar kisah dari novel ini. Dengan Teratai sebagai pusat cerita, novel ini menggambarkan dengan sangat baik bagaimana para istri-istri saling berebut perhatian dari sang suami. Ketika Teratai diambil untuk menjadi istri keempat, usianya baru berusia 19 tahun. Saat itu ia baru satu tahun kuliah ketika pabrik teh ayahnya bangkrut sehingga ia harus berhenti kuliah. Tiga hari kemudian ayahnya mati bunuh diri. Oleh ibu tirinya Teratai diberikan dua pilihan antara bekerja dan menikah, ia memilih menikah dengan orang kaya dan ibunya memilihnya untuk dinikahkan dengan Chen Zuoqian, seorang Tuan Besar kaya yang saat itu telah berusia 50 tahun dan telah memiliki 3 istri.
Kehadiran Teratai sebagai istri keempat tentu saja menimbulkan kecemburuan dari ketiga istri Tuan Chen apalagi Teratai sebagai istri termuda memang mendapat perhatian yang lebih dari Tuan Chen. Hal ini membuat ketiga istri lainnya saling bersaing, berusaha dengan segala cara untuk menjauhkan Teratai dari kasih sayang suami mereka. Dalam persaingan itu para istri beradu siasat, mulai dari cara yang halus dengan berpura-pura berbuat baik, saling fitnah, menggunakan ilmu hitam, dan bahkan berupaya segala cara dengan rela mempertaruhkan nyawa mereka. Tak hanya harus menghadapi intrik-intrik jahat yang dibuat ketiga istrinya itu, ternyata pembantu setianyapun mencoba untuk menyingkirkan Teratai dari kasih sayang Tuan Besarnya.
Walau tema kisah persaingan antar istri seperti ini merupakan hal yang sering kita baca dan lihat di film-film, namun kisah dalam novel ini sangatlah menarik dan dramatis, namun bukan dramatisasi kepediahan tiada akhir yang diketengahkan dalam novel ini melainkan bagaimana penulis meramu kisah yang biasa ini menjadi luar biasa melalui penokohan karakter Teratai dan ketiga istri-istrinya yang diramu dengan aroma kisah mistis, kejiwaan, dan kultur budaya patriakhi China yang kuat.
Kakarter Teratai sebagai pusat kisah dalam novel ini menjadi hal yang paling menarik untuk dicermati Teratai bukan digambarkan sebagai tokoh yang sempurna dengan kesabarannya menanggung derita hingga dewi fortuna menghampirinya seperti layaknya sinetron-sinetron kita. Tidak! Teratai adalah sosok yang tegar, ia tak menyerah begitu saja terhadap intrik-intrik yang dilakukan oleh ketiga istri suaminya. Ia melawan dengan caranya sendiri, ia bisa bersahabat, namun ia juga bisa bersikap keji seperti dengan sengaja melukai istri kedua saat memotong rambutnya, atau memaksa pembantunya untuk menelan kertas toilet kotor yang diduga sebagai alat untuk mengguna-gunanya.
Novel ini juga mencerminkan kegalauan para istri akan pertanyaan yang mungkin menjadi pertanyaan dari setiap istri yang dimadu yaitu, “Siapa yang paling disayang?”. Walau terlihat dengan jelas kalau Tuan Chen mempunyai perhatian yang lebih padannya, namun Teratai masih juga ragu dan sering bertanya pada suaminya siapa dari keempat istrinya yang paling disayanginya.
Terbaginya perhatian, perbedaan usia hingga berpengaruh pada urusan ranjang ternyata bisa menimbulkan banyak persoalan dan memicu terjadinya perselingkuhan pada pria yang berpoligami, demikian pula seperti yang terungkap dalam kisah ini dimana istri ketiga memiliki hubungan asmara dengan seorang dokter, hal ini pula yang hampir saja dilakukan oleh Teratai yang diam-diam mengagumi Feipu , anak pertama dari istri pertama yang usianya tak terlalu terpaut jauh darinya.
Soal perselingkuhan ini sepertinya telah menjadi kutukan atas keluarga Chen yang selalu dibayangi oleh tragedi bunuh diri dalam sebuah sumur tua yang sengaja digali untuk orang-orang yang ingin bunuh diri. Dan memang sumur itu digunakan sebagai tempat bunuh diri oleh para istri-istri dari generasi terdahulu yang kedapatan berselingkuh. Sumur tua atau yang juga disebut sebagai 'sumur kematian' ini pula yang menjadi aroma mistis di sekujur tubuh novel ini. Arwah penasaran para istri yang bunuh diri dalam sumur itu membuat Teratai merasa tertekan karena ia selalu merasa para arwah itu memanggil-manggilnya untuk terjun ke dalam sumur kematian itu.
Satu hal yang unik dari Novel ini adalah, penulis tampaknya tak memberikan informasi yang jelas mengenai setting waktu dimana kisah ini bergulir, hanya ada beberapa hal kecil yang mungkin bisa menjadi petunjuk yaitu masih digunakannya tandu untuk transportasi, lentera merah yang dipasang di depan kamar istri, dan telah digunakannya kertas toilet untuk membersihkan diri. Nah melalui petunjuk2 sederhana itu sepertinya penulis sengaja memberikan kebabasan bagi para pembacanya untuk menduga-duga atau menafsirkan sendiri di tahun atau abad keberapa kisah ini terjadi.
Yang juga mingkin bisa menjadi petunjuk bagi pembacanya untuk menafsirkan setting waktu di novel ini adalah pandangan tokoh-tokohnya menyangkut kedudukan dan peran wanita yang terungkap dalam novel ini. Dari percakapan antar tokohnya terungkap bahwa saat itu budaya patriakhi masih mengakar dengan kuat di China dimana ketika seorang pria semakin kaya maka dia menginginkan wanita, begitu dia menginginkannya, dia tidak akan pernah merasa cukup sehingga harus beristri banyak dimana hal ini juga menjadi simbol kemakmuran dan keberkuasaannya.
Di novel ini terungkap bahwa wanita hanyalah pemuas nafsu pria dan alat untuk melahirkan keturunan semata. Ketika seorang wanita tidak dapat dapat melahirkan anak laki-laki untuk untuk suaminya maka kesulitan dan malapetaka akan menimpanya. Bagaimana kedudukan dan peran wanita di masa itu tercermin dalam percakapan antara Teratai dengan istri ketiga dari suaminya, “Aku belum mengeri apa arti wanita, Mahluk jenis apa wanita itu? Kita sama seperti anjing, kucing, ikan mas, tikus.. kita hanya seperti sesuatu, sesuatu selain manusia” (hal 74)
Pada akhirnya novel ini memang tidak hanya membuat kita terpukau oleh drama kehidupan dari persaingan para istri saja, melainkan kita juga akan diajak menyelami sisi-sisi terdalam dari batin para istri yang dibenturkan pada kenyataan hidup yang kejam akibat poligami yang dilakukan suaminya, selain itu novel ini juga menyingkap sisi lain kehidupan masyarakat China beserta budayanya yang hingga kini masih mengakar dengan kuat.
Tentang Penulis
Su Tong (48 thn) adalah nama pena dari Tong Zhonggui, penulis kelahiran Shuzou China, dia memperoleh gelar Sarjana Satra dari Beijing Normal University. Su Tong dikenal karena gaya menulisnya yang kontroversial dan diakui sebagai salah satu penulis terdepan China saat ini selain Mo Yan, penulis Big Breast and Wide Hips.
Su Tong hingga kini telah menulis tujuh novel dan lebih dari 200 cerpen yang sebagian telah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Novel Raise the Red Lantern adalah karya pertamanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Novel ini pertama kali diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul Wives and Concubines. Kemudian novel ini berganti judul menjadi Raise the Red Lantern berdasarkan judul versi filmnya yang dibuat oleh sutradara terkemuka Zhang Yimou dengan Gong Li sebagai Teratai. Film yang dirilis pada tahun 1191 ini mendapat sambutan hangat di berbagai festival film dunia. Adapun yang menjadi dasar dari penggunaan judul film dan bukunya ini adalah berdasarkan adegan pemasangan lampion merah setiap malam di depan kamar salah satu istri tuan besar Chen yang akan dikunjungi olehnya.
Karena filmnya menjadi lebih terkenal dibanding bukunya maka sejak saat itu, edisi terjemahan bahasa Inggrisnya menggunakan judul sama seperti filmnya.
Film Raise The Red Lantern (1991)
Pada 2009 Su Tong memenangkan Man Asia Literary Prize untuk novelnya The Boat to Redemption. Pada 2011 ia juga masuk dalam nominasi peraih Man Booker International. Semoga dalam waktu dekat Penerbit Serambi juga dapat menerjemahkan novel tersebut.
@htanzil
7 comments:
Ceritanya agak mirip 紅樓夢 (Impian loteng merah) 可是有一點現代的味道。看完了會感覺上難過。
lentera merah itu untuk menandakan apa hib? btw jadi inget film berbagi suami ya, intrik2 di tengah kehidupan poligami. seru nih sepertinya =)
@Blogger notes, impian loteng itu novel? karya siapa
@astrid : oh iya, lupa saya masukkan, soal lentera merah ada di bagian 'tentang penulis' silahkan dibaca ulang :)
Udah nggak ingat terakhir kapan baca novel dengan latar belakang keluarga di China. Yang paling berkesan tuh Secret Fan. Jadi pengen baca buku ini
Asalamu'alaikum...
salam kenal ya mba/mas...
maaf mba/mas boleh ikut promosi ngga?? :)
Di butik kami mngadakan ke-Agenan DROPSIT (NOL MODAL)lhooo...
kami dari nahla fashion ingin menawarkan kerja sama untuk produk
1.mazaya
2.zenitha
3.Qirani
5.sik clothing
6.Three-d celana+rok
jika mba/mas berminat hubungi kami ya (Nahla care-Melia : 0853 2475 9031)??
atau messages ke inbox kami....
Ditunggu kerja sama nya.
maaf mengganggu dan trima kasih (^_^)
saya sangat suka dengan cerita yang dikisahkan di novel RTRL, sampai2 saya memutuskan untuk menulis skripsi dengan obyek penelitiannya novel RTRL Karya Su Tong ini.. ^.^
Post a Comment