Tuesday, February 28, 2012

Playing "God"


PLAYING "GOD"


[No. 287 ]
Judul : Playing "God"
Penulis : Rully Roesli
Penerbit : Qanita
Cetakan : I, Januari 2012
Tebal : 198 hlm

My Rating 4,5 of  5

Apa jadinya kalau kita diharuskan membuat sebuah keputusan yang berakibat langsung pada hidup dan mati seseorang?  Tentunya  ini bukan hal yang mudah, bisa saja keputusan yang kita ambil itu salah sehingga hal ini akan terus menghantui kehidupan kita. Hal ini pula yang dialami oleh dr. Rully Roesli, seorang dokter ahli ginjal yang bekerja di Rumah Sakit Khusus ginjal (RSKG) H.A.A. Habibie – Bandung, setiap minggu ia bersama staffnya harus memilih pasien mana yang berhak mendapat jatah pengobatan gratis.

“Setiap Jumat, aku dan para staff rapat untuk menetukan pasien mana yang akan mendapat pembebasan biaya cuci darah. Seperti gladiator di Roma, kami menentukan hidup dan mati pasien. Yang paling banyak mendapat suaralah yang akan mendapat bantuan. Bila tidak? Dia mungkin akan meninggal karena kehabisan biaya pengobatan” 

Bagi dr. Rully Roesli apa yang dilakukannya bersama para staffnya itu disebut dengan Playing "God” sebuah tindakan yang membuat dirinya bertindak seolah “Tuhan”. Hal ini pula yang menjadi pergulatan batin dan kegelisahannya selama ia menjadi dokter, semuanya itu ia tuangkan dalam buku yang ia beri judul “Playing God”. Sebuah pilihan judul yang cerdas yang pastinya membuat penasaran pembacanya.

Buku Playing "God" yang ditulis sendiri oleh dokter Roesli dengan gaya personal ini berisi 21 kisah pengalaman dirinya ketika ia berpraktek sebagai dokter. Ke 21 kisah kontempelatif ini dibagi dalam lima topik utama. Topik pertama adalah Playing “God” saat seseorang membuat keputusan penting yang bisa mempengaruhi kehidupan orang lain. Kedua Playing “God”, ketika seseorang membuat keputusan penting yang bisa mempengaruhi kehidupan dirinya sendiri. Ketiga, Playing “God”, saat Tuhan telah mengambil kembali hak prerogatif seseorang untuk mengambil keputusan penting yang bisa mempengaruhi kehidupan orang lain atau dirinya sendiri. Keempat, Playing “God”, saat kita diajak mengenal sosok seorang dokter, dan terakhir, Playing “God” saat kita menghadapi akhir kehidupan.

Buku ini menyuguhkan banyak kisah yang menarik, karena ditulis oleh seorang dokter maka istilah-istilah medis kedokteran menjadi tak terhindarkan, namun jangan khawatir semua istilah itu akan dijelaskan dalam kalimat-kalimat sederhana yang mudah dimengerti oleh siapapun sehingga memperkaya wawasan kita dalam hal medis.

Salah satunya adalah tentang Euthanasia yang berarti membiarkan seorang pasien meninggal dengan sengaja dimana tindakan ini diambil pada pasien yang tidak memiliki harapan hidup. Di buku ini dikemukakan secara rinci definisi beserta kasus-kasus yang terjadi termasuk euthenesia di Indonesia.

Namun selain Euthenesia ternyata ada pula yang disebut Euthanasicon, pengertiannya hampir sama namun yang membedakan adalah penyebab utamanya bukanlah beratnya penyakit melainkan situasi keluarga dan ekonomi.  Jika demikian sebenarnya jenis euthenesia jenis inilah yang mungkin paling banyak terjadi di Indonesia

“Sebenarnya, banyak sekali praktik euthanasicon di Indonesia. Berapa ribu pasien yang dibawa pulang paksa dari rumah sakit, karena kekurangan biaya? Berapa ribu pasien, yang seharusnya dioperasi jantung tidak melakukannya karena kekurangan dana? Berapa ribu pasien penderita kanker yang tidak mendapat pengobatan gara-gara tidak ada biaya…  Banyak sekali pasien yang mengalami etuhanasicon! “(hal 59)

Melihat keadaan ini dokter Rully mencoba mengaitkannya dengan potensi Zakat yang seharusnya bisa dimaksimalkan pengumpulannya agar dapat membantu pasien-pasien penyakit kritis agar tidak terjadi lagi praktek euthanasicon.

“Indonesia adalah negara dengan penduduk beragama Islam terbanyak di dunia. Asian Development Bank (ADB) dan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) membuat kajian bahwa potensi pengumpulan zakat di Indonesia dapat mencapai 217 triliun. Kenyataan dana zakat yang terkumpul pada 2007 adalah Rp. 850 milyar!

Indonesia telah memiliki  UU No. 17 Tahun 2000 tentang pengelolaan zakat. Namun faktanya belum mampu mengubah kesadaran masyarakat mampu untuk berzakat.  Berbeda dengan Malaysia . Meski sama sekali belum memiliki UU yang mangatur masalah zakat, mereka telah mampu menfaatkan zakat sebagai sumber kesejahteraan masyarakat” (hal 630)

Dari beberapa tulisan yang ada dalam buku ini terlihat memang penulis memiliki kepedulian sosial yang sangat tinggi. Tingginya kedudukan yang ia peroleh dan keahliannya dalam bidang medis tak membuat ia sombong,  penulis bahkan pernah  membantu pasiennya yang kurang beruntung untuk mendapat pengobatan gratis walaupun untuk  itu ia harus melakukan kebohongan-kebohongan kecil yang mungkin saja bisa mengancam reputasinya sebagai seorang dokter jika sampai ketahuan.  

Dari seluruh kisah yang ditulisnya, penulis juga banyak menyelipkan nilai-nilai religi dalam tiap kisahnya. Pengetahuan medis tak membuat ia lupa akan kemahakuasaan Tuhan sebagai sang penyembuh. Dalam kisah berjudul “Apakah Keajaiban itu Ada” terlihat bahwa penulis mempercayai ada kekuatan adikodrati yang berperan dalam proses kesembuhan si pasien yang pernah ia alami saat menangani pasien kanker hati yang sembuh karena doa dari ibunya. 

Masih di bagian  ini pula penulis menambahkan bukti ilmiah atas kekuatan doa berupa hasil survey yang dilakukan oleh British Medical Journal tahun 2001 yang meneliti 3.393 pasien dengan infeksi aliran darah yang dibagi menjadi dua kelompok, kelompok pertama diberi obat ditambah intervensi doa dan kelompok kedua diberi obat tanpa intervensi doa. Hasilnya kelompok pertama mengalami lama demam yang lebih singkat dan tingkat kematian yang lebih rendah dibanding kelomok pertama.

Selain itu ada juga kisah tentang orang-orang yang berhasil bertahan berkat uluran tangan Tuhan. Mereka adalah orang-orang sakit yang bertekad untuk bertahan walau tanpa bantuan siapapun. Atau ada pula disinggung kisah orang-orang terkenal yang walau dalam tubuh sakitnya dia tetap berprestasi dan mengabdi pada bangsanya. Hal ini tentunya mengajarkan sekaligus membekali kita untuk tidak menyerah dan memiliki semangat untuk sembuh yang tinggi saat kita didera penyakit kronis

Selain soal medis, perenungan, dan nilai-nial religi buku ini juga menghadirkan sosok dokter sebagai manusia biasa, di bagian ini akan terlihat bagaimana sebenarnya seorang dokter mengalami keterbatasan. Dokter juga merasakan kekuatiran dan kebingungan yang sama seperti kita ketika kita atau orang yang kita sayangi menderita sakit yang parah. Hal ini  terungkap dalam salah satu kisahnya ketika penulis berusaha menyembuhkan adik kandungnya sendiri, seniman mbeling Harry Roesli, dimana ia tampak begitu kecewa karena sebagai dokter  ia tak mampu menyembuhkan adiknya sendiri. Bab ini terlihat sangat personal dan menjadi kisah yang paling panjang dari seluruh kisah yang ada.

Dengan semua kisah-kisahnya yang inspiratif pada intinya, saya setuju dengan endorsment dari DR. Aam Amiruddin, M.SI yang mengatakan buku ini adalah buku yang 

 "Sangat inspiratif yang dibingkai dalam logika ilmiah yang mudah dicerna dan dipupuk dengan nilai-nilai spiritual, dan dihiasi kearifan penulis yang tajam"

Tak ada kritik untuk buku ini, bagi saya pribadi kisah-kisah dalam buku ini menyadarkan akan banyak hal yang mungkin selama ini tidak terpikirkan oleh kita bahwa banyak orang, lembaga, bahkan mungkin diri kita sendiri ternyata kerap melakukan atau menjadi korban Playing “God”

Pengalaman penulis dalam melakukan Playing “God” bukan tak mungkin sering juga kita lakukan dalam skala dan jenis yang berbeda-beda.  Seperti yang dialami oleh penulis, bisa saja suatu saat kita harus melakukan Playing “God”, karenanya kalaupun kita harus melakukannya marilah kita ber-Playing "God" dengan dasar kasih-NYA sehingga apapun yang kita putuskan itu dapat membawa pengaruh yang positif baik untuk orang lain maupun untuk diri kita sendiri. 

Mungkinkah? Tak ada yang tak mungkin selama kita meminta pertolongan dari TUHAN sang pemberi dan pengendali kehidupan yang sesungguhnya.

Tentang Penulis

Rully Marsis Amirullah Roesli, atau di dunia medis dikenal dengan nama Prof. DR. dr. Rully MA Roesli, Sp-PD-KGH , 64thn  adalah dokter ahli ginjal yang suka menulis. Beliau adalah cucu dari Marah Roesli (alm), sastrawan penulis buku Siti Nurbaya. dokter Rully juga kakak kandung Harry Roesli (alm), musisi mbeling terkenal.

Dokter Rully menempuh pendidikan kedokterannya di Universitas Padjajaran Bandung. Setelah lulus ia melanjutkan spesialisasi pendidikan ilmu penyakit dalam di FK Unpad. Setelah itu mendapat pelatihan untuk menjadi konsultan (ahli) ginjal & Hipertensi di Gronigen Belanda, (1986-1987) dan Universitas Klinik Essen, Jerman (1988). Pendidikan S-3 ditempuhnya di Universitas Antwerpen, Belgia (1992-1996) Dokter Rully juga  menyandang gelar Guru Besar (profesor) dalam bidang kedokteran sejak 2006. Sampai saat ini dokter Rully masih tercatat sebagai staf pengajar di FK Unpad dari RS Hasan Sadikin - Bandung.
 
Selain menulis buku Playing "God", dokter Rully juga menulis buku ini :


Gangguan Ginjal Akut (untuk kalangan kedokteran). Kabarnya, edisi ke-2 buku ini telah terbit Sekarang baru terbit,  dicetak oleh PT Trubus dan diedarkan oleh Agung Seta (distributor buku buku kedokteran








  

(28/02/2012)


@htanzil

Thursday, February 16, 2012

Winter Dreams

[No. 286]
Judul : Winter Dreams - Perjalanan Semusim Ilusi
Penulis : Maggie Tiojakin
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : 2011
Tebal : 287 hlm

My rating 4 of 5 star


Bagi sebagian penduduk dunia, Amerika adalah negeri impian untuk mencapai kesuksesan, ada banyak caranya, mulai dari yang menempuh pendidikan lanjutan lalu meniti karier disana atau hanya dengan modal pendidikan dan uang seadanya nekad mengadu nasib dan menjadi bagian dari 12 juta masyarakat intenasional yang memilih menjadi imigran gelap di Amerika dengan segala resikonya demi sebuah mimpi.

Beda halnya dengan Nicky F. Rompa pemuda Indonesia berusia 20-an tahun. Berawal dari perceraian kedua orang tuanya ia lari dari kenyataan pahit yang dialaminya dengan mencoba mengadu nasib sebagai imigran gelap di Amerika Serikat. Kehidupan Nicky di negeri asing Inilah yang menjadi inti kisah dari novel Winter Dreams karya Maggie Tiojakin yang sebagian besar kisahnya mengambil setting di Boston, Mass. Amerika Serikat.

Dikisahkan Paska perceraian kedua orang tuanya Nicky tinggal di Jakarta bersama ayahnya, sedangkan adik perempuannya tinggal bersama ibunya di tempat lain. Ayah Nicky adalah seorang pemarah yang ringan tangan.

Lambat laun Nicky tak tahan dengan perlakuan ayahnya yang kasar dan suka memukuli dirinya hingga babak belur, akhirnya ketika ibunya menawarkan agar Nikcy meninggalkan ayahnya dan pergi ke Amerika ia menerima tawaran itu. Nicky berangkat meninggalkan keluarga dan sahabatnya tanta tahu berapa lama dan apa yang harus ia kerjakan disana kelak.

Di sana awalnya Nicky tinggal bersama keluarga kerabat ibunya yang telah lama menetap disana. Sebuah peristiwa membuat ia harus meninggalkan mereka dan mencari tempat tinggal sendiri. Di Boston Nicky mencoba mengisi kehidupannya dengan berbagai pekerjaan mulai dari pegawai toko, supir limousine, ikut kursus menulis, hingga bekerja di sebuah koran lokal. Di novel setebal 287 halaman inilah pembaca diajak mengikuti perjalanan Nicky dari satu pengalaman ke pengalaman lainnya. Dari satu pertemanan ke pertemanan lainnya.

Dari perjalanan hidupnya ini Nicky bertemu dengan orang-orang yang berasal dari berbagai kultur yang berbeda, mulai dari Mr. & Mrs. Wong, imigran asal Vietnam yang menjadi majikan Nicky saat ia bekerja supermaket. Polina, gadis Rusia dimana Nicky pernah tertarik padanya. Sepasang kekasih Dev Akhtar dari Pakistan dan Natalie Black, gadis Yahudi, yang keduanya tinggal seapartemen dengan Nicky , Artin Rucci, guru menulis Nicky, Esmeralda de Luca Garcia – Esme – kekasih Nicky yang berasal dari Meksiko. dll

Dari seluruh kisah yang dialami Nicky walau ada berbagai peristiwa dan konflik yang dialami Nicky dengan orang-orang yang ditemuinya namun tak ada konflik yang menonjol dalam novel ini, tak ada dramatisasi yang berlebihan dalam kehidupan Nicky. Apa yang dialami Nicky begitu alami dan mungkin pernah dialami oleh kita semua seperti jatuh cinta pada seorang gadis, tertarik pada kekasih sahabat, patah hati, mencoba berganti-ganti pekerjaan, pesta-pesta anak muda, melakukan perjalanan antar kota, dsb.

Karakter Nicky F Rompa sendiri bukanlah sebuah tokoh hero yang sempurna, namun disinilah justru karakter dan pengalaman hidup Nicky berpotensi mengundang simpati dari para pembacanya, ia mewakili tokoh pemuda yang galau, kesepian, dan bingung menentukan tujuan dan pilihan hidupnya hingga akhirnya pada satu titik dalam kehidupannya ia menyatakan bahwa kehidupan dirinya mengalir begitu saja seperti yang terungkap dalam sebuah dialog dengan salah seorang temannya.

Aku bisa tinggal di sini seperti sekarang dan tidak melakukan apa-apa, just going with the flow; atau aku bisa tinggal di sini dan melakukan sesuatu yang berarti bagiku. Atau aku bisa pulang dan berusaha untuk memecahkan teka-teki abadi: apa yang akan kulakukan dengan hidupku? Semua orang ingin menjadi seseorang, terutama di Amerika – aku mengerti itu sekarang. Dan, entahlah, rasanya sungguh tidak nyaman jadi orang yang tidak ingin jadi apa-apa.” (hal 231)

Nicky juga tidak digambarkan sebagai manusia suci, walau tak terseret dalam dunia narkoba seperti yang dialami oleh sepupunya namun ia menjalani kehidupan cintanya layaknya masyarakat urban di sebuah kota Metropolitan.

Status Nicky sebagai imigran gelap juga memberi warna tersendiri, melalui novel ini pembaca akan diajak melihat kendala-kendala seorang imigran gelap dalam memperoleh pekerjaan karena tidak semua orang mau mempekerjakan imigra gelap sebagai pegawainya. Peristiwa 11 September 2001 membuat pandangan masyarakat dan pemerintah AS terhadap para imigran gelap semakin sinis sehingga memunculkan istilah ‘ilegal allien’ bagi mereka, seakan meraka adalah mahluk asing yang harus diusir dari negeri Amerika.

Selain pembaca diajak menyelami kehidupan Nicky melalui novel ini pembaca juga akan diajak melihat kehidupan dan budaya multikultural masyarakat Amerika melalui tokoh-tokoh yang dijumpai Nicky di sana sehingga wajah amerika sebagai negara multikultural akan terdeskripsikan dengan baik.

Dari percakapan Nicky dengan tokoh-tokoh yang bersinggungan dengan kehidupannya itu akan muncul dialog-dialog soal cinta, persahabatan, kepenulisan, dll yang tidak terkesan mendikte pembacanya melainkan memberi kebebasan pada pembacanya untuk menyimpulkan sendiri apa makna dari semua dialog itu.

Sepeti yang diungkap di atas, walau kisah kehidupan Nicky dalam novel ini nyaris tanpa konflik yang mencuat, namun ini bukanlah novel yang membosankan karena dengan kalimat-kalimat yang mengalir pembaca dibuat betah dan penasaran untuk menyimak perjalanan hidup Nicky hingga lembar terakhir novel ini. Selain itu karakter Nicky dan tokoh-tokoh lain yang digambarkan apa adanya membuat kisah dalam novel ini terasa dekat dengan keseharian dan realita yang kita hadapi

Dan yang membuat novel ini semakin menarik adalah bagaimana penulis mampu menghidupkan suasana kota Boston dengan begitu hidup. Pegalaman penulis yang pernah tinggal 6 tahun di Boston membuat ia mendeskripsikan makanan, jalanan, setting, dan perilaku masyarakat Boston terkisahkan dengan detail dan filmis sehingga pembaca seolah melihat secara langsung apa yang dilihat dan dilakukan oleh Nicky.

Selain itu karakter Nicky yang dihidupkan dalam novel ini juga seolah mewakili perasaan para remaja/pemuda kita yang umumnya mengalami kebingungan dalam hidupnya seperti yang diungkap penulisnya dalam live tweet –nya di #Twtiteriak beberapa waktu yang lalu.

Dalam live-tweetnya penulis mengungkapkan sebuah kenyataan yang dirasakan oleh para pemuda tentang tujuan hidup mereka. Walau umumnya para pemuda di usia 20-an mengatakan telah memiliki tujuan hidup namun kenyataannya mereka hanya memproyeksikan hal tersebut dalam lingkup sosial, di mana mereka selalu berusaha menunjukkan ‘ilusi hidup’ yang terarah sementara saat mereka sendiri, kebingungan yang sama seperti yang Nicky rasakan juga mencekam pikiran mereka. Inilah yang dinamakan quarter-life crisis yang dalam novel ini dialami oleh Nicky.

Dengan tuturan kalimat sederhana yang enak dibaca, kaya akan detail, karakter tokoh utama yang mengundang simpati pembacanya dan tokoh-tokoh lainnya yang penuh warna, serta tema yang universal, tak mengherankan kalau novel yang dikerjakan selama hampir 6 tahun ini sudah dilirik oleh 2 penerbit asing. Satu dari Amerika, dan satu lagi dari Australia.

Saat ini pengalih bahasaan dan beberapa penyesuaian untuk konsumsi pembaca luar sedang dikerjakan oleh penulisnya. Jika jadi diterbitkan maka satu lagi penulis Indonesia memasuki kancah literasi Internasional dan hal ini tentunya membanggakan sekaligus menjadi pemacu kreatifitas bagi penulis-penulis kita lainnya untuk go international.

17/02/2012

@htanzil


Tuesday, February 14, 2012

Buku yang Kunanti selama 29 tahun

Buku yang Kunanti selama 29 tahun




SOE HOK GIE - Catatan Seorang Demonstran
cetakan 1, Mei 1983
LP3ES, 454 hlm


Akirnya dapat juga buku ini!. Sejak buku ini terbit tahun 1983 buku ini menjadi incaran saya, waktu itu saya masih duduk di bangku SMP kelas 1 dan sudah mulai suka buku. Saya pertama kali melihat buku tersebut di toko bukuGramedia. Entah kenapa saat itu tertarik sekali dengan buku kecil berjudul Soe Hok Gie - Catatan Seorang Demonstran (SHG-CSD) dengan cover merah itu padahal saat itu saya belum tahu banyak siapa itu Soe Hok Gie kecuali dia itu seorang demonstran'66.

Karena waktu itu saya ingin membeli buku lain, niat untuk membeli buku SHG-CSD itu harus saya pendam karena uanganya tidak cukup. Bulan-bulan berikutnya setiap jalan-jalan ke TB Gramedia saya selalu mengincar buku itu, menimang-nimang, sambil berpikir beli jangan, beli jangan... tapi entah kenapa selalu tidak jadi beli karena pada akhirnya malah membeli buku lain dan uangnya selalu tidak cukup kalau harus membeli dua buah buku sekaligus

Kejadian ini terus berulang hingga akhirnya buku SHG-CSD lenyap dari pasaran. Namun entah kenapa ingatan saya menimang-nimang buku tsb sambil berpikir penuh keraguan untuk membeli atau tidak terus membekas dalam ingatan saya.

Seiring berjalannya waktu, niat untuk mencari buku itu terlupakan hingga akhirnya di tahun 2005 muncul film Gie garapan sutradara kondang Riri Reza yang dibintangi Nicholas Saputra sebagai Gie. Dengan munculnya film Gie, ingatan saya akan buku kecil itu kembali disegarkan. Saya harus mencari buku tersebut. Sayangnya buku SHG-SCD sudah jadi buku langka dan sulit didapat di lapak-lapak buku. Kalaupun ada bukunya sudah dalam kondisi yang tidak layak dikoleksi.

Film Gie meraih sukses, nama SHG kembali dikenang orang, momen ini digunakan oleh penerbit LP3ES untuk menerbitkan ulang CSD, memang jadi diterbitkan tapi sayangnya cover bukunya diganti dengan poster film Gie seperti ini :







SOE HOK GIE
Catatan Seorang Demonstran
LP3ES, 2005
385 hlm







Saya yang tadinya berniat untuk membeli buku ini langsung membatalkannya karena covernya tidak menarik (jangan ditiru ya.. hehe) apalagi di cover edisi cover depan buku cetakan tahun 2005 itu disertakan juga iklan rokok yg merupakan sponsor utama dari film Gie sehingga terkesan sangat komersil sekali.

Perburuan saya dalam mencari buku SHG-CSD edisi lama di toko2 buku onlen yang biasa menjual buku-buku antik terus berlanjuta, sayangnya belum dapat juga, kalaupun ada keburu terbeli oleh peminat lain. Sementara mencari bukunya, saya membaca buku SHG-CSD dengan cara meminjam dari teman.

Bersyukur akhirnya pada tahun 2008 buku itu kembali diterbitkan dalam format yang kurang lebih sama dengan edisi cover filmnya namun covernya dikembalikan seperti cover edisi tahun 1983 yaitu cover nuansa merah dengan foto demonstrasi dan foto SHG yang sedang merenung di cover belakangnya. Akhirnya daripada tidak punya sama sekali buku tersebut saya membeli cetakan thn 2008 itu dan menyimpannya sebagai salah satu koleksi buku2 bertema sejarah yang saya miliki.

Namun walaupun sudah punya bukunya saya tetap mencari cetakan tahun 83 dan bersyukur akhirnya ada seorang teman di FB, seorang kolektor buku-buku lawas bermutu yang menawarkannya buku SHG-CSD edisi 1 tahun 1983. Tanpa pikir panjang saya langsung memesannya dan akhirnya buku yang saya nanti-nantikan selama 29 tahun itu bisa saya peroleh pada hari Senin (13/02/2012) kemarin, walau halamannya sudah menguning termakan usia tapi buku itu termasuk mulus dan masih layak untuk dikoleksi.

Sambil menimang-nimang buku itu dan memberi sampul plastik pada bukunya ingatan saya kembali ke 29 tahun yang silam, di toko buku Gramedia dimana saya pernah begitu mengingini buku tersebut dan selalu tidak kesampaian karena saat itu uangnya tidak mencukupi. Rasanya setengah tidak percaya kalau akhirnya saya kini bisa memilikinya.

#####






SOE HOK GIE
Catatan Seorang Demonstran
LP3ES cet 2008 & 1983









Sejak pertama kali diterbitkan pada tahun 1983 hinga kini buku ini telah dicetak sebanyak 9 kali. Apa isi dari buku ini? silahkan simak review dari Blog buku Boekoe Watjankoe disini


@htanzil

(15/02/2012)

Monday, February 06, 2012

Pram's Day 6 Februari 2012


[Pram’s Day: 6 Februari 1925 - 6 Februari 2012]

Dalam rangka memperingati #PramsDay atau hari lahir Pram pada tanggal 6 Februari 1925 izinkan saya memposting ulang review salah satu karya Pramoedya yang terbit pada tahun 2005 yang lalu, Jalan Raya Pos, Jalan Daendels. Review ini dalam versi yang lebih ringkas pernah dimuat di Ruang Baca Koran Tempo ed. Oktober 2005 dengan judul Jalan yang Dibangun di Atas Kematian


Judul : Jalan Raya Pos, Jalan Daendels
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Cetakan : I, Oktober 2005
Tebal : 145 hal
ISBN : 979-97312-8-3


Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, membentang 1000 km sepanjang utara Pulau Jawa, dari Anyer sampai Panarukan. Dibangun dibawah perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu : Herman Willem Daendels (1762-1818). Ketika baru saja menginjakkan kakinya di Pulau Jawa Daendels berangan untuk membangun jalur transportasi sepanjang pulau Jawa guna mempertahankan Jawa dari serangan Inggris.

Angan-angan Daendels untuk membangun jalan yang membentang antara Pantai Anyer hingga Panarukan, direalisasikannya dengan mewajibkan setiap penguasa pribumi lokal untuk memobilisasi rakyat, dengan target pembuatan jalan sekian kilometer. Yang gagal, termasuk para pekerjanya, dibunuh. Kepala mereka digantung di pucuk-pucuk pepohonan di kiri-kanan ruas jalan. Gubernur Jendral Daendels memang menakutkan. Ia kejam, tak kenal ampun. Degan tangan besinya jalan itu diselesaikan hanya dalam waktu setahun saja (1808). Suatu prestasi yang luar biasa pada zamannya. Karena itulah nama Daendels dan Jalan Raya Pos dikenal dan mendunia hingga kini.

Walau Jalan Raya Pos dikenal dan selalu diajarkan di bangku-bangku sekolah namun bisa dikatkan tak ada buku yang secara khusus mengungkap sejarah pembuatan dan sisi-sisi kelam dibalik pembuatan Jalan Raya Pos. Buku terbaru karya Pramoedya Ananta Toer(Pram) ini bisa dikatakan dapat mengisi kekosongan literatur Jalan Raya Pos dalam khazanah buku-buku berlatar belakang sejarah dewasa ini. Walau buku ini bukan merupakan buku sejarah resmi, namun buku yang ditulis Pram dimasa tuanya ini (1995) dapat dijadikan sebuah buku yang mengungkap dan memberi kesaksian tentang peristiwa kemanusiaan yang mengerikan dibalik pembangunan Jalan Raya Pos.

Buku ini ditulis dengan mengalir, tanpa pembagian bab. Pada halaman-halaman awal Pram mengurai awal ketertarikannya pada Jalan Raya Pos yang memakan banyak korban jiwa para pekerja paksa yang ia golongkan sebagai genosida, pembunuhan besar-besaran ia juga menyinggung beberapa genosida yang awalnya dilakukan oleh Jan Pietersz Coen (1621) di Bandaneira, Daendels dengan Jalan Raya Posnya (1808), Cuulturstelsel alias tanam paksa, genosida pada jaman Jepang di Kalimantan, genocida oleh Westerling (1947) hingga genosida terbesar dalam sejarah bangsa Indoenesia di awal-awal pemerintahan Orde Baru.

Di halaman-halaman selanjutnya setelah mengurai sejarah tercetusnya ide pembuatan Jalan Raya Pos di benak Daendels Pram membagi bukunya ini berdasarkan kota-kota yang dilewati dan berada disepanjang Jalan Raya Pos. Pram mencatat dan mengurai 39 kota yang berada dalam jalur Jalan Raya Pos, baik kota-kota besar seperti Batavia,Bandung, Semarang, Surabaya, maupun kota-kota kecil yang namanya jarang terdengar bagi masyarakat umum seperti Juwana, Porong, Bagil dan lain-lain.

Secara rinci Pram mengungkap sejarah terbentuknya kota-kota tersebut, dampak sosial saat dibangunnya Jalan Raya Pos, hingga keadaan kota-kota tersebut pada masa kini. Dengan sendirinya masa-masa kelam ketika Jalan Raya Pos dikerjakan akan terungkap di buku ini. Ketika Jalan Raya Pos sampai di kota Sumedang dimana pembangunan jalan harus melalui daerah yang sangat berat ditembus, di daerah Ciherang Sumedang, yang kini dikenal dengan nama Cadas Pangeran. Para pekerja paksa harus memetak pegunungan dengan peralatan sederhana, seperti kampak, dan lain-lain. Dengan medan yang demikian beratnya inilah untuk pertama kalinya ada angka jumlah korban yang jatuh, 5000 orang!

Ketika pembangunan jalan sampai di daerah Semarang, Daendels mencoba menghubungkan Semarang dengan Demak. Kembali medan yang sulit menghadang. Bukan hanya karena tanahnya tertutup oleh rawa-rawa pantai, juga karena sebagian daripadanya adalah laut pedalaman atau teluk-teluk dangkal. Untuk itu kerja pengerukan rawa menjadi hal utama. Walau angka-angka korban di daerah ini tidak pernah dilaporkan, mudah diduga betapa banyaknya kerja paksa yang kelelahan dan lapar itu menjadi makanan empuk malaria yang ganas (hal 94). Sumber Inggris melaporkan seluruh korban yang tewas akibat pembangunan Jalan raya Pos sebanyak 12.000 orang!. Itu yang tercatat, diyakini jumlah korban lebih dari itu. Tak pernah ada komisi resmi yang menyelidiki.

Selain mengungkap sisi-sisi kelam dibalik pembangunan Jalan Raya Pos, Pram juga senantiasa menyelipkan penggalan kenangan-kenangan masa muda dirinya pada kota-kota disepanjang Jalan Raya Pos yang pernah ia singgahi. Ada kenangan yang pahit, mengesankan, dan lucu yang pernah dialaminya di berbagai kota yang ditulisnya di buku ini. Sebut saja pengalaman lucu ketika Pram muda yang sedang dalam tugas ketentaraannya bertugas di daerah Cirebon, dalam kegelapan malam secara tak disengaja ia pernah buang hajat disebuh tungku dapur yang disangkanya kakus, padahal tungku itu masih berisi sisa singkong rebus untuk rangsum para laskar rakyat.(hal 79)..O la la….!

Buku ini diutup dengan bab "Dan Siapa Daendels" yang ditulis oleh Koesalah Soebagyo Toer. Dalam bab ini diuraikan biografi singkat Daendels. Selain itu bagian daftar pustaka yang menyajikan sumber-sumber pustaka yang digunakan Pram untuk menyusun buku ini mencakup buku-buku yang terbit dipertengahan abad ke 19 hingga akhir abad ke 20. Tak heran jika membaca karya ini pembaca akan mendapatkan hal-hal yang detail mengenai sejarah kota yang dilalui oleh Jalan Raya Pos.

Yang patut disayangan pada buku ini adalah tidak adanya peta yang secara jelas menggambarkan rute-rute Jalan Raya Pos. Buku ini hanya menyijikan reproduksi dari peta kuno yang diambil dari Rijks Museum Amsterdam (hal 129). Peta yang tak mnggambarkan Pulau Jawa secara utuh dan huruf yang tak terlihat pada peta tersebut tentu saja menyulitkan pembaca untuk memperoleh gambaran akan sebuah jalan yang dibuat Daendels sepanjang Anyer hingga Panarukan ini.

Jalan Raya Pos, Jalan Daendels diselesaikan oleh Pramoedya pada tahun 1995, entah apa yang membuat buku ini harus menuggu 10 tahun untuk diterbitkan, tak ada penjelasan dari penerbit mengenai mengapa baru sekarang buku ini diterbitkan, padahal beberapa tahun setelah karya ini diselesaikan era reformasi memungkinkan diterbitkannya karya-karya Pram secara bebas. Namun walau bisa ditakan terlambat diterbitkan, buku ini masih sangat relevan untuk dibaca oleh siapa saja karena buku ini merupakan sebuah buku kesaksian tentang peristiwa genosida kemanusiaan paling mengerikan dibalik pembangunan sebuah jalan sepanjang 1000 km yang dibangun beraspalkan darah dan air mata manusia-manusia pribumi yang dipaksa untuk membangunnya.

@htanzil