Monday, April 08, 2013

Drama Sejarah 1832 by Remy Sylado

Judul : Drama Sejarah 1832
Penulis : Remy Sylado
Penerbit : Nuansa Cendekia.
Cetakan : I, Oktober 2012
Tebal  : 94 hlm

Ada peristiwa sejarah apa di tahun 1832 sehingga sastrawan Remy Sylado menulis naskah drama yang kemudian dipentaskan dan diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Drama Sejarah 1832?

Jika kita kaitkan dengan sejarah kehidupan Pangeran Diponegoro, 1832 adalah tahun dimana Sang Pangeran beserta istri diasingkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda ke bentang Fort Amsterdam - Manado, sementara pengikutnya bersama Kyai Mojo ditawan di Tondano.  

Tentunya akan timbul pertanyaan mengapa Remy Sylado mengangkat episode kehidupan Diponegoro di pengasingan dalam dramanya? Mengapa bukan kisah kepahlawanan Diponegoro ditengah berkecamuknya perang Jawa (1825-1830) yang dipentaskan, atau peristiwa tertangkapnya Diponegoro yang menginspirasi Raden Saleh untuk menuangkannya dalam lukisan legendarisnya?  Mengapa yang ditulis Remy adalah peristiwa ketika Diponegoro telah kalah dan diasingkan?

Tampaknya Remy yang juga telah menulis novel Pangeran Diponegoro : Menggagas Ratu Adil (Penerbit Tiga Serangkai, 2007) melihat ada satu hal yang penting dan menarik disaat Diponegoro berada dalam pengasingan di Manado pada tahun 1832. Di tahun itu ia melihat peristiwa  yang menarik dimana saat Diponegoro dan pengikutnya berada di Manado terjadi perlintasan kebudayaan yang unik dari dua latar keyakinan Kristen dan Islam di atas latar agama suku yang saat itu dianut masyarakat Minahasa yang berlangsung secara damai dan mesra. Bagi Remy peristiwa di tahun 1832 itu adalah cermin ideal keberagaman dalam kerukunan sejati. Itulah yang menjadi alasan utamanya menulis naskah drama ini.

Pementasan Drama Sejarah 1832, di TIM (30-31 Okt 2012)
Pangeran Diponegoro diperankan oleh Jose Rizal Manua


Drama Sejarah 1832 yang telah dipentaskan di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada bulan Oktober 2012  ini  terbagi dalam lima  babak,  dibuka dengan dialog antara Pangeran Diponegoro dengan istrinya, Ratnaningsih yang saat itu sedang hamil di pengasingannya di benteng Fort Amsterdam, Manado. Dikisahkan pada saat itu sang Pangeran mendapat firasat bahwa anak yang masih dalam kandungan istrinya itu kelak akan mendapat ancaman dari pemerintah kolonial, karenanya jika nanti Menadurahman, anaknya telah lahir Diponegoro berencana untuk menitipkannya pada Kyai Mojo, pengikut setianya di Tondano.

Diponegoro :
...Menurutku, dengan dibuangnya aku ke Makassar, pasti ada udang di balik batu yang dijalankan Belanda terhdap diriku. Makanya kakau itu terjadi, aku ingin Menadurahman terhindar dari hal-hal buruk itu.


Di Fort Amsterdam ini pula Pangeran Diponegoro diperkenalkan oleh Residen Daniel Francois Pietermaat  pada Johan Frederich Riedel (1798-1860) seorang pendeta Jerman yang hendak menyebarkan agama Kristen di Tondano, tempat dimana Kyai Mojo dan pengikutnya sedang menyebarkan agama Islam. Karena semua memiliki kepentingan yang sama, maka semua tokoh dalam drama ini akan bertemu di Tondano

Selanjutnya kisah akan bergulir ke Tondano, dimana Diponegoro, Ratnaningish, Kyai Mojo, Riedel, Pietermaat, dan istrinya berkumpul dan dalam semangaat kebersamaan secara bergantian digelar  tembang mapacat dalam bahasa Tondano yang dinyanyikan oleh Nyai Kyai Mojo, Barongsai dari Kelenteng di Manado yang didirikan Ni Hu Kong, dan nyanyian Halelujah Chorus karya  Goerge Friederic Handel dinyanyikan oleh orang-orang Tondano.

Walau kisahnya tampak sederhana namun, drama 1832 menjadi sangat menarik karena kekuatan dialog antar tokoh-tokohnya. Dari dialog yang tersaji secara utuh dalam buku ini kita akan melihat karakter dari masing-masing tokoh apa adanya. Jadi semua tokoh dalam drama ini termasuk Pangeran Diponegoro tampak sangat manusiawi sekali  antara lain terungkapnya sang Pengeran yang selama ini dikenal karena keheroikannya melawan Belanda ternyata adalah seorang peminum yang sangat suka anggur putih yang oleh masyarakat Manando dikenal dengan minuman “cap tikus”  

Lewat dialog-dialog dalam drama ini juga penulis mengajak kita berpikir secara kritis dalam berbagai hal.  Di buku ini  akan melihat bagaimana penguasa kolonial memandang rendah pribumi namun tidak hanya itu, ada juga sindirian bagi raja-raja pribumi yang memiliki istri banyak terungkap saat Residen Pietermann berdialog dengan istrinya

Nyonya Petermaat
Tadi kau bilang (pribumi) seperti kerbau? Sekarang  kau bilang seperti keledai. Lantas kau sendiri seperti apa? Kau seenaknya menghina kemahakasihan Tuhan yang mendesain manusia secara berbeda-beda. Tuhan tidak mencipta manusia pinta semua. Di Belanda juga banyak orang bodohnya

Pietermaat :
O, ya, betul. Tapi orang pribumi yang mengira dirinya pintar, terutama raja-rajanya di antero Nusantara ini, habis energi hanya untuk berpikir punya koleksi puluhan istri. Kau tahu, Schat, orang yang beristri banyak, harus diduga mengalami gangguan di otaknya. di otaknya itu hanya ada gambar vrouelijk gelachtsdel

Lalu masih dalam rangkaian dialog yang sama sang Residen juga mengejek bangsa Hindia yang katanya bangsa Bahari

Pietermaat :
...Kalau pribumi pintar, mereka yang datang ke Eropa, mengarungi samudra, lantas menjajah kita. Buktinya kita yang datang ke sini. Mereka yang menyebut diri bangsa bahari, ternyata tidak menguasai laut mereka sendiri. Boro-boro mengarungi samueder, berebang di got saja mereka tenggelam. 


Soal birokrasi yang menjadi pintu menuju korupsi juga muncul dalam dialog ini

Pietermaat :
…Paling enak menjadi pejabat negeri, bisa mendapat komisi untuk semua izin yang saya tandatangani. Ini toh bukan korupsi. Tapi kalau ini dianggap korupsi, lumrah dilakukan oleh semua pejabat pemerintah sejak VOC. Pintu masuk korupsi dalam pemerintahan adalah birokrasi. Dalam hal ini saya penghulu birokrasi.  

Di dua babak akhir  yang merupakan klimaks dari drama ini dan apa yang menjadi tema sentral drama ini yaitu soal kebersamaan dalam perbedaan kita akan melihat bagaimana keyakinan yang berbeda dimana masing-masing tokohnya memiliki niat yang sama untuk menyebarkan keyakinannya pada masyarakat Minahasa tidak membuat perbedaan ini sebagai sumber perpecahan melainkan sebuah keindahan yang harus dijaga seperti yang diungkapkan  Kyai Mojo

Kyai Mojo :
Jadi, memang, berbicara soal satu Tuhan, Allah yang tunggal, keyakinan kita sama. Keyakinan terhadap hal itu kita sebut “iman”. Tapi dalam berbicara soal cara menemui Allah yang tunggal itu, jalan kita berbeda. Jalan itu adalah agama, agama saya adalah agama saya, agama Anda adalah agama Anda Lakum diinukum wa liya din. Di perbedan itu, kita melihat dua jalan kasatmata, sebagai suatu keindahan. Seyogyanya kita merawat keindahan itu dengan baik dengan tidak memaksakan satu saja jalan. Dua jalan itu pilihan yang baik. Dua jalan itu toh menuju ke satu arah. Itulah keindahan hakiki yang harus sama-sama kita jaga.

Pada intinya naskah sejarah drama 1832 ini adalah sebuah interpretasi sejarah yang dikemas dengan apik. Dialog-dialognya yang ringan ditambah bumbu-bumbu humor membuat drama sejarah ini mudah dipahami oleh siapa saja. Hal ini juga membuat  pesan yang ingin disampaikan penulis mengenai kerukunan keberagamaan di Minahasa yang telah terjadi semenjak beradab yang lampau itu bisa tersampaikan dengan baik sehingga dapat menjadi sebuah rekleksi sekaligus sentilan bagi kita semua dimana kekerasan akibat perbedaan keyakinan kini kerap terjadi di Indonesia yang katanya masyarakatnya ramah dan cinta damai ini.


@htanzil



6 comments:

Dhieta said...

Waaahhh, ada bukunya ya? Saya sempat nonton teaternya di Taman Ismail Marzuki. Remy Silado ini emang salah satu favorit saya, keren banget dia ya? Kalo yang suka belajar sejarah pasti menikmati banget buku2nya Remy.

Jody said...

Om, Fort Rotterdam tidak pernah ada di Manado, adanya di Makassar...

htanzil said...
This comment has been removed by the author.
htanzil said...

@Jody : thx koreksiannya.
Saya salah ketik, harusnya benteng FORT AMSTERDAM di Manado. kata FORT identik dengan Rotterdam jadi saat ngetik otomatis yg diketik Rotterdarm :)

Benteng FORT AMSTERDAM dibangun pd thn 1644, diberi nama Nederlands Vastigheid. Benteng ini diperluas dan diperkokoh, lalu diganti namanya menjadi Fortificatie Amsterdam. Setelah terbakar karena perselisihan, pada 1705 benteng ini berganti sama menjadi Fort Nieuw Amsterdam. Di zaman Jepang saat PD II benteng ini dibom oleh tentara Amerika.

Kumpulan Sejarah said...

Salam Blogger, wah saya udah baca artikelnya dari awal sampai habis, ternyata ceritanya asyik juga ya, walaupun saya belum pernah baca buku atau nonton langsung teaternya.

sewa mobil jakarta said...

Bukunya bagus, makasih informasinya.