[No. 336]
Judul : Bandung di Lingkung Gunung
Penulis : Tim Penyusun Jantera
Penerbit : Rizqi Press & JANTERA
Cetakan : I, Maret 2013
Tebal : 116 hlm
ISBN : 978-602-9089-55-6
Jauh sebelum kota Bandung mendapat julukan Parjis van Java, Bandung di Lingkung Gunung adalah julukan paling lawas untuk kota Bandung. Julukan ini telah muncul sejak zaman Belanda yang juga tercantum di berbagai tulisan, buku, pamflet, dan brosur-bosur pariwisata hingga lirik lagu.
Secara geologis kota Bandung terletak di sebuah cekungan yang awalnya berupa danau kaldera akibat letusan dahsyat Gunung Sunda Purba ratusanribu tahun yang lampau. Cekungan Bandung itu terletak diantara kaki-kaki gunung di Pegunungan Priangan yang didominasi gunung api. Gunung-gunung itu seolah bergandengan
tangan membentengi kota Bandung sehingga tidak mengherankan jika kemudian lahir julukan “Bandung Di
Lingkung Gunung”
Dari sekian banyak gunung-gunung yang melingkungi Cekungan Bandung hanya sedikit yang mungkin dikenal luas oleh masyarkat, misalnya Gn Tangkuban Perahu yang menjadi trade mark kota Bandung, Gn. Malabar, Gn Burangrang padahal masih banyak gunung-gunung lainnya yang tidak kalah menarik baik itu dari pemandangannya maupun keuinikannya.
Melalui buku ini kita akan mengetahui data serta informasi dari sejumlah gunung-gunung yang mengelilingi Bandung. Buku ini sejatinya merupakan pendokumentasian ekspedisi "Bandung di Lingkung Gunung" (April-Juni 2011), ekspedisi pendakian gunung yang dilakukan oleh JANTERA (Perhimpunan Pecinta alam Geografi UPI_Bandung) untuk mendata dan menyusun profil gunung yang dianggap mewakili populasi gunung-gunung di
sekitar Cekungan Bandung.
Buku ini dibagi kedalam 6 bab, dimulai dari bab pendahuluan yang menjelaskan latar belakang kegiatan/ekspedisi ini, di kedua kita akan diberikan gambaran umum Cekungan Bandung berupa deskripsi, iklim geologi, perkembangan, dan peningalan arkeologi di wilayah cekungan Bandung. Setelah itu di bab 3 hingga bab 6 buku ini memberikan data geografis dan gambaran ke-23 gunung yang dibagi per wilayah yaitu gunung-gunung di kawasan Bandung Selatan, Bandung Barat, Bandung Utara, dan Bandung Timur.
Selain data gografis seperti ketinggian, koordinat, lokasi, peta pendakian, dll masing-masing gunung juga disertai dengan gambaran tentang pemandangan, fenomena alam, rute angkutan, peta pendakian, temuan-temuan arkeologis, makam karuhun, danau, air terjun, lengkap dengan kisah-kisah misterius dan legenda yang hidup di masyarakat sekitarnya.
Dari legenda masing-masing gunung akan tampak bahwa Legenda Sangkuriang begitu kuat mengakar dalam kehidupan masyakarat di kaki gunung2 sehingga penamaan gunung-gunung pun terkait dengan legenda Sangkuriang seperti Gn Tangkuban Perahu, Gn. Bukittunggul, Gn Burangrang, gn Pasir Pabeasan, Gn Pawon, dll. Semua itu tersaji secara singkat namun padat lengkap dengan foto-foto berwarna sehingga membuat buku ini menjadi tidak membosankan dan memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi.
Lengkapnya data dan gambaran mengenai ke-23 gunung yang melingkupi Bandung ini membuat buku ini dapat dijadikan sebagai buku panduan bagi mereka yang ingin mendaki gunung-gunung di wilayah Bandung. Bagi mahasiswa Geografi atau pengamat geologi buku ini tentunya sangat bermanfaat karena isinya mengulas kegeografian Bandung. Tidak hanya itu, seperti yang terungkap dalam buku ini, tujuan utama buku ini adalah mengangkat keistimewaan dan mendokumentasikan profil gunung-gunung yang ada di sekitar Cekungan Bandung sebagai sebuah informasi bagi masyakarat kota Bandung pada umumnya.
Sayangnya buku ini tidak bisa kita dapatkan di toko-toko buku umum, namun kita bisa memperolehnya secara onlen ke nomor telpon yang tertera di website JANTERA
@htanzil
Monday, June 30, 2014
Tuesday, June 24, 2014
Insulinde Park by Sudarsono Katam
[No. 335]
Judul : Insulinde Park
Penulis : Sudarsono Katam
Penerbit : Kiblat Buku Utama
Cetakan : I, Mei 2014
Tebal : 94 hlm
ISBN : 978-979-8003-41-7
Tahukan Anda bahwa di masa lampau selain dikenal sebagai Parijs van Java, kota Bandung juga dikenal sebagai kota taman?. Hal itu karena ada banyak taman-taman besar dan lahan hijau yang terkenal di Bandung tempo doeloe antara lain Jubileum Park (1923) Izyerman Park (1919), Molluken Park (1919), Piter Sitjhoff Park (1885), Insulinde Park (1922), dll.
Diantara taman-taman yang ada ternyata di tahun 1920-an Bandung pernah memiliki sebuah taman yang unik yaitu taman tropis yang bernama Insulinde Park. Sebuah taman yang indah, asri, dan unik dimana di dalamnya ditanami aneka pohon-pohon yang tumbuh di wilayah tropis termasuk pohon-pohon yang kini tergolong langka. Taman itu sendiri hingga kini masih ada, namun sayangnya sudah beralih fungsi, bukan lagi sebagai taman tropis melainkan sudah menjadi taman rekreasi yang bernama taman Ade Irma Nasution atau lebih dikenal dengan nama Taman Lalu Lintas.
Pada tahun 1898 lahan yang merupakan cikal bakal Insulinde Park ini masih berupa lahan kosong berbentuk rawa yang di beberapa bagiannya ditumbuhi rumpun-rumpun bambu yang kelak oleh masyarakat dijadikan sawah. Setelah dikeringkan dan tidak boleh digunakan sebagai sawah, pada 1915 lahan tersebut digunakan sebagai lapangan militer sejalan dengan pembangunan dua buah gedung instansi militer Belanda di sekitarnya. Pada tahun 1920 Lapangan Militer mulai berubah fungsinya menjadi sebuah taman kota yang diharapkan menjadi penyejuk udara di kawasan sekitarnya. Baru pada tahun 1925, Gementee Bandung memberi nama taman kota ini dengan nama Insulinde Park (Taman Insulinde) karena merupakan bagian dari dan terletak di kawasan kota yang memiliki identitas jalan dengan nama pulau-pulau di Insulinde (Nusantara) antara lain jalan Sumaterastaat, Borneostaat, Atjehstaat, Djawastaat dll. Menjelang akhir tahun 1920-an Bandung Voorvuit, sebuah perkumpulan yang peduli dalam dalam menata dan mempercantik kota Bandung mulai menata taman ini sebagai taman tropis. Pada 1935, di Insulinde Park telah ditanam 96 jenis tanaman keras dan bunga.
Di masa pendudukan Jepang (1942-1945) taman ini menjadi tidak terawat. Situasi genting dalam mempertahankan kemerdekaan (1946-1949) menyebabkan taman ini terbengkalai dan berubah menjadi hutan belukar. Barulah pada tahun 1950 taman ini mulai ditata kembali sehingga menjadi taman tropis yang bersih dan indah. Di tahun itu juga taman ini diganti namanya menjadi Taman Nusantara hingga akhirnya pada tahun 1958 taman Nusantara berubah namanya menjadi Taman Lalu Lintas. Dengan demikian fungsi taman ini ikut berubah, dari taman tropis menjadi taman edukasi lalu lintas bagi anak-anak dan wahana pembinaan bagi geng remaja hingga akhirnya kini hanya menjadi sekedar tempat rekreasi
Buku Insulinde Park karya Sudarsono Katam, penulis buku-buku tentang Bandung tempo doeloe mencoba menengok sejarah Insulinde Park dari masa ke masa secara singkat namun padat dan infomatif. Untuk itu penulis membagi bukunya ini kedalam Buku tiga bagian besar yaitu Insulinde Park yang mengetahahkan sejarah taman dari berupa lahan kosong berawa, lapangan militer, hingga menjadi taman tropis yang bernama Insulinde Park. Selain sejarah taman, bagian ini juga membahas mengenai jaringan sistem pengairan di taman sejak berdirinya hingga kini.
Di bagian kedua, buku ini membahas tentang taman tropis yang telah berganti fungsi dan nama menjadi Taman Lalu Lintas. Di bagian ini kita akan melihat salah satu alasan perubahan fungsi taman di tahun 1950-an adalah untuk meredam kenakalan remaja di kota Bandung yang pada saat itu terdapat banyak geng remaja berandalan yang cukup meresahkan warga Bandung. Keberadaan geng dan kenakalan remaja Bandung di masa itu terekam dengan baik di bagian ini. Karena alasan itulah maka taman tropis berganti fungsi menjadi taman edukasi bagi anak-anak dan remaja khususnya dalam hal berlalu lintas.
Setelah membahas mengenai Taman Lalu Lintas, buku ini juga menyertakan bab khusus tentang bangunan-bangunan tempo doeloe yang berada di sekitar Taman Lalu Lintas baik yang masih ada hingga kini maupun yang telah dibongkar dan menjadi bangunan baru.
Bagian Penutup buku ini tidak kalah menarik dan penting. Di bagian ini penulis mencoba memberi kritikan dan masukan mengenai keberadaan Taman Lalu Lintas saat ini. Kekhawatran kuncen Bandung, Haryoto Kunto yang tertuang dalam buku "Semerbak bunga di Bandung Raya" (1986) akan taman Lalu Lintas yang berkembang menjadi sekedar pusat rekreasi menurut penulis telah menjadi kenyataan.
"Setelah dua dasawarsa berlalu, kehawatiran sang Kuncen Bandung menjadi kenyataan Taman Lalu Lintas sekarang lebih mirip tempat rekreasi anak-anak yang teduh daripada sebuah taman tropis, ....
Terlalu banyak lahan taman yang dijadikan arena permainan anak-anak dengan ukuran cukup besar. Cukup banyak lahan yang digunakan sebagai tempat pendirian patung-patung binatang penghias tanaman. Cukup banyak bangunan baru yang didirikan dan menyita lahan tanaman. Cukup banyak lahan yang dibiarkan kosong tanpa perawatan yang sebebanrnya lahan tersebut dapat ditanami kembali dengan pepohonan besar dan tanaman hias. Melihat kondisi tersebut, tidak tertutup kemungkinan bahwa selama ini telah terjadi penebangan pepohonan di kompleks Taman Lalu Lintas." (hlm 73)
Selain hal di atas masih ada beberapa fakta-fakta yang dikemukakan dalam buku ini yang menjadi keprihatinan penulis dan kita semua mengenai Taman Lalu Lintas. Tidak hanya itu, penulis juga di akhir buku ini memberikan masukan pada pengelola atau siapa saja yang peduli akan keberandaan taman ini agar taman ini dikembalikan fungsinya sebagai sebuah taman tropis. Keberadaan arena bermain tidak perlu dihilangkan namun jadikan arena bermain anak sebagai pelengkap Taman Tropis bukan seperti yang terjadi sekarang dimana kerebadaan taman hanyalah sebagai pelengkap arena bermain anak.
Yang menjadi kekurangan pada buku ini adalah adanya kesenjangan waktu antara rampugnya buku dan terbitnya buku ini. Walau buku ini baru saja terbit (Juni 2014) namun update data dan foto-foto dalam buku ini hanya sampai tahun 2008. Hal ini terjadi karena buku ini selesai ditulis pada tahun 2008 (tanggal pada kata pengantar) namun baru kali ini dicetak dan diterbitkan. Alangkah baiknya sebelum diterbitkan penulis diberi kesempatan untuk memuktahirkan data dan foto-fotonya sehingga perkembangan taman ini berdasarkan hal yang paling baru. Selang waktu 6 tahun sejak buku ini ditulis hingga diterbitkan merupakan waktu yang cukup lama dan tentunya ada beberapa perubahan pada kondisi taman yang menjadi objek utama penulisan buku ini.
Terlepas dari hal di atas kehadiran buku ini patut kita apresiasi dengan baik, sebagai sebuah buku yang merekam jejak sebuah taman di kota Bandung dan bangunan-bangunan di sekitarnya buku ini layak dikoleksi. Tidak sekedar hanya untuk mengenang masa lalu namun buku ini juga dapat melengkapi khazanah buku-buku tentang Bandung dan terlebih dari itu semoga buku ini juga dapat menjadi sebuah pemicu, penggugah, atau apapun yang akan menggerakkan kita semua akan perlunya kita memiliki dan merawat taman-taman kota . Dan juga seperti yang diharapkan penulisnya semoga kelak kota Bandung bisa kembali memiliki Taman Tropis yang dapat dibanggakan.
@htanzil
Judul : Insulinde Park
Penulis : Sudarsono Katam
Penerbit : Kiblat Buku Utama
Cetakan : I, Mei 2014
Tebal : 94 hlm
ISBN : 978-979-8003-41-7
Tahukan Anda bahwa di masa lampau selain dikenal sebagai Parijs van Java, kota Bandung juga dikenal sebagai kota taman?. Hal itu karena ada banyak taman-taman besar dan lahan hijau yang terkenal di Bandung tempo doeloe antara lain Jubileum Park (1923) Izyerman Park (1919), Molluken Park (1919), Piter Sitjhoff Park (1885), Insulinde Park (1922), dll.
Diantara taman-taman yang ada ternyata di tahun 1920-an Bandung pernah memiliki sebuah taman yang unik yaitu taman tropis yang bernama Insulinde Park. Sebuah taman yang indah, asri, dan unik dimana di dalamnya ditanami aneka pohon-pohon yang tumbuh di wilayah tropis termasuk pohon-pohon yang kini tergolong langka. Taman itu sendiri hingga kini masih ada, namun sayangnya sudah beralih fungsi, bukan lagi sebagai taman tropis melainkan sudah menjadi taman rekreasi yang bernama taman Ade Irma Nasution atau lebih dikenal dengan nama Taman Lalu Lintas.
Pada tahun 1898 lahan yang merupakan cikal bakal Insulinde Park ini masih berupa lahan kosong berbentuk rawa yang di beberapa bagiannya ditumbuhi rumpun-rumpun bambu yang kelak oleh masyarakat dijadikan sawah. Setelah dikeringkan dan tidak boleh digunakan sebagai sawah, pada 1915 lahan tersebut digunakan sebagai lapangan militer sejalan dengan pembangunan dua buah gedung instansi militer Belanda di sekitarnya. Pada tahun 1920 Lapangan Militer mulai berubah fungsinya menjadi sebuah taman kota yang diharapkan menjadi penyejuk udara di kawasan sekitarnya. Baru pada tahun 1925, Gementee Bandung memberi nama taman kota ini dengan nama Insulinde Park (Taman Insulinde) karena merupakan bagian dari dan terletak di kawasan kota yang memiliki identitas jalan dengan nama pulau-pulau di Insulinde (Nusantara) antara lain jalan Sumaterastaat, Borneostaat, Atjehstaat, Djawastaat dll. Menjelang akhir tahun 1920-an Bandung Voorvuit, sebuah perkumpulan yang peduli dalam dalam menata dan mempercantik kota Bandung mulai menata taman ini sebagai taman tropis. Pada 1935, di Insulinde Park telah ditanam 96 jenis tanaman keras dan bunga.
(Insulinde Park thn 20-an)
Di masa pendudukan Jepang (1942-1945) taman ini menjadi tidak terawat. Situasi genting dalam mempertahankan kemerdekaan (1946-1949) menyebabkan taman ini terbengkalai dan berubah menjadi hutan belukar. Barulah pada tahun 1950 taman ini mulai ditata kembali sehingga menjadi taman tropis yang bersih dan indah. Di tahun itu juga taman ini diganti namanya menjadi Taman Nusantara hingga akhirnya pada tahun 1958 taman Nusantara berubah namanya menjadi Taman Lalu Lintas. Dengan demikian fungsi taman ini ikut berubah, dari taman tropis menjadi taman edukasi lalu lintas bagi anak-anak dan wahana pembinaan bagi geng remaja hingga akhirnya kini hanya menjadi sekedar tempat rekreasi
Buku Insulinde Park karya Sudarsono Katam, penulis buku-buku tentang Bandung tempo doeloe mencoba menengok sejarah Insulinde Park dari masa ke masa secara singkat namun padat dan infomatif. Untuk itu penulis membagi bukunya ini kedalam Buku tiga bagian besar yaitu Insulinde Park yang mengetahahkan sejarah taman dari berupa lahan kosong berawa, lapangan militer, hingga menjadi taman tropis yang bernama Insulinde Park. Selain sejarah taman, bagian ini juga membahas mengenai jaringan sistem pengairan di taman sejak berdirinya hingga kini.
Di bagian kedua, buku ini membahas tentang taman tropis yang telah berganti fungsi dan nama menjadi Taman Lalu Lintas. Di bagian ini kita akan melihat salah satu alasan perubahan fungsi taman di tahun 1950-an adalah untuk meredam kenakalan remaja di kota Bandung yang pada saat itu terdapat banyak geng remaja berandalan yang cukup meresahkan warga Bandung. Keberadaan geng dan kenakalan remaja Bandung di masa itu terekam dengan baik di bagian ini. Karena alasan itulah maka taman tropis berganti fungsi menjadi taman edukasi bagi anak-anak dan remaja khususnya dalam hal berlalu lintas.
(Insulinde Park kini yang telah berubah menjadi Taman Lalu Lintas)
Setelah membahas mengenai Taman Lalu Lintas, buku ini juga menyertakan bab khusus tentang bangunan-bangunan tempo doeloe yang berada di sekitar Taman Lalu Lintas baik yang masih ada hingga kini maupun yang telah dibongkar dan menjadi bangunan baru.
Bagian Penutup buku ini tidak kalah menarik dan penting. Di bagian ini penulis mencoba memberi kritikan dan masukan mengenai keberadaan Taman Lalu Lintas saat ini. Kekhawatran kuncen Bandung, Haryoto Kunto yang tertuang dalam buku "Semerbak bunga di Bandung Raya" (1986) akan taman Lalu Lintas yang berkembang menjadi sekedar pusat rekreasi menurut penulis telah menjadi kenyataan.
"Setelah dua dasawarsa berlalu, kehawatiran sang Kuncen Bandung menjadi kenyataan Taman Lalu Lintas sekarang lebih mirip tempat rekreasi anak-anak yang teduh daripada sebuah taman tropis, ....
Terlalu banyak lahan taman yang dijadikan arena permainan anak-anak dengan ukuran cukup besar. Cukup banyak lahan yang digunakan sebagai tempat pendirian patung-patung binatang penghias tanaman. Cukup banyak bangunan baru yang didirikan dan menyita lahan tanaman. Cukup banyak lahan yang dibiarkan kosong tanpa perawatan yang sebebanrnya lahan tersebut dapat ditanami kembali dengan pepohonan besar dan tanaman hias. Melihat kondisi tersebut, tidak tertutup kemungkinan bahwa selama ini telah terjadi penebangan pepohonan di kompleks Taman Lalu Lintas." (hlm 73)
Selain hal di atas masih ada beberapa fakta-fakta yang dikemukakan dalam buku ini yang menjadi keprihatinan penulis dan kita semua mengenai Taman Lalu Lintas. Tidak hanya itu, penulis juga di akhir buku ini memberikan masukan pada pengelola atau siapa saja yang peduli akan keberandaan taman ini agar taman ini dikembalikan fungsinya sebagai sebuah taman tropis. Keberadaan arena bermain tidak perlu dihilangkan namun jadikan arena bermain anak sebagai pelengkap Taman Tropis bukan seperti yang terjadi sekarang dimana kerebadaan taman hanyalah sebagai pelengkap arena bermain anak.
Yang menjadi kekurangan pada buku ini adalah adanya kesenjangan waktu antara rampugnya buku dan terbitnya buku ini. Walau buku ini baru saja terbit (Juni 2014) namun update data dan foto-foto dalam buku ini hanya sampai tahun 2008. Hal ini terjadi karena buku ini selesai ditulis pada tahun 2008 (tanggal pada kata pengantar) namun baru kali ini dicetak dan diterbitkan. Alangkah baiknya sebelum diterbitkan penulis diberi kesempatan untuk memuktahirkan data dan foto-fotonya sehingga perkembangan taman ini berdasarkan hal yang paling baru. Selang waktu 6 tahun sejak buku ini ditulis hingga diterbitkan merupakan waktu yang cukup lama dan tentunya ada beberapa perubahan pada kondisi taman yang menjadi objek utama penulisan buku ini.
Terlepas dari hal di atas kehadiran buku ini patut kita apresiasi dengan baik, sebagai sebuah buku yang merekam jejak sebuah taman di kota Bandung dan bangunan-bangunan di sekitarnya buku ini layak dikoleksi. Tidak sekedar hanya untuk mengenang masa lalu namun buku ini juga dapat melengkapi khazanah buku-buku tentang Bandung dan terlebih dari itu semoga buku ini juga dapat menjadi sebuah pemicu, penggugah, atau apapun yang akan menggerakkan kita semua akan perlunya kita memiliki dan merawat taman-taman kota . Dan juga seperti yang diharapkan penulisnya semoga kelak kota Bandung bisa kembali memiliki Taman Tropis yang dapat dibanggakan.
@htanzil
Thursday, June 19, 2014
Semua untuk Hindia by Iksaka Banu
[No.335]
Judul : Semua untuk Hindia
Penulis : Iksaka Banu
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan : I, Mei 2014
Tebal : 153 hlm
ISBN : 978-979-91-0710-7
Buku ini merupakan kumpulan cerpen yang seluruh kisahnya terjadi saat Indonesia masih bernama Hindia Belanda. Kisah-kisahnya merentang dari masa kedatangan Cornelis de Houtman pada 1596 hingga masa-masa awal Indonesia merdeka. Masing-masing diceritakan dari sudut pandang tokoh-tokoh utamanya yang beragam seperti wartawan perang, polisi, tentara, pastor, administratur perkebunan tembakau, dokter tentara, hingga seroang Nyai.
Yang membuat kisah-kisah dalam buku ini menjadi menarik adalah hampir semua konflik yang terjadi pada tokoh-tokohnya terkait dengan peristiwa-peristiwa dan tokoh-tokoh sejarah yang pernah terjadi di masa kolonialisme. Seperti pada cerpen Semua untuk Hindia yang dijadikan judul buku ini. Di cerpen ini kita akan disuguhkan sebuah kisah tentang seorang wartawan Belanda yang bersahabat dengan gadis kecil keluarga Puri Kesiman yang kelak menewaskan diri dalam Perang Puputan di Bali. Di cerpen ini dikisahkan bagaimana si wartawan melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana tragis dan dahsyatnya Perang Puputan
Selain peristiwa perang puputan di Bali, penulis juga menyuguhkan sebuah kisah berjudul Bintang Jatuh yang berlatar pemberontakan etnis Tionghoa terbesar di Hindia pada 1740. Di cerpen ini dikisahkan sang tokoh utama, seorang perwira menengah Hindia mendapat tugas rahasia untuk membunuh Gustaff van Imhoff, saingan gubernur Jenderal Hindia Belanda Adriaan Valckeiner. Di cerpen ini kita tidak hanya mendapat gambaran bagaimana konflik batin si tokoh dan bagaimana pemberontakan entis Tionghoa bisa terjadi melainkan juga gambaran kondisi politik di Hindia di masa itu dimana terjadi persaingan dan perseteruan dua kubu elite Belanda antara Gubernur Jenderal Adriaan Valckeiner dengan saingannya Gustaaf Willem van Imhoff
Selain menampilkan tokoh-tokoh Belanda terkenal yang namanya terekam dalam sejarah, penulis juga memunculkan nama-nama pahlawan Nusantara di masa itu seperti Pangeran Diponegoro dan Untung Surapati. Pangeran Diponegoro muncul sekilas dalam cerpen berjudul Pollux yang diambil dari nama kapal layar yang mengantar Diponegoro ke tempat pengasingannya di Manado. Di cerpen yang mengambil sudut pandang seorang tawanan perang Belanda berkebangsaan Belgia ini kita akan melihat bagaimana Sang Pangeran sejak ditawan di Balai kota (Stadhuis) Batavia hingga saat akan berangkat ke Manado diperlakukan dengan sangat istimewa oleh tentara kerajaan Belanda yang sangat menghormatinya. Di cerpen ini pula kita akan melihat konflik antara Belgia dan Belanda yang terjadi saat itu.
Jika Pangeran Diponegoro muncul sekilas saja dalam cerpen Pollux, maka Untung Surapati mendapat porsi cukup banyak dalam cerpen Penunjuk Jalan. Cerpen ini mengisahkan seorang dokter tentara Belanda yang tersesat di hutan bersama temannya yang terluka. Di tengah hutan sang tokoh bertemu dengan seorang yang memperkenalkan diri sebagai Pangeran Kebatinan yang ternyata adalah Untung Surapati. Di cerpen ini lewat dialog sang dokter dengan Untung Surapati terungkap bagaimana Belanda mencoba membangun Batavia sebagai 'Belanda di daerah tropis' yang ternyata berakibat buruk pada sanitasi kota.
Judul : Semua untuk Hindia
Penulis : Iksaka Banu
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan : I, Mei 2014
Tebal : 153 hlm
ISBN : 978-979-91-0710-7
Buku ini merupakan kumpulan cerpen yang seluruh kisahnya terjadi saat Indonesia masih bernama Hindia Belanda. Kisah-kisahnya merentang dari masa kedatangan Cornelis de Houtman pada 1596 hingga masa-masa awal Indonesia merdeka. Masing-masing diceritakan dari sudut pandang tokoh-tokoh utamanya yang beragam seperti wartawan perang, polisi, tentara, pastor, administratur perkebunan tembakau, dokter tentara, hingga seroang Nyai.
Yang membuat kisah-kisah dalam buku ini menjadi menarik adalah hampir semua konflik yang terjadi pada tokoh-tokohnya terkait dengan peristiwa-peristiwa dan tokoh-tokoh sejarah yang pernah terjadi di masa kolonialisme. Seperti pada cerpen Semua untuk Hindia yang dijadikan judul buku ini. Di cerpen ini kita akan disuguhkan sebuah kisah tentang seorang wartawan Belanda yang bersahabat dengan gadis kecil keluarga Puri Kesiman yang kelak menewaskan diri dalam Perang Puputan di Bali. Di cerpen ini dikisahkan bagaimana si wartawan melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana tragis dan dahsyatnya Perang Puputan
Sekonyong-konyong dari arah berlawanan muncul iringan panjang. Tampaknya bukan tentara, melainkan rombongan pawai atau sejenis itu. Seluruhnya berpakaian putih dengan aneka hiasan berkilauan. Tak ada usaha memperlambat langkah, bahkan ketika jarak sudah demikian dekat, mereka berlari seolah ingin memeluk setiap anggota Batalion 11 dengan hangat. Segera terdengar letupan senapan, silih berganti dengan aba-aba dan teriak kesakitan.
Nyaris aku terkulai menyaksikan pemandangan ngeri di mukaku: Puluhan pria, wanita, anak-anak, bahkan bayi dalam gendongan ibunya, dengan pakaian termewah yang pernah kulihat, terus merengsek ke arah Batalion 11 yang dengan gugup menembakkan Mauser mereka sesuai aba-aba komandan batalion
Rombongan indah ini tampaknya memang menghendaki kematian. Setiap kali satu deret manusia tumbang tersapu peluru, segera terbentuk lapisna lain di belakang mereka, meneruskan maju menyambut maut.
(hlm 69-70)
Selain menampilkan tokoh-tokoh Belanda terkenal yang namanya terekam dalam sejarah, penulis juga memunculkan nama-nama pahlawan Nusantara di masa itu seperti Pangeran Diponegoro dan Untung Surapati. Pangeran Diponegoro muncul sekilas dalam cerpen berjudul Pollux yang diambil dari nama kapal layar yang mengantar Diponegoro ke tempat pengasingannya di Manado. Di cerpen yang mengambil sudut pandang seorang tawanan perang Belanda berkebangsaan Belgia ini kita akan melihat bagaimana Sang Pangeran sejak ditawan di Balai kota (Stadhuis) Batavia hingga saat akan berangkat ke Manado diperlakukan dengan sangat istimewa oleh tentara kerajaan Belanda yang sangat menghormatinya. Di cerpen ini pula kita akan melihat konflik antara Belgia dan Belanda yang terjadi saat itu.
Jika Pangeran Diponegoro muncul sekilas saja dalam cerpen Pollux, maka Untung Surapati mendapat porsi cukup banyak dalam cerpen Penunjuk Jalan. Cerpen ini mengisahkan seorang dokter tentara Belanda yang tersesat di hutan bersama temannya yang terluka. Di tengah hutan sang tokoh bertemu dengan seorang yang memperkenalkan diri sebagai Pangeran Kebatinan yang ternyata adalah Untung Surapati. Di cerpen ini lewat dialog sang dokter dengan Untung Surapati terungkap bagaimana Belanda mencoba membangun Batavia sebagai 'Belanda di daerah tropis' yang ternyata berakibat buruk pada sanitasi kota.
"...sejak direbut Kompeni enam puluh tahun silam, kota itu menjelma menjadi kota terkutuk. Sungai Ciliwung dicabik menjadi puluhan kanal sehingga arusnya melemah. Lumpur mengendap di sana-sini, menciptakan dinding-dinding parit yang becek. Kalau sedang pasang, seisi laut menerjang kota . Saat surut, bangkai ikan serta kotoran manusia terperangkap di selokan dan parit-parit tadi. Menebarkan udara tidak sehat."
"....pembesar Batavia mungkin orang-orang romantis yang rindu kampung halaman. Bermimpi memindahkan Negeri Belanda ke sini. Padahal iklim dan tanahnya sangat berbeda. Kanal yang semula digali untuk pengairan dan lalu lintas justru mempercepat penyebaran penyakit ke seluruh kota."
(hlm 123)
Masih banyak kisah-kisah menarik berbalut sejarah Indonesia di zaman kolonial yang bisa kita temukan dalam ketigabelas cerpen yang masing-masing judul diberi ilustrasi hitam putih karya Yuyun Nurrachman. Selain tentang peperangan ada juga kisah-kisah humanis yang menyentuh seperti kisah administratur perkebunan tembakau Deli yang terpaksa harus mengusir gundik dan anak-anak yang dicintainya menjelang kedatangan istrinya (Racun untuk Tuan) , kisah Nyai yang disayang tuannya namun berselingkuh (Stambul Dua Pedang) , kehidupan dan sulitnya menjadi seorang indo (Gudang Nomor 012B) , dll.
Semua cerpen dalam buku ini yang juga pernah di muat di beberapa media cetak nasional (Koran Tempo, Media Indonesia) ini tersaji dengan apik, rinci, dan dramatik. Sejarah tidak hanya menjadi latar melainkan ikut melarut dalam kisahnya, bahkan tak jarang penulis menghadirkan dialog-dialog cerdas dan kritis terkait peristiwa sejarah yang ada di dalam kisah-kisahnya sehingga sejarah tidak hanya sekedar dibaca melainkan diberi latar belakang, pengertian, dan pendapat kritis lewat sudut pandang tokoh-tokohnya.
Sayangnya hampir semua tokoh utama dalam cerpen-cerpen ini adalah seorang Belanda baik totok maupun Indo (peranakan Belanda). Hanya ada satu cerpen yang tokoh utamanya seorang pribumi, yaitu dalam cerpen "Stambul Dua Pedang". Andai saja penulis memberikan porsi lebih banyak pada tokoh-tokoh pribumi tentunya akan diperoleh sebuh gambaran utuh dan berimbang mengenai Hindia dari sudut pandang pribumi maupun orang-orang Belanda.
Sayangnya hampir semua tokoh utama dalam cerpen-cerpen ini adalah seorang Belanda baik totok maupun Indo (peranakan Belanda). Hanya ada satu cerpen yang tokoh utamanya seorang pribumi, yaitu dalam cerpen "Stambul Dua Pedang". Andai saja penulis memberikan porsi lebih banyak pada tokoh-tokoh pribumi tentunya akan diperoleh sebuh gambaran utuh dan berimbang mengenai Hindia dari sudut pandang pribumi maupun orang-orang Belanda.
Terlepas dari itu hadirnya buku ini memberi warna dan kesegaran tersendiri dalam dunia sastra kita. Tema kolonialisme dalam cerpen termasuk tema yang jarang digali oleh cerpenis-cerpenis kita.. Karena hadirnya buku ini patut diapresiasi dengan sebaik-baiknya. Selain itu unsur kesejarahan yang kental dalam setiap kisahnya membuat kita dapat membaca berbagai peristiwa sejarah yang pernah terjadi di Hindia dengan cara yang menyenangkan.
@htanzil
Monday, June 16, 2014
Tjitaroemplein by Sudarsono Katam

[No. 334]
Judul : Tjitaroemplein
Penulis : Sudarsono Katam
Penerbit : Kiblat Buku Utama
Cetakan : I, Mei 2014
Tebal : 100 hlm
ISBN : 978-979-8003-42-4
Buku ini mengupas keberadaan Lapangan Citarum (Tjitaroemplein) Bandung dari masa ke masa. Seiring perkembangan zaman dan sejarah tentang lapangan ini yang tampaknya dilupakan orang Lapangan Citarum kini sudah tidak ada, di bekas arealnya kini sudah berdiri tegak Masjid Istiqomah Bandung dan sedikit taman yang dinamai Taman Citarum. Dengan membaca buku ini kita akan mengetahui bahwa Lapangan Citarum yang telah hilang itu ternyata memiliki sejarah panjang terkait sejarah telekomunikasi Hindia Belanda (Indonesia) pada masa lampau.
Lapangan Citarum
pertama kali didirikan pada tahun 1918. Lapangan ini berbentuk elips yang
membujur dalam arah timur - barat yang terletak di
sebuah kompleks perumahan dimana terdapat sebuah kantor pos dan dua buah
sekolah yang didirikan pada tahun 1920-an.
Yang paling menarik dari lapangan ini adalah didirikannya
sebuah monumen di atas sebuah kolam sebagai peringatan keberhasilan stasiun
Radio Malabar di Gn Puntang Malabar yang untuk pertama kalinya berhasil membuat
sambungan telepon radio antara Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Stasiun
Radio Malabar dengan seorang petinggi
kerajaan Belanda di Nederland pada 3 Juni 1927. Peristiwa ini dianggap penting karena membawa Hindia Belanda ke dunia internasional dalam hal teknologi telekomunikasi
Monumen peringatan yang dirancang arsitek kondang Ir. C.P Wolff Schoemaker yang diresmikan pada 27 Januari 1930 tersebut berbentuk tiga perempat bola yang diapit oleh
dua patung laki-laki tanpa busana. Patung laki-laki yang pertama sedang menaruh
tangan di mulutnya yang menandakan sedang berteriak sedangkan di sisi seberang
bola terdapat patung laki-laki yang sedang menaruh tangan di telinganya seakan sedang
mendengarkan. Karena kedua patung itu secara eksplisit memperlihatkan kedua bokong patung pria tersebut maka masyarakat menamakan monumen ini sebagai monumen pantat bugil (blotebillen monument)


(Monumen Stasiun Radio Malabar)
Selain tentang keberadaan Lapangan Citarum beserta monumennya, buku ini juga
secara khusus mengetengahkan sejarah berdirinya Staisun Radio Malabar mulai
dari berdirinya, masa kejayaannya hingga hancurnya stasiun Radio Malabar ini
akibat perang. Pada tgl 24 Maret 1946 yang kelak dikenal sebagai Peristiwa Bandung Lautan Api, dilakukan pembakaran terhadap sarana-sarana vital yang dianggap dapat digunakan Belanda untuk melanggengkan kekuasaannya oleh para pejuang kemerdekaan. Menurut buku ini Stasiun Radio Malabar termasuk bangunan yang dihancurkan. Kejadian yang sangat disayangkan namun tidak juga bisa diasalahkan karena berdasarkan situasi saat itu, mau tidak mau Stasiun Radio Malabar harus memang harus dihancurkan daripada digunakan musuh sehingga menjadi ancaman bagi para pejuang kemerdekaan Indonesia.
(Stasiun Radio Malabar)
Di lokasi bekas Stasiun Radio Malabar kini hanya dapat ditemui puing-puing bangunannya saja. Hancurnya peninggalan bersejarah Stasiun Radio
Malabar juga diikuti oleh dihancurkannya monumen peringatan Stasiun Radio Malabar di
Lapangan Citarum Bandung pada tahun 1950-an. Berbeda dengan dihancurkannya Stasiun Radio Malabar demi kepentingan perjuangan, dihancurkannya monumen peringatan di Lapangan Citarum hanya berdasarkan alasan kesusilaan. Monumen ini dihancurkan tanpa mempertimbangkan latar belakang sejarah berdirinya. Dengan demikian hilang sudah bukti sejarah telekomunikasi yang tidak saja berskala lokal (Kota Bandung) maupun nasional, tetapi juga internasional hanya karena pantat bugil sang patung
Tahun 1960-an Lapangan Citarum benar-benar kehilangan
pamornya. Lapangan yang dulu berhiaskan monumen yang indah itu dipenuhi tumbuhan liar hingga akhirnya di tahun 1970-an
didirikan Masjid Istigamah yang pembangunannya dilakukan secara bertahap dan
hingga kini masih berdiri dengan megahnya
Buku ini ditulis dengan ringkas namun padat dan informatif ini dihiasi pula dengan puluhan foto yang tersaji dengan kualitas cetak yang bagus. Sayangnya tiap-tiap sub judul dicetak dengan huruf italic dengan warna yang kabur sehingga pembaca akan kesulitan membacanya. Diluar itu buku yang merupakan salah satu buku berseri tentang 'Bandung baheula jeung kiwari' (Bandung dahulu dan masa kini) ini sangat layak untuk diapresiasi karena selain untuk menghadirkan kembali pada kita semua tentang bagian dari sejarah kota Bandung buku ini juga dapat menjadi pengingat akan kebodohan yang pernah kita lakukan dimana sebuah
karya seni sebagai penanda sejarah telekomunikasi di Indonesia dengan sengaja dihancurkan hanya karena alasan kesusilaan semata. Semoga hal seperti ini tidak terulang kembali.
@htanzil
@htanzil
Subscribe to:
Posts (Atom)