Thursday, January 13, 2011

Korupsi (Tahar Ben Jelloun)

No. 249
Judul : Korupsi
Penulis : Tahar Ben Jelloun
Penerjemah : Okke K.S. Zaimar
Penerbit : PT Serambi Ilmu Semesta
Terbitan : I, November 2010
Tebal : 232 hlm

Novel Korupsi ini ditulis oleh Tahar Ben Jelloun, seorang penulis dan penyair asal Maroko yang menuliskan karya-karyanya dalam bahasa Perancis. Novel ini mendapat ‘tempat’ tersendiri di kalangan sastrawan tanah air karena karyanya ini terilhami oleh novel “Korupsi” karya pengarang besar Indonesia Pramoedya Ananta Toer.

Pada awal tahun 1990-an Tahar Ben Jelloun berkunjung ke Indonesia. Saat itu ia ingin sekali bertemu dengan Pramoedya Ananta Toer yang sangat dikaguminya. Karena saat itu Pram tengah menjalani tahanan kota dan “demi kebaikan Pramoedya” maka ia mengurungkan niatnya untuk bertemu Pram. Namun walau tak sempat bertemu muka dengan Pramoedya, selama di Jakarta ia sempat membaca terjemahan bahasa Perancis novel Korupsi karya Pramoedya yang akhirnya mengilhaminya untuk menulis novel serupa dengan latar Maroko.

Pada tahun 1994 novelnya diterbitkan dengan judul L’Homme Rompu (Lelaki yang Patah). Dengan permainan kata “Rompu” (patah) adalah “corrompu” (korup) yang ia persembahkan untuk Pramoedya, tidak itu saja sebagian royalti dari penjualan novel ini juga ia berikan kepada Pramoedya. Sebagai ungkapan terimakasihnya Pramoedya mengirimkan sepucuk surat pribadi yang menurut Tahar “ditulis dengan sangat indah”. Kini 16 tahun kemudian barulah novel Tahar ini diterjemahkan langsung dari bahasa Perancis dan diberi judul yang sama persis dengan novel Pram yaitu ‘Korupsi’

Dalam novelnya ini Tahar mengisahkan tokoh Murad, seorang Insinyur lulusan perguruan tinggi di Perancis yang bekerja di Kementrian Pekerjaan Umum di Casablanca, Maroko. Ia adalah wakil direktur Perencanaan Pembangunan dan Pembinaan, salah satu tugasnya adalah mempelajari berkas pembangunan yang diajukan ke kementrian PU. Tanpa parafnya tak ada izin membangun,

Namun walau posisinya cukup tinggi gaji Murad tak mencukupi untuk menghidupi istri dan kedua anaknya. Sebenarnya jabatan dan pekerjaannya yang ‘basah’ sangat memungkinkan ia memperoleh uang suap dari pihak-pihak yang membutuhkan legalitas dari dirinya, namun Murad memiliki prinsip untuk bekerja secara jujur dan tidak melakukan korupsi sehingga di kalangan rekan-rekan kerjanya ia mendapat reputasi sebagai “manusia besi”.

Sayangnya prinsip yg dipegang teguh oleh Murad tak sejalan dengan istri dan lingkungan kerjanya. Hilma, istrinya selalu mengomel dan menuntut ini dan itu, Hilma juga sering membandingkan kehidupan mereka dengan Haji Hamid, asisten Murad yang walau gajinya lebih kecil dari Murad namun Hamid lebih kaya daripada mereka.

Keteguhan Murad untuk bekerja secara jujur juga membuat ia menjadi ganjalan bagi rekan-rekan kerjanya yang berusaha mendongkel Murad dari kedudukannya. Ketika atasan maupun asistennya melakukan korupsi maka perilaku Murad yang bersih justru dianggap aneh sampai-sampai direkturnya sendiri memberi wejangan agar Murad lebih ‘luwes’ dalam bekerja dan memberikan alasan-alasan yang masuk akal agar Murad juga melakukan korupsi seperti mereka.

Kehidupan ekonomi keluarganya yang serba kekurangan, salah satu anaknya yang sakit-sakitan, tekanan dari istri dan rekan-rekan kerjanya yang terus menggodanya agar melakukan korupsi lambat laun mulai menggoyahkan keyakinannya. Iman dan keteguhan prinsipnya benar-benar diuji ketika didalam sebuah berkas yang harus ditandatanganinya terdapat segepok uang dirham. Ketika itu hatinya galau karena uang itu lebih dari cukup untuk melunasi hutang-hutangnya sekaligus untuk mengobati anaknya, namun jika uang itu diambilnya maka runtuhlah prinsip anti suap/korupsi yang selama ini ia pegang teguh.

Tahar Ben Jelloun mengemas kisah Murad ini dengan memikat dan begitu hidup, pergolakan batin Murad terdeskripsi dengan sangat baik sehingga pembacanya diajak merasakan kegalauan hatinya dalam mempertahankan prinsipnya. Wejangan panjang lebar dari atasan Murad yang mencoba merasionalisasikan tindakan korupsi terkesan begitu masuk akal dan meyakinkan sehingga tak hanya Murad tapi pembaca novel inipun mungkin akan sedikit membenarkan apa yang dikatakan direkturnya itu.

Kehidupan sosial masyarakat Casablanca dan suasana kota, angkutan umum, lalu lintas, dan perilaku korupsi yang terdapat dalam novel ini juga terasa memiliki banyak kesamaan dengan kota-kota besar di Indonesia sehingga pembaca sejenak akan lupa kalau setting kisah Murad itu berada ribuan kilometer dari Indonesia. Tak heran rasanya kalau Casablanca ini merupakan sister city dari Jakarta, dimana suasana kota dan perilaku korupsi pegawai negerinya memiliki kesamaan.

Munculnya tokoh Nadia seorang janda cantik yang merupakan selingkuhan Murad turut mewarnai novel ini. Bagi Murad hanya Nadialah yang mengerti akan prinsip yang dianutnya sehingga bisa dikatakan Nadia tempat dimana dia bisa melepaskan ketegangan yang dialminya baik di rumah maupun di pekerjaannya. Melalui perselingkuhannya dengan Nadia ini maka Murad bukan seorang manusia sempurna, di satu sisi ia begitu kokoh mempertahankan prinsipnya sebagai pegawai yang ‘bersih’ namun di satu sisi ia memiliki kelemahan dalam hal wanita. Moralitasnya hanya pada negara namun hal ini tidak berlaku dalam hal hubungannya dengan wanita.

Walau sepertinya novel ini merupakan novel yang menyiratkan sebuah pesan moral pada pembacanya namun untungnya kita tak akan terasa digurui karena Tahar menuliskannya dalam ruang pergulatan batin Murad sebagai tokoh utamanya.

Pergulatan batin Murad dalam mempertahankan prinsipnya dan bagaimana ketika akhirnya ia harus mengambil resiko atas keputusan yang diambilnya, serta kisah cintanya dengan Nadia mengalir tanpa jeda di novel ini. Sepertinya memang penulis tak memberi kesempatan bagi pembacanya untuk berhenti membacanya karena novel setebal 231 halaman ini ditulis tanpa ada pembagian bab. Untungnya kemahiran Tahar dalam merangkai kisah dengan lugas, tidak bertele-tele ditambah dengan terjemahan yang enak dibaca membuat novel ini memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi sehingga beberapa pembaca mungkin akan menghabiskan novel ini dalam sekali duduk.

Novel ini juga merupakan cerminan kehidupan birokrasi masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai negara dengan tingkat korupsi yang tinggi karena korupsi sudah mendarah daging dan menjadi sebuah hal yang wajar. Di novelnya ini pada akhirnya Tahar memberikan gambaran pada kita bagaimana seorang yang memiliki prinsip yang teguh untuk bekerja secara ‘bersih’ harus melawan arus dan menghadapi berbagai tekanan dan sistem yang membuat perilaku korupsi menjadi begitu mudah dan mentradisi.

Selain tekanan lingkungan dan sistem, seseorang yang seperti Murad juga mungkin bisa dikalahkan oleh karena kemiskinan yang dialaminya, hal ini sesuai dengan apa yang ditulis Tahar dalam kata pengantarnya bahwa “Di bawah langit yang berbeda, dan berjarak beribu-ribu kilometer, ketika didera oleh kesengsaraan yang sama, kadang-kadang jiwa manusia menyerah pada setan yang sama” (hal 12)


@htanzil


4 comments:

Fanda said...

Aku suka kalimat penutupnya...
Memang ya, menjadi jujur itu sangat amat sulit. Saat kita harus setia pada Tuhan yang tak kelihatan, sementara semua orang yang benar2 hadir nyata di sekitar kita selalu menekan kita. Pada akhirnya hanya sekuat apakah iman kita, itu yang akan menentukan...

HUD AIKARA said...

aku suka buku ini..aku akan mencarinya..

Anonymous said...

Buku-buku diskon sampai 70%, Beli 5 buku bonus 3 buku!!
kunjungi: http://bukudiskon.kassa9.com/

sykron said...

sya harap buku yang seperti ini lebih baxyak dtrbitkan lagi karena bisa membuat mengerti korupsi dengan cara yang yang enjoyfull