Tuesday, March 01, 2011

Seribu Sujud Seribu Masjid

No. 252
Judul : Seribu Sujud Seribu Masjid
Penulis : Tandi Skober
Penerbit : Salsabila Kautsar Utama
Cetakan : I, November 2010
Tebal : 275 hlm

Jika membaca judulnya “Seribu Sujud Seribu Masjid” tentunya kita akan langsung menduga bahwa ini adalah novel bernuansa religi. Betul, tapi tak hanya itu saja karena dalam novel ini pembaca juga akan diajak masuk dalam nuansa politik, intrik, romantisme, dan humor yang dikemas sedemikian rupa sehingga menghasilkan sebuah novel religi yang tak hanya berisi dakwah saja namun memiliki latar kisah yang menarik untuk disimak hingga lembar terakhir novel ini.

Di bab-bab pertama novel ini penulis mengajak kita untuk kembali ke tahun 65 di wilayah Sekober, Indramayu, ketika gonjang-ganjing politik melanda seluruh negeri ini. Dikisahkan Kasdi dan Zum dibesarkan di daerah pesisir Sekober, Indramayu. Zum adalah anak gundik Bah Ceh Nong, tokoh PKI di Sekober. Kasdi adalah anak seorang seniman Tarling yang bernama Camang. Kedua anak itu bersahabat dengan akrab.

Ketika prahara politik merembet hingga ke wilayah Sekober, nasib merekapun berubah drastis. Bah Ceh Nong ditemukan mati mengambang di sungai Cimanuk. Tuduhannya sudah jelas karena ia adalah tokoh PKI di Sekober yang pantas dihukum mati tanpa harus diadili terlebih dahulu. Sedangkan Camang yang bekerja sebagai pembantu di rumah Bah Ceh Nong dicurigai sebagai salah satu antek PKI. Walau Camang selalu mengatakan bahwa ia adalah muslim dan sudah disunat pada para tentaranya namun ia tak luput dari hukuman. Saat hendak dieksekusi, Camang selamat, melarikan diri, menggelandang dari masjid ke masjid. Semenjak itu Camang tak pernah lagi bertemu dengan anaknya, Kasdi.

Anak-anak Bah Ceh Nong dan Camang bertahan dalam menjalani kerasnya kehidupan. Zum menjadi penari dombret, pelacur, hingga akhirnya menjadi pencopet. Kasdi ikut menjadi pencopet bersama Zum dan Zaki, kawannya. Sementara Zum dan Zaki masih berada dalam dunia hitam, Kasdi pensiun menjadi copet untuk berjualan bandros. Ia tinggal di surau peninggalan kakeknya. Kasdi percaya bahwa suatu saat ayahnya akan pulang dan sujud di surau itu.

Di Surau peninggalan kakeknya itulah Kasdi bertemu dengan Priadi, lelaki senja yang menhantarnya agar lebih dekat pada Tuhan. Mereka berdua tak henti-hentinya mengajak orang-orang yang lewat surau tersebut untuk menepi dan sholat. Tak banyak yang tertarik pada ajakan mereka berdua kecuali Bana, anak preman dan Cipto mantan pejabat dan pengusaha kaya yang bertobat dan menyerahkan sisa hartanya sebesar 100 jt rupiah pada Kasdi sebagai uang kost di surau milik kakek Kasdi sekaligus biaya penguburannya jika ia meninggal dunia nanti.

Kasdi, Bana dan Cipto menjadi tiga sekawan yang menempuh jalan Allah, mereka tinggal bersama di surau sambil mempertebal iman dan berdakwah secara sederhana dibawah bimbingan Priadi. Walau Kadi telah mengantongi uang sebesar 100 juta kehidupan mereka bertiga tetap bersahaja dan damai hingga akhirnya Zaki, kawan lama Kasdi yang kini telah menjadi konglomerat berniat untuk membeli tanah Surau tersebut.

Melalui Zum yang sebenarnya mencintai Kasdi, Zaki mencoba membujuk Kasdi untuk menjual surau tersebut. Zaki berani membeli suaru tersebut seharga 500 juta rupiah untuk dijadikan mall dan stasiun televisi global. Disinilah konflik terjadi. Gagal dengan iming-iming uang, Zaki dan Zum bersekongkol mencari cara lain yang diperkirakan akan ampuh meluluhkan Kasdi untuk menjual surau tersebut. Kasdi memerintahkan Zum untuk berpura-pura menjadi wanita muslimah yang soleh agar Kasdi jatuh cinta pada Zum dan merelakan surau peninggalan kakeknya jatuh ke tangan Zaki.

Kisah di novel ini seberarnya sederhana saja, namun penulisnya mampu membuat kisah sederhana ini menjadi menarik. Penulis tampak piawai dalam mendeskripsikan kisahnya ini dengan detail dan filmis sehingga ketika saya membaca novel ini saya merasa sedang menonton sebuah film dalam imajinasi saya.

Tokoh-tokohnya memiliki latar belakang yang berbeda-beda sehingga membuat novel ini menjadi lebih berwarna dan pembaca diberi kesempatan untuk melihat bagaimana masing-masing tokoh ini menyikapi persoalan hidupnya. Umumnya semua tokoh dalam novel ini berusaha mencari jati diri mereka sehingga bisa dikatakan ini adalah kisah tentang perjalanan spiritual manusia dalam mencari jati dirinya.

Bagi saya pribadi bagian yang paling menarik di novel ini adalah di bab-bab awal saat kisah bergulir di tahun 65 ketika huru-hara politik melanda wilayah Sekober. Di bagian ini pembaca diajak melihat bagaimana dan apa yang dirasakan rakyat kecil akibat kekisruhan yang dilakukan para elit politik negeri ini. Selain itu terungkap juga bagaimana kelamnya suasana saat itu, terlebih saat Camang ditangkap dan hendak dieksekusi oleh para tentara. Bagi saya bagian ini merupakan bagian yang sulit terlupakan.

Sayang ketika cerita beralih ke masa kini, kisah-kisah di masa lalu ini tak disinggung lagi sehingga seolah kisah di bagian-bagian awal novel ini menjadi kisah tersendiri dan terlepas begitu saja . Tentunya akan lebih menarik jika kilasan-kilasan masa lalu Kasdi dan Zum ditampilkan kembali sehingga benang merah antara kisah masa kecil Kasdi dan Zum ini tampak terlihat lebih jelas lagi.

Terlepas dari itu secara keseluruhan saya rasa novel ini menarik untuk dibaca. Sebagai novel religi tentunya novel ini mengandung banyak sekali dengan pesan-pesan keagamaan namun penulis mengemasnya dalam dialog-dialog yang segar dan lucu sehingga pembaca tak merasa digurui oleh penulisnya.

Bagi saya ini novel religi islami yang pertama kali saya baca. Walau bukan seorang muslim saya tak merasa kesulitan dalam memahami dan memaknai pesan-pesan moral yang hendak disampaikan penulisnya. Bagi saya nilai-nilai religi islami yang tertuang dalam novel ini sangat universal dan bisa dipahami dan dimaknai oleh semua pembaca tanpa harus terbatasi oleh sekat-sekat agama.

@htanzil

5 comments:

Fanda said...

Seringkali judul itu bisa menipu. Kupikir sepintas buku ini mengumpulkan berbagai mesjid & sejarahnya di tanah air. Ternyata salah besar. Ide yg bagus memang mengemas novel religi dlm kisah fiksi ya.

Eh, selamat udah berhasil menaklukkan kejenuhan, hehehe...

Tandi Skober said...

Wah, jadi terharu membaca resensi ini.
Makasih Tanzil... sulit saya menerangkan bagaimana bahagianya nvl ini berkenan dibaca dan juga diresensi.

Tabik

Aminah Mustari said...

salam kenal pak tanzil. saya juga sudah baca novel ini. mengasyikkan memang. setuju dengan ulasan pak tanzil ;)

htanzil said...

@Fanda : makasih jg krn obrolan di twitter bikin aku semangat ngereview lagi

@Tandi : owala, ternyata review sederhanaku dibaca penulisnya, makasih Pak Tan! kebanggaan tersendiri jika blog ini disambangi oleh tuan dari Sekober.. :D

@Aminah : Yup! semoga novel ini banyak dibaca orang dan segera bisa dibuat filmnya.

xamthone plus said...

salam kenal ya pa tanzil...
referensi buku" nya.. keren banget..