Wednesday, July 11, 2012

Menyusuri Lorong-Lorong Dunia jilid 3

[No.293]
Judul : Menyusuri Lorong-Lorong Dunia jilid 3
Penulis : Sigit Susanto
Penerbit : Insist Press
Cetakan : I, April 2012
Tebal : 307 hlm

"Tujuanku utamaku menulis catatan perjalanan ini ialah ingin berbagi sebanyak-banyaknya kepada kawan-kawan di Indonesia. Aku mencoba menggambarkan berbagai corak perbedaan di dunia, baik etnik, budaya, agama, ideologi"

Demikian ungkap Sigit Susanto ketika saya menanyakan apa alasannya menulis setiap perjalanannya menyusuri lorong-lorong dunia selama ini. Apa yang dikatakannya telah terbukti, dengan tekun penulis mencatat semua yang ia temui ketika menyambangi 36 negara di dunia. Ketekunan dan semangat berbaginya itu telah membuahkan 3 jilid buku yang bisa dikatakan sangat tebal untuk sebuah buku catatan perjalanan. Jika digabung seluruhnya menjadi 1.157 halaman! ( Jilid 1 = 373 hlm, jilid 2 = 477 hlm, jilid 3 = 307 hlm ).

Mengapa bisa demikian tebal? Ketiga buku tersebut memang tidak seperti kisah-kisah catatan perjalanan yang pada umumnya hanya mencatat keindahan obyek-obyek wisata dan pengalaman unik si penulis semata namun penulis juga menyuguhkan catatan tentang etnik, budaya, agama, politik, idelogi, sastra, dan sebagainya. Yang menarik, untuk mendapatkan data dari apa yang akan ditulisnya itu tak jarang penulis juga masuk ke pasar-pasar tradisional untuk menangkap realita kehidupan masyarakat yang sesungguhnya dari negara-negara yang dikunjunginya.

Di buku ke-3 nya ini penulis mencatat perjalanannya ke 11 negara di 3 benua berdasarkan kronologis waktu perjalanannya pada tahun 2002 hingga 2010 mulai dari Kenya, India, Turki, Yordania, Skandinavia, Polandia, Mesir, Italia, Hongkong, Kamboja, dan Yunani.

Ada banyak hal yang menarik yang terungkap dalam seluruh catatan perjalanan yang terkisahkan dalam buku ini, salah satu yang akan saya kemukakan di bukunya yang  ke-3 ini adalah kepedulian penulis terhadap para buruh migran yang bekerja di berbagai negara yang dikunjunginya. Di buku ini terlihat bagaimana penulis selalu menyempatkan diri untuk mewawancarai setiap orang Indonesia yang bekerja di negara asing yang dkunjunginya.

Di buku ini pula secara khusus penulis menulis 3 bab tentang kehidupan buruh migran di dua negara yang berbeda, satu bab tentang Orang-Orang Kontainer di Swiss dan tentang 130 ribu Buruh Migran Indonesia (BMI) di Hongkong yang ditulis dalam dua bab, Mengintip BMI di Hongkong, dan Hongkong Perlu Gunter Wallraf

Di bab yang berjudul "Orang-orang Kontainer" kita akan melihat bagaimana  kerasnya kehidupan 34 buruh asal Indonesia yang harus tinggal di bekas kontainer di tengah udara yang dingin menusuk tulang di Switzerland dengan gaji kurang dari Rp. 2 juta/bulan.  Dari gaji sebear itu, Rp.1 juta diberikan untuk istri atau keluarga mereka di Mojokerto, para buruh sendiri  hanya menerima uang saku sebesar Rp. 180 rb/bulan. Kemana sisanya? sisa gaji disimpan perusahaan untuk diberikan pada mereka jika pekerjaan selesai. Bisa dibayangkan bagaimana mereka harus bertahan dengan rp. 180 rb/ bulan di Eropa. Bandingkan juga dengan gaji buruh pabrik di Swiss yang memiliki gaji sekitar Rp. 34 jt/bulan !

Lain di Switzerland, lain pula keadaan buruh migran di Hongkong. Kehidupan para BMI di Hongkong jauh lebih baik, walau hanya sebagai pembantu rumah tangga hak-hak mereka  diatur oleh Undang-Undang. Mereka memiliki waktu libur sehingga seperti yang sering kita dengar di hari Minggu para BMI tumpah ruah memenuhi lapangan Victoria Park untuk berlibur dan bertemu dengan rekan-rekan sekampungya.

Selain tentang suasana di Victoria Park, penulis juga menceritakan pengalamannya berkunjung ke Perpustakaan Hongkong Central Library  yang berada di samping kanan Victoria Park.

Perpustakaan itu super mewah. Gedungnya tingkat 10. Khusus tingkat 5 menyediakan koran dan majalah berbahasa Indonesia. Di sela-sela rerimbunan manusia, ada beberapa orang kita sedang membaca majalah Gatra, Tempo, dan Bisnis Indonesia. ... Di sini pembantu rumah tangga ikut meluruk. Mereka haus informasi, ingin menimba ilmu, menyadap berita. Terutama yang berasal dari tanah air. Apalagi fasilitas intenet gratis tersedia pada setiap lantai.



Kami masuk lift di gedung tingkat 4 atau 5. Luar biasa di ruangan segi empat itu penuh manusia, semuanya perempuan dari Indonesia.... hampir semua monitor di atasnya menggantungkan webcam. Rata-rata mereka sedang chating dengan orang lain. Mungkin dengan pacarnya, saudaranya, kawannya, di tanah air.  (hlm 224-225)

Selain itu  dikemukakan juga dampak meluapnya buruh migran wanita Indonesia di Hongkong, antara lain   menumbuhkan gejala lesbian diantara para BMI. Penulis mencatat bahwa sekitar tahun 2002 gejala lesbian menyebar di kalangan BMI, mereka membuat kelompok yang solid, bahkan sudah ada yang berani terus terang menikah secara resmi sambil berpesta pora.

Lalu bagaimana dengan gaji para BMI di Hongkong?

Gaji para anggota BMI perbulannya rata-rata 3580 HK$ (sekitar 4 juta rupiah lebih). Gaji sebesar itu tidak dinikmati oleh BMI selama 7 bulan pertama karena harus dibayarkan ke pihak agen di Hongkong yang bekerja sama dengan PT di Indonesia yang memberangkatkan mereka.
Tak jarang agen dan PT banyak yang nakal. Bahkan agen di Hongkong sering mengancam, jika selama masa 7 bulan pertama tidak bekerja dengan baik, kemudian dikembalikan ke agen lagi. Pihak agen mengancam akan mengirim sebagai pekerja di rumah bordil sebagai pelacur. 
Tak sedikit BMI yang tidak mendapatkan gaji sesuai standard umum. Besarnya bervariasi antara 1800 HK$ sampai 2000 HK$ . Adapun kontrak kerja dengan majikan rata-rata selama 2 tahun. 


(hal 236)


Selain di Switzerland dan Hongkong yang ditulis secara khusus, di buku ini juga dikisahkan sedikit tentang seorang BMI  di Mesir yang ditemui penulis. Walau mereka telah bekerja 12 tahun sebagai pembantu rumah tangga namun mereka hanya digaji sebesar 150 EGP (sekitar Rp.300.000/bulan). Gaji yang lebih kecil dibanding jika mereka bekerja dengan profesi yang sama di tanah air.



 Selain soal buruh migran tentunya masih banyak hal-hal menarik dari buku ini yang  bisa memperluas wawasan pembacanya. Yang menjadi ciri khas dan menjadi pembeda buku ini dengan buku-buku catatan perjalanan lainnya adalah soal materi sastra. Di setiap negara yang dikunjunginya selalu ada kisah tentang buku, sastra dan sastrawan sehingga kita dapat berkenalan dengan sastra dan sastrawan dari negara yang dikunjungi  penulis.

Sayangnya di buku ke-3 nya ini tidak ada sastrawan yang ditulis secara khusus seperti di buku pertama yang membahas Franz Kafka dan James Joyce di buku keduanya. Padahal ketika penulis menulis tentang kunjungannya di Mesir nama Nawal El Sadawi disebut-sebut, tentunya buku ini akan lebih 'berisi' seandainya penulis memberikan 'bonus' berupa tulisan tentang sastrawan dunia asal Mesir yang buku-bukunya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia itu,

Yang juga disayangkan adalah foto hitam putih dan peta negara dalam buku ini. Untuk foto suasana, bangunan, dan orang masih terlihat cukup jelas, yang parah adalah foto peta di setiap babnya. Karena foto peta itu terlalu kecil dan buram maka kehadiran peta di tiap bab buku ini menjadi mubazir karena tidak mungkin terbaca. Sebetulnya hal ini bisa disiasati dengan mengganti halaman berisi foto dengan kertas yang lebih baik seperti yang dilakukan di buku kedua dimana setiap foto dicetak berwarna diatas kertas art paper, sehingga bisa terlihat dengan jelas.

Terlepas dari hal di atas, buku ini sangat menarik untuk dibaca bagi siapa saja yang ingin mendapat gambaran negara-negara di dunia lengkap dengan budaya, politik, dan sastra. Detailnya penulis menggambarkan dan menangkap realita yang ditemuinya selama perjalanannya membuat ada banyak kejutan yang akan kita temui dalam buku ini, misalnya Suku Masai di Kenya yang minum darah sapi dicampur susu, patung dewa di Mesir untuk perempuan hamil .yang harus dilihat sambil tersenyum supaya terkabul bisa hamil, hingga pop-mie buatan Indomie di pasar tradisional Yordania.

@htanzil


Review :
Menyusuri Lorong-Lorong Dunia jilid 1
Menyusuri Lorong-Lorong Dunia jilid 2

2 comments:

mei said...

buku ke-3 ini beli dimana ya? rasanya gak pernah liat.
aku juga udah baca buku beliau yg ke-1 dan 2.

Shoim said...

Review buku yang sangat menarik.
www.bukuislamkita.com
Pusat Penjualan Buku Islam Online