[No.309]
Judul : 30 Hari Keliling Sumatra
Penulis : Ary Amhir
Penerbit : Dolphin
Cetakan : I, 2013
Tebal : 278 hlm
"Tetapi apalah artinya perjalanan jika kau semata berjalan saja. Perjalanan bagiku adalah juga belajar, membaca yang tersirat, dan menemukan makna sebuah pencarian" (hal 273)
Itulah arti perjalanan bagi Ary Amhir, gadis petualang yang juga suka menulis. Menyimak catatan perjalanannya yang dibukukan dengan judul 30 Hari Keliling Sumatra ini membuktikan apa yang diyakininya tentang maksa sebuah perjalanan.
Tulisan-tulisan dalam buku ini tidak hanya memuat keindahan alam di berbagai tempat yang dikunjunginya atau sekedar berbagi tips melakukan perjalanan keliling Sumatera melainkan sarat dengan muatan budaya, legenda, makna kearifan lokal, humanisme, dan ketinggalan kritik sosial yang hampir selalu ia tulis di setiap tulisannya.
Buku yang terbagi dalam 32 bagian ini dimulai dengan kisah perjalanan seorang diri ke Pariaman, Sumatra Barat untuk memenuhi undangan pernikahan salah seorang temannya, sesama mantan TKI di Malaysa. Di bagian ini alih-alih menuliskan tentang pesona alam atau kekhasan bangunan di Pariaman, penulis memulainya dengan rumah-rumah yang hancur akibat gempa Padang dan bertebarannya tenda-tenda putih tempat tinggal sementara para pengungsi paska gempa dahsyat di Padang pada tahun 2009 yang lalu
Setelah itu dengan lancar Ary dalam setiap babnya ia menulis tentang adat membeli lelaki di Padang, semangat penduduk Pariaman setelah gempa, gempa Mentawai dan Adat Dedaunan, pemanggil Roh di Toba, Jejak Amir Hamzah di Tanjung Pura. dll.
Kehidupan rakyat kecil tak luput dari pengamatannya, antara lain kisah Baharudin si Tukang Becak lulusan SMA yang tidak memiliki ijazah karena tidak memiliki uang untuk melunasi SPP-nya. Selain itu ada pula kisah tentang Perempuan Penyapu Jalan di Takengon, dan kisah para kuli bangunan seusai gempa. Semuanya itu mengingatkan kita akan kehidupan dan problematika rakyat kecil yang kadang dilupakan oleh para penulis catatan perjalanan
Gambaran tentang Aceh, serambi mekah juga tak luput dari pengamatan kritisnya. Di tulisannya yang berjudul Mencecap Negeri Hijab ini penulis mengangkat tentang Hijab yang wajib dipakai di Aceh dimana sebagian wanita Aceh menggenakannya bukan karena kesadaran akan makna pemakaian kerudung melainkan karena peraturan mengharuskannya. Sebagai contoh apa yang diamati penulis ketika ia berada dalam bus yang membawanya keluar dari Banda Aceh, ketika bus yang ditumpanginya telah meninggalkan Banda Aceh tampak seorang perempuan muda segera melepas jacket dan kerudungnya sehingga tampak ia menggenakan t-shirt hitam seksi yang memperlihatkan tengkuk putihnya.
Nasib petani Sawit di Sumatera juga menjadi salah satu bagian yang menarik dalam buku ini. Dalam kisah yang diberinya judul Sawit Sang Idola, penulis mengungkapkan bagaimana belantara Sumatra yang semakin menipis karena kini kebun-kebun karet dan persawahan berganti wajah menjadi kebun Sawit.
Sawit memang pernah menjadi idola petani Sumatra. Pada awalnya beberapa petani sawit merasakan keuntungan yang besar ketika sawit yang ditanamnya berhasil dipanen sehingga sebagian besar petani ikut-ikutan menanam sawit. Sawit yang awalnya menjadi primadona bagi rakyat Sumatra ternyata lambat laun tidak mampu mensejahterakan para petani, bahkan kini sawit dituduh berperan dalam memiskinkan petani tradisional Sumatra.
Selain perkebunan sawit, perkebunan tembakau Deli yang pernah begitu terkenal dan mendunia juga bernasib sama. Kini pesona tembakau Deli dan PTPN yang mengelolanya semakin meredup Mengapa bisa demikian? beberapa penyebabnya mungkin pernah kita dengar di berita-berita namun apa kata para mantan petani dan buruh tembakau Deli? di bab berjudul Memoar Jatuhnya Tembakau Deli penulis menuturkannya dengan gamblang.
Masih banyak kisah-kisah yang menarik dalam buku ini, seperti tentang proses akulturasi budaya Palembang dengan China, tentang orang-orang Kubu yang ditakuti penduduk Sumatra, hingga kisah-kisah ringan seperti Lelaki Tekongan yang seksi, kasih sayang lelaki aceh, warung kopi di Aceh dan perbedaan antara kereta di Jawa dengan di Sumatra.
Semua tulisan-tulisan tersebut terangkai dengan foto-foto jepretan sang penulis dan tambahan data dan informasi terkait dengan wilayah atau topik yang dibahas di setiap kisahnya. Hal ini menunjukkan bahwa penulis merangkai catatan perjalanannya bukan dari apa yang ia alami saja melainkan dilengkapinya dengan berbagai informasi yang diperolehnya dari riset literarur yang memadai.
Namun dibalik keistimewaan buku ini ada beberapa hal yang mungkin bisa menjadi masukan bagi penulis dan penerbit.Yang pertama, ini bisa disebut kelebihan sekaligus kelemahan. Karena penulis tampak lebih mengusung tema-tema sosial, budaya, dan kultur masyarakat setempat sehingga pendeskripsian obyek-obyek yang menarik agak terabaikan, misalnya ketika ia mengunjungi bangunan-bangunan bersejarah seperti rumah raja gula Oey Tiong Ham, Masjid Baiturrahman Banda Aceh, Istana Maimun di Medan, dll dimana penulis hanya menggambarkan mengenai bangunan luarnya secara umum.
Kedua, di kisah "Opera Batak" sebuah seni pertunjukan yang telah ada sejak 1920-an penulis tidak menyertakan sinopsis atau alur kisah dari opera batak itu sendiri. Memang penulis menguraikan bahwa dalam opera ini ada unsur tarian batak atau Tortor, pantum Batak, folkore atau sejarah Batak, dll namun alangkah baiknya jika disertakan sinposis singkat atau alur dari Opera Batak itu sendiri sehinga pembaca dapat megnetahui apa sebenarnya yang dipentaskan dalam Opera Batak.
Ketiga, penulis tidak menyertakan data kapan perjalanan keliling Sumatra-nya dilakukan. Informasi waktu yang didapat adalah bahwa perjalanannya itu dilakukan paska gempa Sumatra dimana masih terdapat tenda2 pengungsian dan bangunan-bangunan rusak yang belum diperbaiki. Saya pikir penyertaaan keterangan waktu perjalanan dalam sebuah catatan perjalanan adalah hal yang tidak boleh diabaikan karena keadaan tempat bisa berubah dan di masa-masa yang akan datang tidak semua pembaca akan ingat kapan gempa dahsyat di Sumatra tepatnya di Padang terjadi.
Keempat, adalah covernya. Cover dengan ilustrasi seorang gadis dengan ransel dipunggung dengan latar Ngarai Sianok memang sangat menarik. Namun saya pikir cover ini membatasi persepsi calon pembaca akan buku ini. Dengan cover seperti akan menimbulkan kesan kalau isi buku ini hanyalah catatan perjalanan wisata saja padahal yang disajikan penulis bukanlah catatan perjalanan wisata semata melainkan pengamatannya atas budaya dan situasi sosial di setiap tempat yang dikunjunginya.
Untuk itu saya lebih suka cover buku ini ketika masih diterbitkan secara indie (2011) yang menampilkan Sungai Musi beserta dertean perahu kecil dan bangunan-bangunan yang ada di sisinya plus cover belakang yang menampilkan anak-anak di sebuah kampung di Lhoksuemawe.
Cover edisi lama (2011)
Demikian tentang buku catatan perjalanan yang telah berhasil mengungkap apa yang menjadi arti sebuah perjalanan menurut pandangan penulisnya dimana sebuah perjalanan adalah "membaca yang tersirat dan menemukan makna sebuah pencarian". Melalui buku ini kita tidak hanya membaca apa yang disaksikan penulis lewat pandangan matanya saja melainkan kita diajak menemukan apa yang tersirat dan menggali makna dari setiap perjalanan yang telah dilakukannya.
@htanzil
Assalamu'alaikum.. jadi tau tentang sumatra, kami juga menjual buku2 Islam
ReplyDeleteizin dishare tulisannya ya ^^
ReplyDeletehttp://kumcer.com/2013/06/19/30-hari-keliling-sumatra/
Salam dan selamat dalam perjlanan.
ReplyDelete-pandit
izin share tulisannya
ReplyDelete