[No. 310]
Judul : Ayah Menyayangi Tanpa Akhir
Penulis : Kirana Kejora
Penerbit : Zettu
Cetakan : I, 2013
Tebal : 372 hlm
"Novel ke 17 ini berdasar kisah nyata tentang mensyukuri & menikmati arti kesepian, kehilangan. Pada saatnya kita memang harus sendiri."
Demikian tulis Kirana Kejora di lembar-lembar awal novelnya ini, novel yang mengisahkan tokoh bernama Arjuna Dewanga (Juna) seorang ayah muda yang harus menjadi orang tua tunggal karena ditinggal istri tercintanya yang meninggal saat melahirkan anaknya semata wayang.
Arjuna Dewanga awalnya mungkin tak pernah menduga ia akan menikah muda untuk kemudian menjadi orang tua tunggal. Ketika masih kuliah di Jogya Arjuna berpacaran dengan Keisha Maizuki, gadis Jepang yang sedang mengikuti program penelitian dan pertukaran mahasiswa di jurusan arkeologi FIB UGM. Sayangnya hubungan mereka tidak direstui oleh kedua orang tua mereka. Tidak ingin cinta mereka kandas mereka memutuskan untuk menikah dalam usia muda walau tanpa restu dari orang tua masing-masing.
Pernikahan mereka membuahkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Rajendra Mada Prawira atau kerap dipanggil Mada. Sayangnya Kiesha meninggal saat melahirkan Mada hingga akhirnya Juna harus sendirian mengurus putranya seorang diri dengan dibantu oleh dua orang pembantunya yang setia.
Sepeninggal istrinya, Juna memutuskan untuk tinggal di Jakarta bersama anak dan dua orang pembantunya. Karir Juna sebagai seorang apoteker melejit dan dengan usahanya sendiri ia menjadi eksekutif muda yang sukses yang dengan segala kesibukannya tetap memperhatikan Mada. Juna adalah sosok pria pekerja keras, dengan ketampanan dan kekayaannya ia banyak dikagumi para wanita. Namun tekad Juna sudah bulat, ia memilih tidak menikah dan mengurus Mada sendirian. Ia memilih menjadi seorang ayah sekaligus Ibu yang mencintai dan membesarkan Mada dengan cintanya yang tiada berakhir.
Novel ini menceritakan dengan detail bagaimana Juna membesarkan anaknya mulai dari bayi hingga beranjak remaja dengan segala suka duka dan tantangan-tantangan yang dihadapi seperti bagaimana menghadapi Mada yang sakit, mengantar Mada ke sekolah untuk memperingati hari Ibu, bagaimana Juna menghadapi perubahan- perubahan fisik dan cara berpikir Mada yang mulai menginjak remaja, hingga perjalanan napak tilasnya ke Jogya dan Solo bersama Mada untuk menjejaki tempat-tempat dimana Juna dan Keisha pernah menikmati kebahagiaan sebagai sepasang suami istri.
Tadinya saya mengira novel ini adalah novel yang mengharu biru dan sarat dengan drama romantik dari seorang ayah yang begitu menyangi anak semata wayangnya. Ternyata tidak. Kisah mengharukan baru akan kita temui di bab-bab terakhir novel ini ketika Mada terserang penyakit mematikan. Tidak banyak konflik yang terjadi di sepanjang novel yang terbagi dalam 46 bab ini. Kalaupun ada konflik antara tokoh-tokohnya semua terselesaikan dalam satu atau bebarapa bab yang dalam setiap babnya hanya menghabiskan 3-5 halaman saja.
Novel ini tidak sekedar menceritakan bagaimana suka duka seorang ayah membesarkan anak semata wayangnya seorang diri dan gambaran cinta seorang ayah terhadap anaknya saja namun novel ini juga kaya dengan muatan-muatan ensiklopedis tentang banyak hal yang membuat pembaca terbuka wawasannya baik secara filosofis maupun pengetahuan.
Seiring perjalanan tokoh Juna dengan Mada yang merupakan tokoh sentral dalam novel ini, penulis memasukkan banyak sekali ragam pengetahuan bagi pembacanya mulai dari filosofi elang dan filosifi baju tradisional Jawa, kota buku Jimbocho dan perayaan Hanami di Jepang, perjalanan sebuah grup band rock, keraton Pakubuwana, sejarah warung angkringan sego kucing, candi sukuh, prambanan dengan sendratari Ramayana, profil Gajah Mada, dan masih banyak lagi.
Ragamnya muatan enskiklopedis dalam novel ini di satu sisi memang dapat menambah wawasan pengetahuan pembacanya namun di sisi lain dapat membuat alur cerita dari novel ini menjadi tersendat karena adanya paragraf-paragraf yang menjelaskan tentang hal-hal di atas. Bagi mereka yang menyukai kisah dengan alur kisah yang mengalir dan dramatik kehadiran muatan ensiklopedis dalam novel ini dapat dianggap sebagai hal yang cukup mengganggu.
Sebaliknya bagi mereka yang menyukai novel yang tidak hanya menyuguhkan sebuah drama kehidupan semata novel ini dapat menjadi pilihan terbaik. Kisah dengan muatan budaya, filosofi, sejarah, dan pengetahuan dalam buku ini membuat novel ini sangat baik dibaca oleh para pelajar atau siapa saja dan memiliki rentang keterbacaan yang panjang mulai dari usia remaja hinga dewasa.
Yang menjadi ganjalan bagi saya di novel ini adalah adanya beberapa adegan merokok yang dilakukan Juna, jika adegan merokok itu dideskripsikan ketika Juna seorang diri, atau bersama teman-temannya mungkin tidak terlalu masalah, tapi sayangnya yang dideskripsikan adalah adegan Juna merokok di depan istrinya yang sedang hamil, dan di depan anaknya yang masih remaja. Bahkan ada satu adegan ketika Juna dan Mada berada dalam perpustakaan pribadinya Tentunya merokok dalam satu ruangan baik itu bersama istri yang sedang hamil atau dengan anak bukanlah tindakan yang baik untuk kesehatan si istri dan anak.
Satu hal lagi seperti luput dari penceritaan penulis adalah tentang kayakinan Juna dan Keisha yang pada dasarnya berbeda budaya . Dalam hal ini penulis tidak menceritakan apakah mereka sedari awal memang memiliki satu keyakinan/agama? penulis hanya menceritakan bahwa mereka melakukan akad nikah di sebuah masjid kecil di Semarang. Jika memang sudah satu keyakinan sebaiknya ada sedikit penjelasan yang melatari bagaimana Keisha seorang gadis Jepang menjadi seorang muslim mengingat tidak banyak orang Jepang yang menganut agama Islam.
Namun terlepas dari semua itu novel ini mendapat sambutan yang baik dari pembacanya. Menurut penulisnya dua minggu sejak diluncurkan novel ini telah dicetak ulang dua kali dan telah dicetak sebanyak 10 rb eks, dan kabarnya novel ini juga mulai dilirik para filmmaker untuk diangkat ke layar lebar.
Yang pasti kisah dalam novel ini membuat kita memahami akan arti kesendirian, kesetiaan,hubungan antara ayah dan anak, pengorbanan, perjuangan hidup, dan cinta ayah yang tak akan pernah berakhir pada anaknya. Dan muatan ensiklopedisnya membuat novel ini menjadi novel yang memberi banyak pengetahuan kepada pembacanya
Dan akhir kata, seperti yang diungkap penulis buku ini kepada harian Media Indonesia bahwa novel ini akan mengingatkan kita semua bahwa pada saatnya manusia memang harus sendiri.
"Karenanya jangan menggantungkan diri pada siapa pun, Semua harus dihadapi sendiri, mandiri, tetapi juga bisa memberi. Kita lahir sendiri, kembali kepada-Nya pun sendiri. Artinya, bersiaplah selalu bertanggung jawab atas kehidupan kita sampai nanti"
@htanzil
cermati penggalan resensi buku berikut !
ReplyDelete1)NOVEL ayah, menyangimu tanpa akhir ini bertema sosial keluarga. 2)novel karya ketujuh dari kirana kajora ini menampilkan tokoh utama juna sebagai orang tua tungga bagi mada, anak lelaki satu-satunya. 3)kepergian sang istri adalah sebuah kenyataan.toko juna harus melakukan hidup dan membesarkan anaknya. 4)di sinilah kisah ini menjadi menarik, seorang ayah merangkap menjadi seorang ibu. 5)secara keseluruhan ceritanya menarik, ada pesan moral yang bisa diambil 6) novel ini juga mengajarkan kita akan berharganya waktu. 7) dari segi ejaan dan bahasa, terdapat kata-kata yang menggunakan bahasa daerah, menggunakan kosakata asing tanpa terjemahan, dan ada kata-kata sering diulang. 8)selain itu, sampul novel ini terkesan kurang menarik karena pewarnaanya kurang tajam.
Penyataan yang menyatakan keunggulan buku terdapat pada kalimat berangka?