Judul Buku : Pohon Buku di Bandung - Sejarah Kecil Komunitas Buku di Bandung 2000-2009
Penulis : Deni Rachman
Penerbit : MenaraAPI
Cetakan : 1, Des 2018
Tebal : 120 hlm
Bandung yang kini selalu dikenal dengan wisata fashion dan kuliner ternyata memiliki sejarah perbukuan yang panjang. Dinamika perbukuan di kota Bandung terus mengalami pasang dan surut dan nyaris luput dari catatan sejarah kotanya.
Nyaris tidak pernah ada yang mencatat gerakan perbukuan dan komunitasnya di Bandung dalam sebuah buku hingga akhirnya di akhir tahun 2018 yang baru saja kita lewati terbitlah Pohon Buku Bandung, Sejarah Kecil Komunitas Buku di Bandung 2000-2009 yang ditulis oleh Deni Rachman, salah satu pegiat literasi di era 2000-an yang hingga kini masih setia bergelut dengan dunia buku dan literasi.
Mengambil analogi sebuah pohon, penulis mengamati masa tanam satu dasawarsa perbukuan. Dimulai dari 'kultur tanah dan akar' pascareformasi 98 yang menjadi lahan subur untuk bertumbuhnya 'pohon buku' di Bandung, hal ini ditandai dengan munculnya toko-toko buku alternatif berserta kantong-kantong literasi di berbagai sudut kota yang didukung oleh kebebasan berkumpul, berpendapat, dan mencari informasi
Buku ini berisi 26 tulisan yang bisa dibagi dalam 3 tema utama yaitu Toko Buku alternatif dan komunitas baca, perpustakaan, dan pelaku perbukuan. Dimulai dengan tulisan berjudul Bandung dan Buku, penulis merilis daftar toko buku yang pernah ada di tahun 1954 dan toko-toko buku umum dan alternatif di Bandung tahun 2000-2009. Tidak hanya berupa daftar toko buku, penulis juga menulis profil toko-toko buku alternatif berbasis komunitas buku
Pada tulisan berjudul Bandung Kota Buku yang terlupakan kita memperoleh informasi bahwa pada awal abad ke-20 Bandung terukir dalam sejarah sebagai kota berbasis percetakan. Di masa itu tercatat ada dua pecetakan milik pribumi Bandung, salah satu diantaranya adalah Toko Tjitak Affandi (1930) dan sat percetakan milik Indo-Eropa bernama G. Kolff & Co.
Sedangkan toko-toko buku yang terkenal saat itu antara lain toko buku Prawirawinata, toko buku Pribumi pertama di Jalan Oude Hospitalweeg (sekarang Lembong), toko buku Van Drop (sekarang Landmark) di jl Braga, Toko Buku Visser dan Vorkink di jalan Asia Afrika. Selain itu kota Bandung di tahun 1924 juga dilengkapi dengan Perpustakaan "Centralle Bibliotheek" di area Gedung Sate yang memiliki buku tehnik dan umum terlengkap kedua setelah perpustakaan pusat di Batavia. Di. Perpustakaan ini kabarnya tersimpan buku antik karya Georf Ebenhard Rumph yang hanya dicetak 3 ekslempar saja.
Untuk pelaku perbukuan di Bandung penulis menyuguhkan hasil wawancaranya dengan nama-nama yang tidak asing di kalangan dunia literasi Bandung yang ikut membuat pohon buku di Bandung semakin membesar antara lain Ajip Rosidi, Haryoto Kunto (penulis legendaris buku--buku Bandung), Tarlen Handayani (Tobucil) yang bisa dikatakan sebagai perintis toko buku alternatif di Bandung, Bilven 'Sandalista' Gultom (Ultimus), Didin Tulus sang legenda pameran buku yang selalu berkiprah di setiap pameran buku di Bandung, Dadi Pakar (penggagas pemeran buku IKAPI pertama di Bandung), Soeria Disastra (penggerak sastra Tionghoa di Bandung), dll.
Selain pelaku buku ada juga profil tentang perpustakaan dan toko buku alternatif, toko buku online, dan komunitas buku yang melegenda baik yang saat ini sudah tidak ada maupun yang masih bertahan antara lain Rumah Buku (sekarang Kinereku), Das Mutterland yang fokus pada karya sastra Jerman, Ommunium yang menggabungkan antara toko buku dan distro, Klab Membaca Pramodedya, dll.
Beberapa pameran dan kegiatan perbukuan juga diulas di buku ini antara lain pemeran dan festival buku Stock Buku Bandung (5-8 Juni 2006), pasar buku Sabuga (7-14 Okt 2006), Books Day Out (2009) dll. Selain itu ada juga laporan pandangan mata penulis ketika terjadi peristiwa pembubaran Diskusi Filsafat Marxisme di toko Buku Ultimus pada 14 Desember 2006 yang kebetulan saat itu penulis bersama rekannya hadir di lokasi.
Sebagai penutup buku ini diakhiri dengan Kronik Buku di Bandung 2000-2009 yang mendata aktifitas perbukuan dan literasi di Bandung misalnya pameran, diskusi, worskop, peluncuran buku hingga peristiwa kebakaran pasar buku Palasari Bandung dan pembubaran diskusi filsafat Marxisme di Toko Buku Ultimus Bandung.
Sebagai sebuah buku yang merekam jejak dunia buku dan komunitas buku di Bandung dari awal bertumbuhnya hingga mencapai puncaknya selama satu dasawarsa buku ini patut diapresiasi karena buku ini menggambarkan bagaimana suasana perbukuan pada masa itu.
Yang sedikit disayangkan pada buku ini selain cetakan foto-foto yang kurang maksimal adalah tidak adanya kondisi terkini mengenai komunitas atau toko-toko buku alternatif yang dibahas di buku ini. Mengingat ada jarak satu dasawarsa lagi dari ketika pohon buku tumbuh subur hingga kini tentunya ada komunitas atau toko buku yang masih bertahan dan ada pula yang tinggal kenangan.
Tentunya akan lebih informatif jika dibagian akhir tiap bahasan penulis melaporkan kondisi terkininya. Jika toko buku atau komunitas itu sudah tidak ada bagaimana dengan orang-orang yang pernah mengelolanya saat ini? Intinya karena sebagian besar tulisan-tulisan dalam buku ini dibuat hampir satu dasawarsa yang lalu akan lebih informatif jika penulis meng-update kondisi terkini di setiap akhir tulisannya.
Terlepas dari hal diatas semoga kehadiran buku ini dapat menjadi pupuk yang subur bagi tumbuhnya kembali pohon buku di Bandung. Semoga buku ini dapat menjadi pemicu kembalinya komunitas-komunitas buku yang dulu pernah semarak sehingga cita-cita Bandung sebagai kota Buku yang pernah didengungkan oleh Ridwan Kamil, Wali Kota Bandung prd 2013-2018 dapat terwujud.
Jika dilihat dari sisi historisnya Bandung memang layak disebut kota buku, namun sayangnya kini geliat perbukuan di Bandung semakin meredup. Akankah gairah perbukuan di Bandung kembali tumbuh, dapatkah pohon buku di Bandung tumbuh kembali dengan subur ditengah semaraknya pertumbuhan dunia fashion dan kulinernya?
@htanzil
No comments:
Post a Comment