[No.400]
Judul : Sumur
Penulis : Eka Kurniawan
Desain sampul & ilustrasi : Umar Setiawan
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : 2021
Tebal : 48 hlm
ISBN : 978-602-065324-2
Air adalah salah satu sumber kehidupan yang tidak tergantikan. Manusia tidak dapat hidup tanpa air. Kita akan melakukan apapun, bahkan rela berkorban untuk memperoleh air entah itu untuk minum atau untuk melakukan berbagai aktivitas keseharian kita, apalagi bagi mereka yang usaha/pekerjaannya sangat bergantung akan ketersediaan air.
Dalam cerpen panjang Sumur karya Eka Kurniawan ini air menjadi sumber konflik yang menyebabkan dua sahabat menjadi dua seteru. Dikisahkan sejak kecil Toyib dan Siti bersahabat, demikian juga dengan kedua orang tua mereka. Ayah Toyib bersahabat dengan Ayah Siti. Sayangnya karena berebut air dari mata air yang mulai seret airnya karena kemarau yang berkepanjangan membuat persahabatan antara ayah Toyib dan ayah Siti berakhir dengan tragis.
Sengketa air berujung pada sebuah duel diantara mereka yang membuat nyawa Ayah Siti melayang, sementara Ayah Toyib harus mendekam di penjara untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya.
Tragedi ini membuat persahabatan antara Toyib dan Siti seakan membeku. Mereka tidak pernah lagi bertemu. Empat tahun kemudian ketika ayah Toyib bebas dari penjara, untuk menebus rasa bersalahnya terhadap sahabatnya, Ayah Toyib menitipkan sejumlah uang yang didapat dari jasa bengkel yang dilakukannya selama di penjara kepada Toyib untuk diserahkan ke keluaga Siti.
Toyib tak dapat menolak permintaan ayahnya. Pada ayahnya Toyib tak bisa mengatakan bahwa ia tak lagi berteman dan berbicara lagi dengan Siti. Meskipun begitu Toyib bersedia untuk membawa uang itu untuk diberikan pada ibunya Siti.
Saat itu mata air dan paritnya yang menjadi sengketa antara ayah Toyib dan ayah Siti sudah mengering. Satu-satunya sumber air yang tersisa hanyalah sebuah sumur di sebuah lembah di balik bukit kecil di seberang perkampungan mereka. Setiap hari Toyib dan Siti mengambil air di sumur tersebut, namun selama ini Toyib sengaja menghindar untuk bertemu Siti hingga akhirnya ia memberanikan diri menemui Siti di sumur untuk menyampaikan uang titipan ayahnya.
Pertemuan yang canggung dan kaku. Siti menolak untuk menerima uang tersebut. Sepulang dari sumur, Siti terjatuh. Toyib menolongnya, namun hubungan mereka tidak menjadi pulih. Walau demikian semenjak peristiwa itu Toyiblah yang setiap hari mengambilkan air untuk keluarga Siti. Namun Siti tetap tidak mau menemuinya. Ia hanya mengintip dari dalam rumahnya ketika Toyib menuangkan air sumur ke tempat penampungan air di rumah Siti. Ssuatu saat Toyib menyadari bahwa tidak ada lagi mata Siti yang mengawasinya dari celah bambu di rumahnya.
Toyib dan Siti terpisah oleh jarak. mereka menjalani pahit getir kehidupannya masing-masing. Setelah sekian lama mereka tidak saling bertemu akhirnya takdir mempertemukan mereka kembali dalam sebuah pertemuan yang canggung di sumur yang sama seperti yang pernah mereka lakukan di tahun-tahun yang lampau.
Cerpen panjang Sumur adalah sebuah kisah yang muram sejak awal hingga akhir, namun bukan berarti cerpen ini menjadi tidak menarik. Kisah Toyib dan Siti dituturkan dengan kalimat-kalimat lugas dan padat. Tak ada kalimat yang mendayu-dayu untuk melukiskan kehidupan muram para tokoh-tokohnya. Dibalik kemuraman kisahnya tampaknya ada maksud yang hendak disampaikan oleh penulisnya yaitu bagaimana perubahan iklim menyebabkan lingkungan alam yang berubah. Perubahan yang tidak hanya berdampak luas pada kehidupan masyakat secara umum melainkan berdampak baik secara fisik maupun psikis pada entitas yang terkecil yaitu individu-individu dalam keluarga.
Kisah sumur merupakan karya Eka Kurniawan yang awalnya ditulis dalam bahasa Inggris dengan judul The Well yang dimuat dalam buku Tales of Two Planets: Stories of Climate Change and Inequality in a Divided World [Kisah Dua Planet: Cerita-Cerita tentang Perubahan Iklim dan Kesenjangan dalam Satu Dunia yang Terbelah] yang diterbikan oleh penerbit terknal, Penguin Books, 2020. Buku setebal hampir 300 halaman itu memuat esai, cerpen, dan puisi 36 penulis dari berbagai negara dengan tema perubahan iklim dan kesenjangan.
Sesuai dengan dimana cerpen Sumur ini dimuat, penulis melatari kisah Toyib dan Siti dengan dampak peruibahan iklim yang ada di kampung mereka dengan sangat baik. Mata air yang tadinya mengalir deras untuk mengairi sawah dan berbagai keperluan hidup penduduk desa lambat laun menjadi semakin kecil alirannya dan mengering.
Mata air tak juga kembali. Kemarau
lebih panjang dari musim penghujan yang sesingkat hidup bunga malam. Bebukitan
tak hanya semakin cokelat, tapi juga semakin gersang. Para cukong datang dan
membujuk para penduduk kampung menjual kayu-kayu yang tesisa, dan itu berarti
uang yang mudah didapat. Pohon-pohon menghilang, dan itu membuat air semakin
sulit. Karena air semakin sulit, pohon-pohon semakin enggan bertunas. Tak
seorang pun termsuk Toyib mengerti bagaimana memotong lingkaran itu, hingga
akhirnya tak ada lagi yang bertanya
(hlm 34)
Kampung tersebut menjadi tidak lagi memiliki masa depan yang pasti, anak-anak muda terpaksa harus ke kota untuk mencari penghasilan. Ternyata di kota, di daerah-daerah yang padat dengan pemukiman penduduk air pun sama langkanya. Hal ini tergambar ketika penulis menceritakan kehidupan salah satu tokohnya.
Pengantin baru itu tinggal di rumah petak yang hanya terdiri dari satu kamar, satu ruang tamu merangkap tempat menyimpan berbagai perkakas dapur, serta jamban kecil yang airnya harus beli dari pikap penjual air dalam ember besar. Mereka memang bisa menanam pompa air menembus bumi, dan mungkin tak perlu sedalam sumur di kampung, tetapi air yang yang keluar butek dan sedikit berbau, mereka hanya menggunakannya untuk mencuci piring. (hlm 37)
Pada intinya cerpen ini adalah cerpen yang menggambarkan tentang perubahan iklim yang dibalut dengan drama kisah cinta antar tokohnya yang menarik. Jadi lewat cerpen ini kita akan mengetahui bagaimana dampak perubahan iklim mempengaruhi lingkungan manusia ke kehidupan individu-individu yang ada di cerpen ini.
Walau cerpen ini berisi pesan dampak perubahan iklim terhadap lingkungan namun kekuatan kisah yang dibangun oleh penulisnya membuat pembaca tidak seperti dikuliahi pesan-pesan bertema lingkungan namun terhanyut dalam kisah Toyib dan Siti yang muram.
Sebagai sebuah cerpen, buku ini dikemas dengan sangat menarik. Jika biasanya cerpen dimuat dalam sebuah antologi bersama cerpen-cerpen lainnya, lain halnya dengan karya ini. Penerbit memilih untuk menerbitkannya dalam sebuah buku yang hanya berisi satu cerpen saja setebal 48 halaman dengan ukuran buku lebih kecil dari ukuran buku normal.
Buku kecil dan tipis mungkin tidak akan menarik perhatian, namun tidak dengan buku ini. Karena disajikan dengan cover yang menarik dan dikemas dalam sebuah amplop yang ilustrasinya sama dengan covernya, ditambah beberapa ilustrasi hitam putih yang dilukis dengan detail ditambah ketenaran penulisnya membuat buku ini menjadi buku yang layak untuk dikoleksi.
Sebuah pesan menarik dari penerbit di pembatas buku ini juga menambah daya tarik tersendiri. Mengajak pembaca untuk memiliki buku ini karena hanya akan dicetak sekali sehingga akan menjadi buku langka.
@htanzil
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete