Monday, September 25, 2006

The Namesake


Judul : The Namesake
(Makna Sebuah Nama)
Penulis : Jhumpa Lahiri
Penerjemah : Gita Yuliani K
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Agustus 2006
Tebal : 336 hlm; 23 cm
Harga : Rp. 42.000,-


The Namesake, sebuah kisah menarik yang mengambil tema besar persoalan identitas. Novel ini mengisahkan kehidupan dua generasi keluarga Benggali yang bermukin di Amerika Serikat. Generasi pertama diwakili oleh pasangan Ashoke Gangali dan Ashima, generasi kedua diwakili oleh anak pertama mereka, Gogol. Kisahnya membentang sepanjang tiga dekade, sejak tahun 1968 hingga 2000.

Novel ini dibuka dengan peristiwa-peristiwa menjelang kelahiran anak pertama pasangan Ashoke dan Ashima Gangali di Amerika Serikat. Sesuai dengan tradisi keluarga, nenek Ashimalah yang akan memberi nama pada bayi mereka, karenanya mereka sepakat untuk menunda memberi nama bayi hingga surat sang nenek yang berada di Calluta datang. Nenek Ashima mengeposkan suratnya sendiri. Surat itu berisi satu nama bayi laki-laki, satu nama bayi perempuan. Tak seorangpun tahu apa yang ditulis oleh sang Nenek.

Malangnya ketika Ashima sudah melahirkan, surat berisi nama bayi itu belum mereka terima. Bahkan hingga tiba saat Ashima dan bayinya harus dibawa pulang ke rumah, surat berisi nama pemberian tersebut tidak pernah datang. Hingga Nenek Ashima hilang ingatan dan meninggal dunia, surat tersebut tak pernah sampai.

Keharusan untuk memberi nama bayi sebelum pulang oleh petugas catatan sipil di rumah sakit tiba-tiba dalam benak Ashoke muncul sebuah nama untuk putranya. “Gogol”.
Seketika itu juga dicatatlah bayi pasangan Ashoke dan Ashima dengan nama Gogol Ganguli , nama yang aneh dan tak lazim bagi keluarga Bengali.

Sebenarnya bukan tanpa alasan Ashoke memberi nama Gogol pada anaknya, nama ini dipilihnya karena ada dua hal bersejarah dalam hidupnya. Pertama, Gogol adalah kependekan dari Nikolai Gogol, pengarang Rusia yang amat dikaguminya. Kedua, nama itu mengingatkan dirinya akan sebuah trauma bagi Ashoke yang kelak akan mengubah jalan hidupnya.

Di usianya yang ke 22 Ashoke mengalami kecelakaan kereta api yang menyebabkan dirinya hampir mati. Tubuhnya yang terhimpit diantara mayat-mayat korban kecelakaan kereta nyaris tak tertolong jika saja ia tak sedang memegang robekan buku kumpulan cerpen Nikolai Gogol yang sedang ia baca. Regu penolong menemukan dirinya ketika ia sedang melambai-lambaikan tangannya bersama robekan buku tersebut.

Nyawanya tertolong, walau kakinya menjadi cacat dan meninggalkan trauma yang dalam pada dirinya. Setelah sembuh dari sakitnya, Ashoke terinpirasi oleh Nikolai Gogol yang berkelana ke Eropa hinga Palestina dalam upaya mencari jati diri. Ia pun berkelana menuju Amerika untuk menyembuhkan trauma akibat kecelakaan yang hampir merengut nyawanya.

Keputusannya untuk pergi ke AS memang mengubah jalan hidupnya. Dan dari sinilah kisah ini mengalir antara Cambridge, Boston, New York, dan Calcutta. Ashoke menikah dengan Ashima dan memiliki dua orang anak, Gogol dan Sonia.

Kelak ketika sudah mulai dewasa Gogol membenci namanya. Baginya namanya aneh, absurd, dan sama sekali bukan nama Amerika apalagi India. Ia tahu bahwa namanya terinspirasi dari nama salah seorang penulis Rusia, namun ia menyesalkan mengapa ayahnya tidak memberinya nama depan penulis Rusia lain seperti Anton atau Leo. Kekecewaan terhadap namanya bertambah ketika ia mengetahui riwayat hidup Nikolai Gogol yang akhirnya depresi dan sakit jiwa hingga meninggalnya. Ketika ayahnya menjelaskan bahwa dirinya pernah diselamatkan oleh buku karya penulis Rusa itu, cerita itu tak membuat Gogol menyukai namanya.

Nama Gogol yang dibencinya itu disandangnya sebagai nama panggilan dan nama resmi di berbagai dokumen penting. Sesaat sebelum memasuki bangku kuliah, atas seijin orang tuanya, Gogol mengajukan permohonan untuk mengganti nama resminya dari Gogol menjadi Nikhil. Nama Nikhil ini pernah diberikan ayahnya ketika ia mendaftarkan Gogol ke TK. Bagi Gogol nama Nikhil lebih terdengar umum karena bisa dipanggil “Nick”, nama yang umum di Amerika. Semenjak itu namanya resmi menjadi Nikhil dan mulailah Gogol menjalani kehidupannya dengan nama barunya.

Berbagai peristiwa yang dialami Gogol terungkap dalam novel ini, konflik-konflik bermunculan ketika ia mulai berkencan dengan beberapa teman wanitanya. Selain konflik batin dengan dirinya sendiri dan pasangannya yang selalu berakhir dengan kegagalan, hubungan Gogol dan keluarganya juga menjadi jauh hingga akhirnya kematian Ashoke mendekatkan kembali dirinya dengan keluarganya. Rangkaian peristiwa-peristiwa ini kelak akan membentuk Gogol, mengubahnya, dan menentukan siapa dirinya sesungguhnya.

Walau tokoh utama dalam novel ini adalah Gogol, kehadiran tokoh-tokoh lain seperti Ashoke, Ashima, Sonia, Moushomi, dll, disajikan sesuai dengan porsinya masing-masing sesuai dengan tuntutan cerita. Perpindahan cerita dari satu tokoh ke tokoh lainnya pun tersaji dengan lancar sehingga tak membingungkan pembacanya. Selain itu kedalaman dalam mendeskripsikan satu persatu tokoh-tokoh dalam novel ini baik fisik maupun pikiran mereka, ditambah infromasi mengenai budaya masyarakat India di Amerika membuat kisah ini menjadi kaya akan informasi.

Melalui novel ini juga pembaca seakan diajak menyelami kehidupan keluarga imigran India di AS. Walau sudah tinggal dan menetap sekain lama di Amerika mereka tetap melakukan ritual sehari-hari yang biasa mereka lakukan di tanah kelahiran mereka, begitu pula dengan tradisi tahunan yang berlatarkan agama Hindu. Hal-hal tersebut kerap dilakukan oleh masyarakat Bengali yang lahir di India dan menetap di Amerika seperti halnya Ashoke dan Ashima. Mulai dari pakaian Ashima yang selalu mengenakan sari, memasak makanan India, pertemuan rutin sesama keluarga Bengali, dll. Dengan demikian, walau mereka sudah berwarga negara Amerika akar budaya India tetap melekat dalam diri mereka.

Tidak demikian halnya dengan generasi pertama India yang lahir dan besar di Amerika seperti halnya Gogol. Dalam novel ini Gogol dikatakan sebagai salah satu di antara banyak orang India beridentitas ganda di Amerika yang dijuluki ABCD (American Born Confused or Conflicted). Walau kultur India mau tak mau melekat dalam darahnya, Gogol merasa bahwa ia orang Amerika, perilakunya baik dalam sekolah, mencari hiburan, maupun mencari teman kencan, semua menunjukkan bahwa ia memang orang Amerika. India hanya dikenal sebagai tanah leluhur lewat makanan, tradisi yang dilakukan oleh kedua orang tuanya dan kunjungannya beberapa kali ke Callcuta.

Melalui Gogol maka Ashoke dan Ashima melihat bagaimana benturan-benturan budaya harus mereka hadapi, Gogol yang hidup dalam ke-Amerikaannya selalu menjaga jarak dari asal-usulnya, untunglah orang tuanya selalu berupaya menjembatani jarak tersebut sebaik mungkin.

Sebenarnya tema dan alur cerita dalam novel ini sangatlah sederhana dan tak berbelit-belit. Semua mengalir dengan lancar, tak ada plot yang mengagetkan, nyaris tak ada klimaks. Semua peristiwa demi peristiwa tersaji wajar dan mengalir bergitu saja. Walau banyak terdapat kilas balik di tengah-tengah cerita namun perpindahannya tersaji secara tepat sehingga tidak mengganggu keasyikan membaca.

Novel ini sepertinya dibuat untuk memberikan kenikmatan membaca novel pada para pembacanya. Tak ada kalimat-kalimat rumit atau metafora-metafora yang berlebihan, semua disajikan dengan gaya bercerita yang sederhana namun kaya akan detail yang membuat pembacanya merasa sangat ‘dekat’ dengan apa yang diungkap oleh novel ini. Walau bukan bacaan ‘berat’ novel ini tetap memiliki bobot sastra.

Dari segi terjemahan tampaknya novel ini diterjemahkan dengan baik sehingga kekuatan dan kekhasan penulis dalam merangkai dan mendeskripsikan cerita dapat pula dirasakan melalui terjemahan novel ini.

The Namsake memang tak meraih penghargaan apapun dalam bidang sastra, namun bukan berarti novel ini tak terdengar gaungnya, buku ini sempat berada pada jajaran buku best seller di The New York Times selama beberapa minggu. Kabarnya novel ini tengah dibuat filmnya dan akan dirilis pada Maret 2007 di Amerika Serikat dan Inggris.




@h_tanzil

6 comments:

Anonymous said...

Kalau dibandingin dengan kumpulan cerita pendeknya, interpreter of maladies, the namesake memang tidak terlalu menggigit. Bagus sih...tapi itu, sudah terlanjur berharap banyak.

Duma said...

Aku sih yang pernah baca memang yang kumpulan cerpen itu, Interpreter of Maladies, diterjemahkan dengan judul Penafsir Kesedihan.
Sekarang ada keluar juga, diterbitkan dengan judul "Benua Ketiga dan Terakhir" yang diterbitkan Jalasutra.
Kalau buku yang aku baca itu sih (Penafsir Kesedihan) sama juga isinya dengan "Benua Ketiga dan Terakhir", tapi penerbitnya beda, Akubaca.

Wah, bagusan kumpulan cerpen nya yah?

Anonymous said...

aku belum pernah baca Maladies dan Bentua Ketiga dan tErakhir, banyak yg bilang Maladies lebih menggigit drpd Namesake. Tapi buatku Namesake sudah sangat memesona..entah kalau aku sudah bc Maladies...

tan_intan said...

bahkan gak tau kalo ada bukunya.. filmnya sih oke banget!

Anonymous said...

[URL=http://www.f3w.org][IMG]http://www.f3w.org/a.png[/IMG][/URL]

http://www.absolutepunk.net/journal.php?do=showcomments&j=29552&e=243832 creveIneraTah http://community.foxsports.com/hyzxxdcjc/blog/?pref_tab=kj3kja3k4 Enrickskics http://media0.webgarden.com/files/media0:4b2b250cedf62.html.upl/teen-anal.html prearmaBoanna

Verbarium said...

pernah baca bukunya gish jen "mona in the promised land".? ituu ada terjemahan tidak yah.?.