Judul : The Year of Magical Thinking
Penulis : Joan Didion
Penerjemah : Leinovar
Penerbit : Ufuk Press
Cetakan : I, Agustus 2006
Tebal : 254 hlm
Harga :
Hidup berubah cepat,
Hidup berubah seketika,
Kau duduk makan malam,
Lalu hidup yang kau jalani berakhir,
Kematian seseorang yang dikasihi adalah hal yang bisa menimpa siapa saja. Kapan waktunya masih merupakan misteri dan rahasia sang pemberi kehidupan. Kadang kita bisa menduga-duga jika orang yang kita kasihi itu telah menderita penyakit akut yang telah lama dideritanya, namun tak jarang kematiannya datang begitu tiba-tiba sehingga kita tak siap menerima kenyataan itu.
Joan Didion (74 thn), jurnalis dan penulis novel asal Amerika adalah salah satu diantara sekian banyak orang yang harus menerima kenyataan bagaimana kematian orang yang dikasihinya datang secara tiba-tiba tanpa ada tanda-tanda atau firasat apapun sebelumnya.
Beberapa hari menjelang Natal 2003, Joan Didion beserta suaminya yang juga seorang novelis : John Gregory Dunne baru saja menjenguk putri semata wayang mereka Quintana (36 thn) yang menderita pneunomia di Pusat Pengobatan Beth Israel di East End Avenue. Tak ada yang janggal dalam perjalanan pulang mereka menuju rumah. Setiba di rumah sementara John duduk di samping perapian sambil minum wiski, Didion sibuk menyiapkan makan malam untuk mereka berdua. Semua tampak normal. Mereka membicarakan berbagai topik yang ringan. Tiba-tiba tangan kiri John terangkat dan terkulai lemas. Awalnya Didion menyangka suaminya bercanda, namun segera ia mnyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan suaminya.
Setelah memanggil petugas paramedis, John segera dilarikan ke rumah sakit, malangnya nyawanya tak tertolong. John didiagnosa mendapat serangan jantung yang hebat yang menghantarnya pada kematian mendadak. Hal ini membuat kehidupan Didion berubah seketika. Bagaimana tidak, kebersamaan dengan John yang telah terbina dengan baik selama empat puluh tahun tiba-tiba terhenti seketika. Didion harus berjuang sendiri menghadapi kematian suaminya, sementara putri semata wayang mereka masih terbaring di ICU RS Beth Israel.
Empat minggu kemudian Quintana dinyatakan sembuh. Namun dua bulan sesudah itu, Quintana terjatuh ketika hendak bepergian bersama suaminya. Ia kemudian dibawa ke UCLA Medical Center dan harus menjalani pembedahan otak karena didiagnosa menderita penyakit hematoma yang parah. Ini berarti terdapat bekuan darah sehingga menyebabkan gangguan neurologis karena terjadi penekanan di otak.
Joan Didion kini hidup dalam kesendirian ditengah cobaan yang bertubi-tubi. Tahun-tahun ini disebutnya sebagai “The Year of Magical Thinking”, dimana ia menjalani kehidupannya dengan tabah sambil mencoba menapak kenangan manis yang pernah dilaluinya bersama John dan Quintana.
Pada tanggal 4 Oktober 2004, tepat sembilan bulan lebih lima hari setelah kematian sauminya Didion menggoreskan penanya untuk mencatat hari-hari terberat dalam hidupnya. Catatan-catatan inilah yang akhirnya diterbitkan pada tahun 2005 dengan judul “The Year of Magical Thinking”.
Walau tema utama memoar ini adalah kematian dan kedukaan, namun Didion menuliskannya tidak dengan cengeng. Mungkin saja isi buku ini tak memberikan ‘makna’ pada kematian suami dan anaknnya, tapi dengan gamblang buku ini menjelaskan efek yang ditimbulkan pada hati dan perasaan Didion, sehingga bisa dikatakan buku ini adalah buku yang jujur, jernih dan apa adanya. Dalam buku ini pembaca akan digiring untuk mengetahui apa yang ada dalam pikiran Didion saat berada dalam kabut kedukaan sekaligus memperlihatkan pada pembacanya akan apa yang hilang dari dirinya.
Pengalamannya sebagai jurnalis dan novelis senior membuat hal-hal yang dia alami sebelum dan setelah kematian John, maupun diskripsi mengenai penyakit dan penanganan medis terhadap John dan Quintana terurai secara detail dan kronologis melalui penyajian yang bersifat reportase. Alur cerita terus bergerak antara masa lalu dan masa kini sehingga pembaca memiliki gambaran yang utuh seperti apa keluarga Didion dan merasakan bagaimana pedihnya hubungan harmonis yang telah terbina selama 40 tahun itu tiba-tiba harus tercerabut dari kehidupannya.
Buku ini juga menyajikan bagaimana detailnya gambaran medis lengkap dengan istilah-istilah kedokteran yang bertaburan di lembar-lembar buku ini. Di satu sisi hal ini mungkin bermanfaat bagi pembaca yang mungkin pernah bersentuhan dengan pengobatan medis atau mereka yang berprofesi sebagai petugas medis, namun bagi pembaca awam hal ini bisa menjadi hal yang mengganggu kelancaran membacanya walau di halaman terakhir tersaji catatan penjelasan mengenai istilah-istilah medis yang terdapat di buku ini
Di halaman-halaman akhir ada sedikit yang mengejutkan yaitu dengan masuknya frasa mengenai Tusnami yang melanda pesisir Sumatera. Hal ini terungkap ketika suatu saat Didion membaca kembali novel pertamanya yang berjudul Democracy yang mengungkap mengenai gempa. “Aku membaca uraian tersebut setelah gempa berkekuatan 9.0 skala Richter mengguncang zona bawah laut Sumatera sepanjang enam ratus mil dan memicu tsunami yang menyapu bersih sebagian besar wilayah pesisir yang membatasi Samudera Hindia” (hal 239).
Pada akhirnya buku yang merupakan pengalaman nyata penulisnya yang sangat personal namun bersifat universal ini tentunya diharapkan dapat memberikan potret tentang sebuah keluarga yang harmonis yang keutuhannya secara tiba-tiba harus terpisah satu dengan lainnya karena kematian sehingga menyentuh setiap pembacanya yang diharapkan tak pernah berhenti mencintai suami atau istri atau anak mereka.
Tampaknya buku yang memprroleh penghargaan National Book Award 2005 dan Powell’s Pudly Award 2006 dan dinominasikan dalam National Book Critics Circle Awards untuk kategori nonfiksi ini memang sangat baik dibaca untuk mereka yang mungkin baru saja atau pernah mengalami kehilangan seseorang yang dikasihinya, atau setidaknya pengalaman Didion yang tertuang dalam buku ini akan menyadarkan orang akan arti kehilangan dan memberikan gambaran bagaimana pengaruh kehilangan bagi orang yang ditinggalkan oleh seseorang yang dicintainya.
Sedikit tentang Joan Didion
Bagi pembaca Indonesia nama Joan Didion (lahir 5 Desember 1943) mungkin masih terasa asing ditelinga. Tidak demikian dengan publik Amerika. Ia adalah penulis legendaris beberapa novel diantaranya ; Run, River (1963), Play It As It Lays (1970), A Book of Common Prayer (1977), Democracy (1984), The Last Thing He Wanted (1996), selain itu Didion juga kerap menulis beberapa tulisian non fiksi seperti kumpulan essai Slouching Towards Bethlehem (1968) and The White Album (1979), dll
Didion juga dikenal sebagai seorang jurnalis senior. Ia merupakan kontributor tetap The New York Review of Books dan The New Yorker. Bersama suaminya John Gregory Dunne (1932 – 2003) yang juga seorang penulis mereka berkoloborasi membuat beberapa naskah skenario film. Ia kini tinggal di New York City
The Year of Magical Thinking merupakan karya terbaru Didion. Buku ini diterbitkan pada Oktober 2005 yang lalu dan langsung mendapat respon yang baik dari para kritikus perbukuan Amerika, hal ini terbukti pada bulan November 2005, (satu bulan setelah bukunya terbit), buku yang dibaca oleh para ibu rumah tangga hingga ibu negara ini diganjar sebagai pemenang National Book Award 2005 untuk kategori non fiksi. Award ini merupakan salah satu penghargaan sastra terkemuka di Amerika, dimana pemenangnya memperoleh uang hadiah sebesar 10.000 dolar atau sekitar 100 juta rupiah dan sebuah patung kristal dari The National Book Foundation.
Dua minggu setelah buku ini selesai diekerjakan, putri semata wayang Didion, Quintana akhirnya meninggal dunia. The New York Times dalam reportasenya mengungkapkan bahwa Didion tak berniat merevisi atau mengubah bukunya setelah kematian putrinya. "It's finished," ujarnya.
@h_tanzil
Penulis : Joan Didion
Penerjemah : Leinovar
Penerbit : Ufuk Press
Cetakan : I, Agustus 2006
Tebal : 254 hlm
Harga :
Hidup berubah cepat,
Hidup berubah seketika,
Kau duduk makan malam,
Lalu hidup yang kau jalani berakhir,
Kematian seseorang yang dikasihi adalah hal yang bisa menimpa siapa saja. Kapan waktunya masih merupakan misteri dan rahasia sang pemberi kehidupan. Kadang kita bisa menduga-duga jika orang yang kita kasihi itu telah menderita penyakit akut yang telah lama dideritanya, namun tak jarang kematiannya datang begitu tiba-tiba sehingga kita tak siap menerima kenyataan itu.
Joan Didion (74 thn), jurnalis dan penulis novel asal Amerika adalah salah satu diantara sekian banyak orang yang harus menerima kenyataan bagaimana kematian orang yang dikasihinya datang secara tiba-tiba tanpa ada tanda-tanda atau firasat apapun sebelumnya.
Beberapa hari menjelang Natal 2003, Joan Didion beserta suaminya yang juga seorang novelis : John Gregory Dunne baru saja menjenguk putri semata wayang mereka Quintana (36 thn) yang menderita pneunomia di Pusat Pengobatan Beth Israel di East End Avenue. Tak ada yang janggal dalam perjalanan pulang mereka menuju rumah. Setiba di rumah sementara John duduk di samping perapian sambil minum wiski, Didion sibuk menyiapkan makan malam untuk mereka berdua. Semua tampak normal. Mereka membicarakan berbagai topik yang ringan. Tiba-tiba tangan kiri John terangkat dan terkulai lemas. Awalnya Didion menyangka suaminya bercanda, namun segera ia mnyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan suaminya.
Setelah memanggil petugas paramedis, John segera dilarikan ke rumah sakit, malangnya nyawanya tak tertolong. John didiagnosa mendapat serangan jantung yang hebat yang menghantarnya pada kematian mendadak. Hal ini membuat kehidupan Didion berubah seketika. Bagaimana tidak, kebersamaan dengan John yang telah terbina dengan baik selama empat puluh tahun tiba-tiba terhenti seketika. Didion harus berjuang sendiri menghadapi kematian suaminya, sementara putri semata wayang mereka masih terbaring di ICU RS Beth Israel.
Empat minggu kemudian Quintana dinyatakan sembuh. Namun dua bulan sesudah itu, Quintana terjatuh ketika hendak bepergian bersama suaminya. Ia kemudian dibawa ke UCLA Medical Center dan harus menjalani pembedahan otak karena didiagnosa menderita penyakit hematoma yang parah. Ini berarti terdapat bekuan darah sehingga menyebabkan gangguan neurologis karena terjadi penekanan di otak.
Joan Didion kini hidup dalam kesendirian ditengah cobaan yang bertubi-tubi. Tahun-tahun ini disebutnya sebagai “The Year of Magical Thinking”, dimana ia menjalani kehidupannya dengan tabah sambil mencoba menapak kenangan manis yang pernah dilaluinya bersama John dan Quintana.
Pada tanggal 4 Oktober 2004, tepat sembilan bulan lebih lima hari setelah kematian sauminya Didion menggoreskan penanya untuk mencatat hari-hari terberat dalam hidupnya. Catatan-catatan inilah yang akhirnya diterbitkan pada tahun 2005 dengan judul “The Year of Magical Thinking”.
Walau tema utama memoar ini adalah kematian dan kedukaan, namun Didion menuliskannya tidak dengan cengeng. Mungkin saja isi buku ini tak memberikan ‘makna’ pada kematian suami dan anaknnya, tapi dengan gamblang buku ini menjelaskan efek yang ditimbulkan pada hati dan perasaan Didion, sehingga bisa dikatakan buku ini adalah buku yang jujur, jernih dan apa adanya. Dalam buku ini pembaca akan digiring untuk mengetahui apa yang ada dalam pikiran Didion saat berada dalam kabut kedukaan sekaligus memperlihatkan pada pembacanya akan apa yang hilang dari dirinya.
Pengalamannya sebagai jurnalis dan novelis senior membuat hal-hal yang dia alami sebelum dan setelah kematian John, maupun diskripsi mengenai penyakit dan penanganan medis terhadap John dan Quintana terurai secara detail dan kronologis melalui penyajian yang bersifat reportase. Alur cerita terus bergerak antara masa lalu dan masa kini sehingga pembaca memiliki gambaran yang utuh seperti apa keluarga Didion dan merasakan bagaimana pedihnya hubungan harmonis yang telah terbina selama 40 tahun itu tiba-tiba harus tercerabut dari kehidupannya.
Buku ini juga menyajikan bagaimana detailnya gambaran medis lengkap dengan istilah-istilah kedokteran yang bertaburan di lembar-lembar buku ini. Di satu sisi hal ini mungkin bermanfaat bagi pembaca yang mungkin pernah bersentuhan dengan pengobatan medis atau mereka yang berprofesi sebagai petugas medis, namun bagi pembaca awam hal ini bisa menjadi hal yang mengganggu kelancaran membacanya walau di halaman terakhir tersaji catatan penjelasan mengenai istilah-istilah medis yang terdapat di buku ini
Di halaman-halaman akhir ada sedikit yang mengejutkan yaitu dengan masuknya frasa mengenai Tusnami yang melanda pesisir Sumatera. Hal ini terungkap ketika suatu saat Didion membaca kembali novel pertamanya yang berjudul Democracy yang mengungkap mengenai gempa. “Aku membaca uraian tersebut setelah gempa berkekuatan 9.0 skala Richter mengguncang zona bawah laut Sumatera sepanjang enam ratus mil dan memicu tsunami yang menyapu bersih sebagian besar wilayah pesisir yang membatasi Samudera Hindia” (hal 239).
Pada akhirnya buku yang merupakan pengalaman nyata penulisnya yang sangat personal namun bersifat universal ini tentunya diharapkan dapat memberikan potret tentang sebuah keluarga yang harmonis yang keutuhannya secara tiba-tiba harus terpisah satu dengan lainnya karena kematian sehingga menyentuh setiap pembacanya yang diharapkan tak pernah berhenti mencintai suami atau istri atau anak mereka.
Tampaknya buku yang memprroleh penghargaan National Book Award 2005 dan Powell’s Pudly Award 2006 dan dinominasikan dalam National Book Critics Circle Awards untuk kategori nonfiksi ini memang sangat baik dibaca untuk mereka yang mungkin baru saja atau pernah mengalami kehilangan seseorang yang dikasihinya, atau setidaknya pengalaman Didion yang tertuang dalam buku ini akan menyadarkan orang akan arti kehilangan dan memberikan gambaran bagaimana pengaruh kehilangan bagi orang yang ditinggalkan oleh seseorang yang dicintainya.
Sedikit tentang Joan Didion
Bagi pembaca Indonesia nama Joan Didion (lahir 5 Desember 1943) mungkin masih terasa asing ditelinga. Tidak demikian dengan publik Amerika. Ia adalah penulis legendaris beberapa novel diantaranya ; Run, River (1963), Play It As It Lays (1970), A Book of Common Prayer (1977), Democracy (1984), The Last Thing He Wanted (1996), selain itu Didion juga kerap menulis beberapa tulisian non fiksi seperti kumpulan essai Slouching Towards Bethlehem (1968) and The White Album (1979), dll
Didion juga dikenal sebagai seorang jurnalis senior. Ia merupakan kontributor tetap The New York Review of Books dan The New Yorker. Bersama suaminya John Gregory Dunne (1932 – 2003) yang juga seorang penulis mereka berkoloborasi membuat beberapa naskah skenario film. Ia kini tinggal di New York City
The Year of Magical Thinking merupakan karya terbaru Didion. Buku ini diterbitkan pada Oktober 2005 yang lalu dan langsung mendapat respon yang baik dari para kritikus perbukuan Amerika, hal ini terbukti pada bulan November 2005, (satu bulan setelah bukunya terbit), buku yang dibaca oleh para ibu rumah tangga hingga ibu negara ini diganjar sebagai pemenang National Book Award 2005 untuk kategori non fiksi. Award ini merupakan salah satu penghargaan sastra terkemuka di Amerika, dimana pemenangnya memperoleh uang hadiah sebesar 10.000 dolar atau sekitar 100 juta rupiah dan sebuah patung kristal dari The National Book Foundation.
Dua minggu setelah buku ini selesai diekerjakan, putri semata wayang Didion, Quintana akhirnya meninggal dunia. The New York Times dalam reportasenya mengungkapkan bahwa Didion tak berniat merevisi atau mengubah bukunya setelah kematian putrinya. "It's finished," ujarnya.
@h_tanzil
4 comments:
saya telah membeli dan membaca buku ini, salah satunya karena direkomendasikan oleh pak tansil..
tapi ternyata gak bagus, saya kurang puas sama buku ini ....
A sudden death of a love one is really very painful, no one and nothing can ease the pain that it causes. Only time would heal and tell of when is the best time to move on. By the time we are born we are already twined with death, and whether we accept it or not death is of those real things that would happen on our life.
Car Accident Solicitor
A sudden death of a love one is really very painful, no one and nothing can ease the pain that it causes. Only time would heal and tell of when is the best time to move on. By the time we are born we are already twined with death, and whether we accept it or not death is of those real things that would happen on our life.
Car Accident Solicitor
A sudden death of a love one is really very painful, no one and nothing can ease the pain that it causes. Only time would heal and tell of when is the best time to move on. By the time we are born we are already twined with death, and whether we accept it or not death is of those real things that would happen on our life.
Car Accident Solicitor
Post a Comment