Monday, February 27, 2006

Zahir


Judul : Zahir
Penulis : Paulo Coelho
Penerjemah : Andang H. Sutopo
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, 2006
Tebal : 440 hlm ; 20 cm

Beban menjadi seorang pengarang yang pernah melahirkan karya monumental sangatlah berat. Setiap karya berikutnya selalu menarik perhatian publik dan selalu diperbandingkan dengan karya monumentalnya. Paulo Coelho rupanya harus menerima kenyataan ini, setelah Sang Alkemis menjadi buku best seller dunia, dan diterjemahkan dalam 56 bahasa, setiap Coelho menerbitkan karya terbarunya orang cenderung bertanya-tanya "Apakah karya ini sebaik sang Alkemis?". Hal inilah yang rupanya akan terus menjadi pertanyaan abadi bagi publik dan tentunya akan memacu Coelho untuk melahirkan karya-karya terbaiknya, sebab jika tidak, hal ini akan menjadi bumerang bagi karier kepenulisannya.

Zahir yang merupakan karya teranyar dari Paulo Coelho seolah hendak membuktikan kekonsistennya dalam melahirkan karya-karya sebaik Sang Alkemis. Novel Zahir yang pertama kali diterbitkan oleh Harper Colins pada Sepetember 2005 telah mengungguli daftar Best Seller di Amerika Serikat. Sayang pencapaian untuk menembus angka-angka penjualan yang fantastis tersandung ketika Zahir dilarang beredar di Iran oleh Kementrian Kebudayaan Iran (BBC, 13 Mei 2005) dengan dalih popularitas Coelho dianggap berbahaya bagi masyarakat Iran.

Dalam Zahir yang banyak disebut-sebut sebagai novel semi-otobiografi, Coelho menulis tentang kisah seorang penulis besar yang berasal dari sebuah negara di Amerika Latin yang karyanya menjadi best seller dunia. Dari seluruh kisah hidup si penulis yang terungkap di novel ini akan nampak bahwa ciri-ciri tokoh ini mirip sekali dengan Coelho, Meski demikian cerita ini bukanlah kisah hidup Coelho yang sesungguhnya. Rupanya dalam Zahir Coelho hanya memasukkan karakter dirinya dan aktifitas kesehariannya sebagai penulis dalam diri tokoh utamanya.

Dikisahkan seorang penulis terkenal mendapati istrinya, Esther seorang wartawan perang, tiba-tiba saja menghilang secara misterius. Tak ada yang salah dalam pernikahan mereka, kedua-duanya saling mencintai bahkan Esther pulalah yang memotivasi suaminya dalam berkarya hingga melahirkan karya best seller dunia " Ada Waktu Untuk Merobek, Ada Waktu Untuk Menjahit". Ketiadaan istrinya tersebut membuat Esther menjadi Zahir/obsesi bagi si penulis untuk menemukannya kembali.

Hanya sedikit petunjuk yang diperolehnya dalam mencari Esther, beberapa orang mengatakan Esther kerap bertemu dengan seorang pemuda berkulit gelap dengan wajah ras Mongolia. Mereka berdua terlihat terakhir kali di sebuah kafe di Paris. Akhirnya si penulis berhasil menemui pemuda tersebut, Mikhail namanya, seorang pemuda yang berasal dari Kazakhstan. Mikhail mengetahui dimana Esther berada, namun hingga suatu saat tertentu ia belum juga memberitahukan dimana Esther berada sebelum ia mendapat bisikan dari "Sang Bunda" tokoh spritual yang dipercayainya dan memberinya misi untuk mewujudkan kekuatan Cinta bagi pembaharuan dunia.
Si penulis akhirnya mengikuti kemana Mikhail pergi. Pencarian sang penulis atas isitrinyapun dimulai. Si penulis dibawanya kedalam suatu pertemuan-pertemuan spiritual yang dipercaya Mikhael dan kelompoknya dapat mewujudkan misi "Cinta" yang ternyata awalnya dimotori oleh Esther. Melalui serangkaian pertemuannya dengan Mikhail si penulis mulai menelusuri kembali jejak kebersamaannya dengan sang istri, hal-hal yang terjadi dengan perkawinan mereka, hingga perpisahan itu. Tidak itu saja, pencarian Zahir ini membawa dirinya keluar dari dunianya yang aman dengan berkelana dari Amerika Selatan, Spanyol, Perancis, menapak pada jalur sutra hingga Kroasia dimana terdapat kawasan padang rumput di Kazakhstan dan mengenal cara hidup kaum nomaden. Perjalanan inilah yang akhirnya akan membawa si penulis melakukan perjalanan melintasi seluruh masa lalunya, melihat kesalahan yang ada pada dirinya, mengenal wanita yang dikawininya dan juga memperoleh pemahaman baru tentang hakikat cinta dan kekuatan takdir, dan juga kepekaan dan arti dalam mengikuti suara hati yang oleh Mikhail dikatakan suara dari "Sang Bunda"

Sama seperti novel-novel Coelho lainnya, kali ini Coelho pun menuturkan suatu cerita dengan gayanya yang kuat dan menawan yang sarat dengan kedalaman makna. Makna Zahir yang diambil dari cerpen Jorge Luis Borges ini digambarkan oleh Coelho sebagai sesuatu yang sekali disentuh atau dilihat tak bisa terlupakan, dan sedikit demi sedikit akan memenuhi seluruh pikiran kita, sehingga kita terjerumus pada kegilaan (hlm. 75). Melalui definisi Zahir ini pembaca disadarkan bahwa setiap orang memiliki Zahir-nya masing-masing, dan bila kita bisa menapakinya dengan benar maka zahir ini akan menjadi inspirasi, kekuatan dan energi hidup yang melahirkan kreatifitas-kreatifitas baru.

Selain sarat dengan makna, novel ini juga menyuguhkan sisi yang menghibur. Tokoh utama novel ini yang seorang pengarang terkenal membuat novel ini mengungkap bagaimana sebenarnya keseharian seorang penulis terkenal baik dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan para wartawan yang selalu menayakan hal yang itu-itu saja, pengalamannya dalam menandatangani buku-bukunya, gencarnya para kiritikus dalam mencerca novel-novelnya, dll, sehingga melalui novel ini pembaca memperoleh gambaran seperti apa rasanya menjadi seorang penulis terkenal.

Untaian kalimat-kalimat dialog penuh makna dalam Zahir bagi orang yang bisa memahaminya menjadikan novel ini novel yang menginspirasi dan menggugah pembacanya, namun bagi yang tidak terbiasa membaca novel-novel jenis ini, Zahir dengan ketebalan 440 halaman ini bisa menjadi novel yang membosankan dan menimbulkan tanda tanya besar "Apa sih yang dimaksud dengan novel ini?" sehingga mungkin saja pembaca akan mencampakkan novel ini sebelum selesai menamatkannya. Namun andai saja kita terus membaca dan mencoba memaknai novel dengan sabar hingga lembar –lembar terakhir, maka kita akan menemukan semua jawaban dari kebingungan kita terhadap novel ini

@h_tanzil

Tuesday, February 21, 2006

Brokeback Mountain


Judul : Gunung Brokeback
Judul Asli : Brokeback Mountain
Penulis : Annie Proulx
Penerjemah : Hetih Rusli
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka
Cetakan : I, 2006
Tebal : 80 hlmn ; 18 cm

Jack Twist dan Ennis del Mar, dua pria yang bersahabat dan saling mencintai. Secara terpisah mereka tumbuh dewasa di peternakan-peternakan kecil yang miskin di kawasan Utara Amerika Serikat. Mereka berdua pemuda desa yang tidak lulus dalam sekolahnya , tanpa masa depan, serta dibesarkan dalam kerja keras dan kemiskinan. Kehidupan yang keras dan serba kekurangan membentuk karakter kedua pemuda ini menjadi pemuda yang sering bertingkah dan berbicara kasar

Mereka bertemu pertama kali pada di musim panas 1963 pada saat melamar bekerja untuk menggembalakan domba di peternakan milik Joe Aquirre di lereng gunung Brokeback, di Wyoming Amerika Serikat. Saat itu usia mereka belum berusia dua puluh tahun. Awalnya hubungan mereka layaknya persahabatan antara teman sekerja. Pekerjaan yang keras dan terpencil di lereng gunung seperti menjaga domba dari serbuan coyote, mendirikan tenda, memasak, minum wiski, bahkan tidur dalam satu tenda membuat hubungan mereka semakin dekat. Tak ada yang salah dalam persahabatan mereka hingga akhirnya disebuah malam yang dingin Jack dan Ennis harus tidur dalam satu kasur yang hangat, keintiman diantara mereka tiba-tiba meningkat pesat. Ennis ‘memasuki’ Jack. Walaupun keduanya belum pernah melakukan ini, mereka melakukakannya dengan cepat. Hari-hari berikutnya hubungan intim ini terjadi dengan begitu saja. Mereka tidak pernah bicara tentang seks, namun hubungan ini terus berlanjut, di kemah, siang hari dibawah terik matahari, dan pada malam hari di dekat api ungun. Cepat, kasar, diiringi tawa dan dengus, berisik tapi tak pernah mengucapkan sepatah kata apapun. Pekerjaanpun jadi terbengkalai. Tanpa mereka duga hubungan ini diketahui oleh majikan mereka. Musim panas berlalu, Jon Aquirre membayar mereka dengan kekecewaan karena pekerjaan mereka dianggap tak memuaskannya.

Dengan berakhirnya pekerjaan mereka sebagai gembala di lereng gunung Brokeback, berakhir pula hubungan keduanya. Keduanya mengira itulah akhir dari hubungan mereka. Empat tahun berlalu, Jack pergi mengejar cita-citanya sebagai pemain rodeo dan memiliki satu anak dari pernikahannya dengan Lureen. Ennis menikahi kekasihnya Alma dan memiliki dua orang anak. Kehidupan perkawinannya normal-normal saja hingga datangnya sebuah kartu pos dari Jack yang bermaksud mengunjungi Ennis dan keluarganya. Dua sahabat sekaligus kekasih kembali bertemu, keduanya menyadari mereka tetap tertarik satu sama lain, hubungan mereka di lereng gunung Brokeback tak pernah terhapus dalam ingatan mereka. Merekapun mengungkapkan kerinduan mereka dalam cara mereka. Tanpa disadari Alma memergoki keduanya dan konflikpun terjadi.

Ennis diperhadapkan pada pilihan antara cinta dan keutuhan keluarganya, akhirnya Ennis memilih hidup bersama Jack, pandangan masyarakat tak juga dihiraukannya. Mereka hidup bersama hingga suatu badai kehidupan datang untuk menguji tulusnya kisah cinta mereka.

Novela karya Annie Proulx ini memang bertutur mengenai kisah cinta antar dua manusia yang kebetulan berjenis kelamin sama. Karena tesaji dalam sebuah novela kisah ini tersaji secara cepat dan menarik, kisah ini dapat dibaca dalam sekali duduk, Annie menyajikan kisah cintanya secara realistis tanpa bumbu romantisme yang berlebihan, beberapa detail cerita mungkin membuat pembaca jenggah, terutama dalam mengungkap hubungan intim sesama jenis antara Jack dan Annis , namun bukan berarti kisah ini sarat dengan kisah yang vulgar, dengan baik pula Annie mengungkap potret kehidupan sosial masyarakat kelas pekerja Amerika Utara lewat karakter Jack dan Ennis yang sebelumnya hidup normal dan tiba-tiba saja terseret dalam kisah cinta sesama jenis, cinta terlarang yang pada saat itu masih merupakan hal tabu dan
memalukan bagi masyarakat Amerika. Konflik-konflik antara Ennis dan Alma dan konflik batin pribadi Jack dan Ennis tersaji secara menarik. Ending cerita berakhir dengan menyentuh pembacanya. Lewat kisah yang getir dan pahit namun tak cengeng ini Annie tak mencoba menggurui siapapun, nampaknya Annie hanya mengungkap kisah cinta sesama jenis yang masih dianggap ‘tak wajar’ oleh masyarakat dunia hingga kini plus konflik-konflik yang menyertainya. Kisah Gunung Brokeback seolah memberi pesan universal bahwa ada jurang yang membentang lebar antara keyakinan masyarakat dan keyakinan hidup seseorang, dan kalau tak bisa menjembataninya kita harus bisa menghadapinya.

Sekilas tentang Broback Mountain

Brokeback Mountain / Gunung Brokeback merupakan novela yang terdapat dalam kumpulan cerita pendek karya Annie Proulx berjudul Close Range : Wyoming Stories (1999). Brokeback Mountain pernah dimuat di majalah The New Yorker dan mendapat pengahargaan O. Henry Award Short Story serta National Magazine Award. The New Yorker Book Award juga memberikan penghargaan Best Fiction 1999 untuk Close Range, Wyoming Stories. Para pengamat sastra berpendapat bahwa Brokeback Mountain adalah masterpiece dari Annie Proulx.

Walau Broback Mountain diambil dari buku kumpulan cerita Close Range :Wyoming Stories, Gramedia nampaknya berinisiatif untuk menerjemahkan dan menerbitkan karya ini menjadi sebuah buku tersendiri. Mungkin terbitnya buku ini hendak mengambil momen kehadiran film Brokeback Mountain arahan sutradara kenamaan Ang Lee yang oleh Golden Globe Award diganjar sebagai Film dan sturadara terbaik dan mendapat delapan pecalonan Oscar untuk berbagai kategori termasuk film terbaik. Hal ini juga dilakukan oleh penerbit Amerika yang menerbitkan Brokeback Mountain dalam sebuah buku tersendiri yang diberi judul ‘Brokeback Mountain : Now a Major Motion Picture’ (Scribner, Nov 2005)

Sebenarnya akan lebih menarik jika yang diterbitkan adalah buku Close Range : Wyoming Stories dimana Brokeback Mountain terdapat didalamnya, namun sebagai jembatan untuk mengenal karya-karya Annie Proulx lainnya dan sebagai pengantar menonton filmnya yang tampaknya tak lama lagi akan beredar, buku ini sangat tepat kehadirannya ditengah-tengah kita.

@h_tanzil

Wawancara Annie Proulx di : http://www.annieproulx.com/

about Brokeback Mountain

Note on interviews:

I very much regret that the demand for interviews has overwhelmed me. I am sorry to disappoint anyone, but I can no longer neglect my regular writing work. From today, December 9, 2005, I can no longer do any interviews connected with Brokeback Mountain.
Suggested background information sources are: my biography, curriculum vitae, and Interview with Annie Proulx (The Missouri Review, vol XXII, No. 2, 1999). There is one lie in this interview where I said I had never fallen in love with any of my characters. I think I did fall in love with both Jack and Ennis, or some other strong feeling of connection which has persisted for the 8 years since the story was written. Another commentary on the Brokeback story is in the essay "Getting Movied," included in the recently published Brokeback Mountain: Story to Screenplay (Scribner, 2005), which also contains essays by Diana Ossana and Larry McMurtry.

Thanks for your interest,
Annie Proulx

FAQs

Where did the story come from?

I write almost exclusively about rural North America and rural social situations. Brokeback began as an examination of country homophobia in the land of the Great Pure Noble Cowboy. Years of accumulated observation went into the story.
How did you reach deep understanding of the inner characters Jack Twist and Ennis Del Mar? Are Jack and Ennis based on real people you know?
Again, observation, but also this writer's main card - imagination. Jack and Ennis are purely imaginary and have no connection to anyone I know. The work of imagining, thinking, picturing, describing how things would have been for two 19-year old rough, uneducated young men in 1963 Wyoming was slow, difficult and arduous.

How long did it take to write the story?

Roughly six months, about twice as long as it takes to write a novel.
How do you feel about the film being shot in Alberta instead of Wyoming?
O.k. The Production Designer, Judy Becker, spent considerable time touring Wyoming and Texas and taking photographs that were then duplicated as much as possible by landscape in Alberta. It is cheaper to make films in Canada, and Wyoming, the least populated state, does not have the infrastructure to support a film crew with its many needs that range between contemporary technologies and good housing and transportation. It is impossible to tell the film was not made in Wyoming.

How did you feel on first seeing the film?

Knocked for a loop. I had no idea of what to expect as I had had no input into the making of the film beyond some conversation with Diana Ossana and Larry McMurtry when they were writing the screenplay, and a letter to Focus president James Schamus and Ang Lee begging them to keep the language of the story intact. I did not visit the set. I feared the landscape on which the story rests would be lost, that sentimentality would creep in, that explicit sexual content would be watered down. None of that happened. The film is huge and powerful. I may be the first writer in America to have a piece of writing make its way to the screen whole and entire. And, when I saw the film for the first time, I was astonished that the characters of Jack and Ennis came surging into my mind again, for (hence the lie in Missouri Review ) I thought I had successfully banished them over the years. Wrong.

Thursday, February 16, 2006

Nar'Kobar - The Motivator


Judul : The Nar'Kobar - The Motivator
Penulis : Andhika Pramajaya
Penerbit : Akoer
Cetakan : I, Jan 2006
Tebal : 601 hal

Beberapa waktu yang lalu tayangan-tayangan TV yang mengungkap alam gaib kerap bermunculan di layar TV, mulai dari kisah-kisah fiksi misteri, reality show yang menguji nyali para relawan, hingga siaran langsung para pemburu hantu yang selalu berhasil memasukkan hantu-hantu ke dalam botol. Hal ini berimbas juga pada munculnya majalah-majalah misteri dan buku-buku yang mengungkap keberadaan alam gaib dan mahluk-mahluk penghuninya yang umumnya menyuguhkan konsep bahwa hantu adalah fenomena gaib yang berkesan misterius dan menyeramkan.

Ditengah tumbuhnya keyakinan akan konsep alam gaib yang serba menakutkan itulah secara tak diduga muncul novel Nar’Kobar – The Motivator karya penulis Andhika Pramajaya yang namanya tak dikenal di dunia kepenulisan. Kehadiran novel ini seakan hendak menjungkirbalikkan konsep alam gaib yang serba misterius dan menakutkan itu. Novel yang mungkin sekali merupakan novel komedi jin pertama di Indonesia ini berkisah tentang Nar’Kobar, sosok jin muda dari ras Naruut yang telah mencapai tingkat J’mar Kha’dum (Jin Motivator Manusia) yang berperan memotivasi manusia agar bisa menjadi manusia gampusan ( manusia yang memiliki mental dan spritual yang negatif).
Nar’Kobar adalah jin yang berperan memotivasi Lena agar menjadi gadis gampusan. Namun usaha ini terhalangi oleh Ipung- teman kuliah Lena yang memiliki kemampuan supranatural yang pada saat itu sedang mendekati Lena untuk menjadi pacarnya. Bagi Nar’Kobar kehadiran Ipung semakin menyulitkan dirinya untuk memotivasi Lena apalagi karena Ipung adalah putra Pak Tio – seorang praktisi supranatural andal yang terkenal karena sering muncul di acara reality show misteri di TV.

Secara kebetulan di kerajaan jin, Putri Larasati (pewaris tunggal kerjaan jin – Mandanglaya) berniat menimba pengalaman dan memperluas wawasannya akan dunia manusia. Untuk itu Larasati membutuhkan sosok jin motivator yang telah berpengalaman untuk menjadi pembimbingnya selama berada di dunia manusia. Pilihan jatuh pada Nar’Kobar. Nar’Kobar tak menyia-nyiakan kesempatan ini, dengan tujuan lain ia menyarankan Putri Larasati menjelma sebagai wanita cantik agar dapat menggoda Ipung sehingga Ipung melupakan Lena dan jatuh cinta pada putri jin itu.
Selain menggunakan Putri Larasati untuk menjauhi Ipung dari Lena, Nar’kobar juga dengan cerdik mempengaruhi teman-teman kampus Lena agar mereka jatuh cinta pada Lena sehingga salah satu dari mereka dapat menjadi pacar Lena dan secara otomatis menggagalkan usaha Ipung untuk menjadi kekasih Lena.

Usaha Nar’Kobar untuk mejauhkan Lena dari Ipung dan menjadikan Lena wanita gampusan tidaklah mudah, selain karena Ipung mendapat "perlindungan" dari ayahnya, Lena sendiri pun bukan sosok wanita yang mudah dipengaruhi oleh Nar’Kobar. Lena yang taat dalam menjalankan agamanya membuat tubuhnya selalu diliputi aura positif yang sulit ditembus oleh jin Nar’Kobar. Karena itu Nar’kobar harus memikirkan segala cara untuk bisa mempengaruhinya. Usaha ini sempat terhenti ketika Nar’kobar secara tidak disengaja tertangkap oleh Pak Tio (ayah Ipung) yang saat itu sedang shooting untuk acara ‘live’ sebuah reality show dunia misteri. Karena kecanggihan kamera KIS 3000, ciptaan seorang profesor Jepang yang bisa menangkap keberadaan jin sesuai dengan bentuk aslinya, maka sosok Nar’Kobar tertangkap dalam kamera tersebut dan disaksikan secara langsung oleh seluruh pemirsa acara TV tersebut. Karena keteledorannya itu Nar’Kobar dihukum oleh kerajaan jin selama seratus tahun sebagai hantu "ririwa" yang tugasnya hanya menakuit-nakuti manusia di areal pekuburan. Namun berkat bantuan Larasati hukuman itu diperingan dan sebagai gantinya Nar’Kobar harus bisa memotivasi Lena untuk menjadi wanita gampusan dalam waktu 2 minggu saja! Jika tidak berhasil nyawa Nar’Kobar menjadi taruhannya. Berhasilkah Nar’Kobar memotivasi Lena dalam waktu 2 minggu saja ? Padahal 8 tahun sudah terlewati semenjak ia memotivasi Lena agar bisa menjadi wanita gampusan, dan selalu gagal!

Secara keseluruhan novel ini bisa dikatakan novel yang unik dimana dunia gaib dibuat sedemikian rupa sehingga menjadi cerita yang lucu dan menghibur, disajikan dengan gaya pop membuat novel dengan tebal 601 halaman ini menjadi sangat mudah untuk dibaca dan dicerna oleh berbagai kalangan pembaca dari berbagai latar sosial, pendidikan, dan jenjang usia. Walau judul novel ini adalah nama sesosok tokoh jin, namun tak ada tokoh sentral yang mendominasi cerita. Semua tokoh mendapat porsi yang seimbang tanpa saling mendominasi, maka eksplorasi karakter berupa perubahan karakter dari baik ke jahat atau sebaliknya dalam tiap tokohnya terungkap dengan baik. Di novel ini dunia gaib dan mahluk-mahluknya terungkap secara manusiawi, mereka memiliki rutinitas kehidupan sehari-hai layaknya mahluk-mahluk berjiwa lainnya, seperti halnya di dunia manusia di dunia gaib pun para jin memiliki struktur pemerintahan, militer dan strata sosial yang bermacam-macam. Istilah-istilah tingkatan dan jenis jin yang digunakan oleh penulis menggunakan istilah Arab, dan Indonesia, maka tak heran melalui novel ini pembaca akan menemukan nuansa lokal seperti jin ifrit, kuntilanak, genderuwo, pocong dll. sedangkan istilah-istilah struktur pemerintahan dan militer menggunakan terminologi Sunda-Jawa seperti kaputren, tumenggul, senopati, dll.

Tampaknya novel ini ditulis dengan riset yang cukup memadai, dalam emailnya, penulis novel ini mengaku untuk mengambil basic tentang jin ia mengambil dari Alquran dan Alhadist, selain itu ia juga membaca buku-buku tentang Jin seperti karya Abu Aqila (Kesaksian tentang Jin) dan Muh. Isa Dwud (dialog dengan Jin), dll, tak hanya itu pengalaman kawan-kawannya yang pernah besinggungan dengan dunia gaib turut memperkaya penulis dalam melahirkan novel ini. Apa yang telah diupayakan oleh penulis tampaknya membuahkan hal-hal positif. Walau novel ini novel khayalan dan menghibur namun apa yang tersaji dalam novel ini tak berarti menjadi ngawur, seperi novel-novel Harry Potter, novel ini tak mengabaikan logika pembacanya. Selain memperoleh info-info umum tentang jin, hal-hal positif juga akan pembaca temui dalam novel ini. Novel ini juga tampaknya membawa misi ‘terselubung’ untuk meluruskan pandangan umum terhadap dunia gaib, misalnya tentang roh-roh gentayangan yang seharusnya tidak ada, tapi hanya perbuatan jin yang berpura-pura menjadi hantu penasaran (pocong, kuntilanak, arwah penasaran, dll) untuk menakut-nakuti manusia. Selain itu kekuatan doa juga terungkap dengan jelas pada novel ini dimana beberapa tokoh sulit untuk dijangkau oleh para jin karena mereka rajin berdoa sehingga memiliki auro positif yang sulit ditembus oleh jin apapun.

Yang mungkin menjadi kendala dalam membaca novel ini adalah bertaburannya istilah-istilah aneh yang sulit untuk diingat dan diucapkan seperti Al’m Gha’faar, Al’m Sidjin, Gom Jabir, Jiinayil Aq’lun, J’mar Kha’fziir, dll. Untuk menjelaskan istilah-istilah tersebut buku ini menyediakan daftar istilah di akhir halaman yang memuat lebih dari 100 istilah! Selain itu luasnya eskplorasi penulis terhadap para tokoh dalam novel ini membuat masing-masing tokoh dalam cerita ini seolah memiliki kisahnya sendiri, dan ini bisa saja menjadi bumerang bagi pembaca novel ini karena cerita menjadi melebar dan tak fokus. Dari waktu terbitnya, novel ini bisa dikatakan terlambat diterbitkan, seandainya novel ini terbit ketika masih maraknya tayangan-tanyangan misteri di TV tentunya novel ini akan bisa ‘bergaung’ lebih keras atau setidaknya bisa menjadi alternatif hiburan yang menyajikan alam gaib secara menarik dan kreatif.

Terlepas dari semua itu, kehadiran novel komedi-jin ini patut dihargai, bisa dikatakan novel ini adalah sebuah terobosan baru dalam menyajikan dunia alam gaib yang ternyata tidak harus tersaji secara menakutkan. Tak perlu takut untuk membaca novel ini dimalam hari karena pembaca akan dibuat tersenyum simpul bahkan tertawa melihat kekayaan imajinasi penulis saat menggambarkan sosok mahluk gaib. Dan yang pasti novel ini tentunya akan memperkaya wawasan berpikir kita tentang keadaan alam lain disekitar kita yang belum tentu menyeramkan seperti yang terkonsep di benak kita selama ini.

@h_tanzil

Tuesday, February 14, 2006

Obrolan Tukang Nonton


Judul : Obrolan Tukang Nonton -
dari Charlie Chaplin sampai Mengejar Matahari
Penulis : Arie Saptaji
Penerbit : Papyrus
Cetakan : I, Desember 2005
Tebal : 191 hal.

Obrolan ringan selepas menonton sebuah film sangatlah mengasyikan, apapun bisa dijadikan bahan pembicaraan, mulai dari alur cerita, kedasyatan efek film, keindahan gambar, hingga gosip artis yang memerankan salah satu tokoh film tersebut. Tak perlu menjadi pakar perfileman untuk mengobrolkan film, malah obrolan orang awam penggemar film akan terasa lebih mennyenangkan dibanding obrolan pakar perfileman yang mengusung teori-teori perfileman. Obrolan ringan semacam inilah yang membuat kenikmatan menonton sebuah film menjadi semakin sempurna karena dari obrolan ringan tersebut akan tergali kekayaan, makna, hingga pernak-pernik dari film yang telah ditonton.

Buku Obrolan Tukang Nonton yang ditulis oleh Arie Saptajie, salah seorang film mania ini seakan mengajak pembacanya khususnya para penggemar film untuk mengobrolkan film-film yang telah ditontonnya. Arie Saptajie bukanlah pakar di bidang teori perfileman, jadi jangan harap kita akan menemui soal-soal teknis terjadinya sebuah film di buku ini, tak ada kalimat-kalimat sulit dari definisi-definisi film, semua tersaji dalam kalimat-kalimat yang lugas dan sederhana seperti mendengar saran seorang kawan akan film yang telah ditontonnya

Buku ini mengulas lebih dari 40 buah film, keragaman film-film yang dibahasnya membuat buku ini sangat variatif dan tidak membosankan. Jika dilihat dari tahun produksi film-film yang ditontonnya, buku ini merentang masa selama 73 tahun! Dimulai dari film "City Lights" – Charlie Chaplin (1931) hingga Mengejar Matahari (2004). Jika dilihat dari negara pembuatnya, buku ini mengajak pembacanya untuk berpikinik mengelilingi dunia sambil menonton film, mulai dari Indonesia, Singapura, Australia, India (Bollywood), Jepang, Inggris Amerika (Hollywood), Brazil hingga Irak. Pembaca juga akan diajak menyimak berbagai genre film yang dibahas di buku ini, mulai dari drama, suspense, horor hingga film animasi tak luput dari pengamatan Arie Saptajie.

Kesemua bahasan film-film diatas tersaji secara runut berdasarkan tahun pembuatannya. Setiap film dibahas tak lebih dari 5 halaman buku ini, singkat namun padat, lengkap dengan sinopsis dan pendapat penulis. Selain ditulis dengan kalimat-kalimat yang enak dibaca dan reflektif, Arie mengemukakan pendapatnya dengan jujur. Kesannya yang buruk terhadap sebuah film ia ungkapkan dengan gamblang di buku ini. Hal ini terungkap ketika ia membahas film Mystic River, film kelas Oscar ini dikritik habis oleh Arie, ia melihat penggarapan bagian-bagian pelacakan film ini jika dilihat dari standard film detektif kurang berisi, sehingga mengakibatkan ketimpangan sewaktu disandingkan dengan konflik psikologis amat pekat diantara tokoh-tokohnya (hal 156).

Selain mengkritisi film-film yang dibahasnya, Arie juga berhasil menemukan benang merah antara satu film dengan film lainnya, ketika membahas sebuah film, pembaca diajak membandingkan atau menengok film-film lain yang memiliki keterkaitan dengan film yang sedang dibahasnya. Tidak hanya itu Arie juga terkadang merefleksikan sebuah film dengan keadaan Indonesia saat ini. Simak saja kalimat pembukaan di bahasan film The Manchurian Candidate: - Membandingkan The Manchurian Candidate dengan situasi dan kondisi Indonesia bisa bikin kita terperangah. Kalau dipikir-pikir, rupanya Indonesia itu "lebih jagoan" dari AS. Apa yang mesti AS lakukan dengan mendayagunakan teknologi canggih dibarengi siasat licik dan brutal, bisa kita lakukan secara amat santun – dan tak kalah efektif pula. (hal 167).- Dalam hal ini antara lain Arie mencontohkan proses kisah cuci otak dalam film ini yang harus menggunakan intrik buas dan metode yang cangih, dengan jeli Arie membandingkannya dengan Indonesia yang tanpa peralatan canggih, pencucian otak telah berlangsung dengan tenteram dan damai melalui penataran P4, indoktinasi teror SARA, sensor, dll. (hal 169)

Dalam buku ini dari sekitar 40 buah film yang dibahasnya Arie hanya menyuguhkan tiga buah film nasional : November 1928, Si Doel Anak Betawi dan Mengejar Matahari, tak dijelaskan mengapa hanya tiga film nasional ini yang dipilih, entah apakah bagi Arie hanya tiga film ini yang layak dibahas atau memang keterbatasan sumber yang menyebabkan hanya tiga film tersebut yang dimasukkan dalam buku ini, padhal kini situasi perfileman nasional kembali bergeliat dengan sejumlah film yang layak diapresiasi. Namun terlepas dari semua itu usaha Arie untuk mengangkat 3 buah film nasional dalam buku ini patut dihargai.

Sebagai bonus, dibagian akhir buku ini Arie menyajikan bab tersendiri mengenai tema persahabatan sejati dalam sejumlah film yang telah ia tonton, dari Driving Miss Daisy hingga Oerog yang membuat pembaca mendapat tambahan perspektif dalam melihat persahabatan.

Jika dilihat dari seluruh bahasan film yang ada di buku ini, seperti diakui oleh Arie dalam kata pengantarnya, tulisannya cenderung reflektif karena baginya dalam aspek inilah setiap orang bebas membuka suara. Tanpa perlu teori muluk-muluk. Tanpa perlu menjadi pakar perfileman, setiap orang tentu memiliki kesan pribadi terhadap film yang ditonotonnya, dan leluasa untuk mengobrolkannya dengan sesama penggemar. (hal 15). Hal ini pula yang menyebabkan tulisan-tulisannya dalam buku terasa lebih menarik karena menyajikan sisi lain yang tidak terungkap oleh penikmat film lain. Arie juga bisa dikatakan berhasil mengeluarkan intisari suatu film dengan memberikan interpretasi pesan sesuai dengan pandangan penulis ataupun merefleksikan cerita film tersebut pada problema kehidupan manusia yang universal.dari sebuah film yang dibahasnya.

Kritik atas buku ini ada pada penempatan keterangan title film. Di buku ini seluruh title film diletakkan di halaman belakang sebagai indeks. Hal ini membuat pembaca harus bolak-balik menuju halaman indeks untuk mengetahui title film yang sedang dibahas. Untuk kenikmatan membaca, akan lebih baik jika title film yang sedang dibahas menyatu dengan halaman bahasannya. Minimnya tampilan visual pada buku ini juga sangat disayangkan, padahal tampilan visual berupa poster dari film-film yang dibahas akan sangat membantu pembaca dalam menyegarkan ingatan pembaca akan film-film yang pernah ditontonnya.

Siapapun bisa membaca buku ini, syaratnya hanya satu suka nonton!. Di mata Arie film bukanlah sekedar hiburan yang enak ditonton, namun juga mengandung butir-butir kebenaran yang kerap tak terduga. Hal inilah yang seantiasa ada dalam tulisan-tulisan Arie sehingga pembaca buku inipun akan memperoleh butir-butir kebenaran dalam film2 yang telah ditonton Arie.

@h_tanzil

Monday, February 06, 2006

Saya Terbakar Amarah Sendirian!


Judul : Saya Terbakar Amarah Sendirian!
(Pramoedya Ananta Toer dalam Perbincangan dengan Andre Vltchek & Rossie Indira)
Penulis : Andre Vlitchek & Rossie Indira
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Cetakan : I, Januari 2006
Tebal : xxix + 131 hlmn. : 13 cm x 19 cm

Pramoedya, setelah sekian puluh tahun namanya dihapus dari buku-buku sastra,dan buku-bukunya menghilang di rak-rak toko buku kini perlahan tapi pasti namanya kembali berkibar, karya-karyanya dicetak ulang dan selalu jadi best seller di toko-toko buku yang menjualnya. Beberapa penulis secara khusus mencoba mengkaji karya-karya monumentalnya, sebut saja Prof. A. Teeuw yang secara serius mengkaji karya-karya Pram dalam buku "Citra Manusia Indonesia dalam karya PAT (Pustaka Jaya,1997), Eka Kurniawan yang membukukan skirpsinya yang bertajuk Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis (Jendela,2001) atau Prof Apsanti D yang mengkaji secara menarik keempat Tetralogi Bumi Manusia dalam bukunya yang berjudul "Membaca Katrologi Bumi Manusia (Indonesia Tera, 2005). Selain karya-karyanya dijadikan bahan kajian penulis-penulis lokal dan luar negeri Pram juga kerap jadi incaran dari para wartawan media cetak yang secara khusus melakukan wawancara langsung dengannya, dan biasanya majalah atau koran yang memuat wawancara dengan Pram selalu habis dibeli oleh pembacanya.

Umumnya wawancara dengan Pram hanya dapat dijumpai di majalah atau koran-koran atau beberapa buku yang menyajikan cuplikan wawancara dengan Pram, kini buku "Saya Terbakar Amarah Sendirian!" tersaji dalam bentuk wawancara utuh antara Pram dengan Andre Vltchek (penulis, wartawan, analis politik amerika Serikat) & Rossie Indira. (arsitek, analis bisnis, penulis di harian Jakarta Post, Gatra,dll).

Buku menarik ini memuat lebih dari 150 pertanyaan yang diajukan oleh pewawancaranya. Wawancara yang berlangsung dalam kurun waktu 4 bulan (Desember 2003-Maret 2004) ini dibagi kedalam 12 bab yang disusun berdasarkan topiknya yang terdiri dari

- Wawancara di Jakarta
- Sebelum 1965 : Sejarah, Kolonialisme, Dan Soeharto
- Kudeta 1965
- Masa Penahanan
- Budaya dan Jawanisme
- Karya Sastra
- Soeharto, Rezimnya, dan Indonesia Saat ini
- Timor Leste dan Aceh
- Keterlibatan Amerika Serikat
- Rekonsiliasi ?
- Revolusi : Masa Depan Indonesia
- Sebelum Berpisah

Dari keseluruhan bab-bab diatas pembaca buku ini akan diajak menyelami apa yang ada dalam benak seorang Pramoedya Ananta Toer. Tajamnya pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Andre Vltchek & Rossi Indira membuat seluruh perasaan dan pemikiran Pram yang tetap konsisten dari dulu hingga kini terungkap secara jelas dan apa adanya.

Pada bab "Masa Penahanan" pembaca akan diajak menyelami kehidupan Pram di Pulau Buru dimana nyawa manusia menjadi demikian tidak berartinya, kesalahan kecil seperti yang dialami temannya ketika ketahuan menyimpan sepotong koran bekas mengakibatkan temannya harus mengalami penyiksaan yang berakhir dengan kematian. (hal 37). Tempelengan dan siksaan menjadi hal yang biasa terjadi di Pulau Buru. Beruntung Pram tak mengalami siksaan yang berarti karena dirinya selalu dimonitori oleh dunia internasional. Pantauan dunia internasional inilah yang membuat Pram bertahan hidup dan bisa berkarya hingga menghasilkan karya P. Buru yang monumental itu.

Dalam hal budaya ,Pram yang jelas-jelas seorang Jawa mengkritik habis budaya Jawa yang mengharuskan "taat dan patuh pada atasan" yang menurutnya mengarah kepada fasisme (hal 45). Menurut Pram hal inilah yang menyebabkan bangsa kita terjajah, para kepala desa diberi emas dan perak sebagai sogokan atau kompensasi, sehingga mereka tidak berani protes. Dan rakyatnya pun tak berani melawan karena mereka menghormati atasannya. Inilah yang dikatakan Pram sebagai Jawanisme!, dan hal ini menurutnya masih terjadi hingga jaman kini dan terbukti hingga kini tak ada yang berani membawa Soeharto ke pengadilan karena semua takut dan patuh pada atasan.

Dalam bidang Sastra, Pram menyesalkan jika hingga kini orang masih saja membicarakan tentang pribadinya, bukan karyanya, sehingga sebagai penulis dirinya tidak selaku diakui (hal67) Di bagian ini juga dijelaskan mengenai proses kreatif Pram baik ketika ia mulai menulis hingga proses kreatifnya di P. Buru. Pram mulai menulis ditahun 1947 karena ia harus menghidupi adik-adiknya, dikatakannya bahwa ia menulis seperti orang gila untuk mendapatakan uang karena ia tak bisa bekerja lain selain menulis (hal 75). Sedangkan inspirasi menulis diperolehnya dari kehidupan. Ketika sesuatu menyinggung dirinya atau membuat dirinya marah, Pram mendapatkan inspirasi untuk melawan. Bagi Pram menulis adalah perlawanan sehingga disemua bukunya ia selalu mengajak pembacanya untuk melawan. Pram yang menurut pengakuannya kini sudah tak bisa menulis lagi semenjak serangan stroke pada tahun 2000 yang lalu, kini menghabiskan waktunya dengan membuat kliping untuk proyek Ensiklopedi Kawasan Indonesia yang kini bahannya sudah mencapai 4 meter! Rencananya jika ia menerima hadiah nobel Sastra, maka uangnya akan dipergunakan untuk menyelesaikan proyek ambisiusnya tersebut.

Dalam bagian-bagian akhir buku ini pada bab Revolusi : Masa Depan Indonesia, Pram secara tegas menyatakan bahwa untuk keluar dari kondisi Indonesia yang semakin buruk ini maka hanya angkatan mudalah yang harus bergerak. Menurutnya sejak tahun 1915 sejarah Indonesia dibuat oleh angkatan muda (hal 114). Sayangnya kini banyak angkatan muda yang konsumtif dan tidak bisa berproduksi atau mengubah situasi, yang dilakukan hanyalah keluyuran dan mendapatkan uang. Pram secara tegas menyatakan jika dirinya menjadi penguasa maka ia akan tetapkan kuota impor barang sehingga akan ada lapangan kerja dan rakyat indonesia dipaksa untuk berproduksi. Bagi Pram hal yang mutlak harus dilakukan untuk mengubah situasi bukan hanya semata menurunkan rezim yang berkuasa, melainkan harus melalui Revolusi total, yang bisa menyingkirkan tenaga-tenaga yang menghambat kemajuan Indonesia.

Ada banyak sekali pemikiran-pemikiran Pram lainnya yang terungkap di buku ini. Kemahiran pewawancara dalam menggali apa yang Pram pikirkan dan rasakan membuat buku ini kaya sekali akan cakupan dan merentang dari masa kemasa mulai dari masa perjuangan kemerdekaan, masa G30S, hingga masa kini, mulai dari soal-soal pribadi, politik hingga budaya, bahkan pandangan Pram akan masalah-masalah di Timor Leste dan Aceh-pun bisa ditemui di buku ini.

Bisa dikatakan buku ini berhasil mengeluarkan semua pemikiran dan beban yang bertumpuk yang mungkin selama ini dipendam atau terlewatkan untuk digali oleh pewawancara lainnya. Apa yang dikatakan Pram melalui buku ini sangat menyentuh perasaan dan bahkan menyedihkan. Beberapa bagian yang menyajikan tentang penindasan historis, politis, dan tak manusiawi diungkap dengan pedas, tanpa tedeng aling-aling, pandangan agama di mata Pram terungkap dengan jelas dan apa adanya. Beberapa pertanyaan dijawab dengan nuansa kemarahan yang meledak-ledak, namun ada juga yang dijawab dengan jawaban-jawaban humor. Pembagian-pembagian buku ini dalam beberapa bab membuat pembaca dapat mengikuti kisah hidupnya mulai dari Pram sebagai seorang penulis yang ditahan pemerintahan Belanda sampai masa pengasingannya di P.Buru dan masa kehidupannya kini yang dirasakannya "terasing di negeri sendiri"

Buku ini sangat baik dibaca oleh para pecinta karya-karya Pramoedya (Pramist) karena seluruh isi buku ini akan menjawab semua pertanyaan yang mungkin menjadi pertanyaan para Pramist juga. Jika dicermati lebih dalam lagi, seluruh jawaban yang diberikan Pram melalui buku ini memang terkesan bahwa ia terbakar oleh amarahnya sendiri pada negeri dan budaya Indonesia yang carut marut ini, secara terstruktur pembaca akan dibawa pada pemikiran-pemikirannya yang kritis seperti yang selalu terekam dalam karya-karyanya. Karena itu, buku ini bukan hanya diperuntukkan bagi para ‘Pramist’ saja, melainkan patut dibaca oleh semua kalangan yang ingin memahami akar-akar persoalan di Indonesia dewasa ini.

@h_tanzil

Wednesday, February 01, 2006

Perang


Judul : Perang - Sebuah novel Sub Kultur
Penulis : Rama Wirawan
Penerbit : Jalasutra
Cetakan : I, 2005
Tebal : 176 hal

Novel ini bukan novel perang, tak ada rentetan peluru yang ditembakkan untuk membabat habis musuh, tak ada pekik kemenangan dari pihak yang menang. Yang ada adalah rentetan ide dan isu-isu sosial yang dimuntahkan dalam novel ini.

Perang adalah Perang Hayat, nama seorang pemuda 22 tahun yang bekerja sebagai seorang desain grafis di sebuah perusahaan printing. Bekerja dari jam 8 pagi hingga jam 5 sore adalah suatu rutinitas yang dijalaninya sejak tiga bulan yang lalu, namun Perang belum juga bisa menemukan keindahan dan kenyamanan dalam dunia kerjanya. Suasana kantor yang penuh tekanan dan ketidaknyamanan itu membuat dirinya seperti berada dalam penjara dan ia merasa ada sesuatu yang tercuri dari hidupnya.

Dalam novel ini tokoh Perang dideskripsikan sebagai seseorang yang hidup dalam kesendirian dengan buku-buku dan keremangan, ia selalu sinis melihat dunia terang benderang seperti mall-mall, gedung-gedung megah, restoran mewah, dll. Ia selalu melihat ketimpangan dari semua kemewahan itu, ia menyadari bahwa mall-mall itu dibangun di atas tanah bekas gusuran rumah penduduk, ketika ia melihat sebuah restoran mewah ia yakin bahwa hanya segelintir orang yang bisa menikmati makanan di restoran mewah tersebut. Karenanya kawan-kawannya tak melihat dan merasakan apa yang ada dalam benaknya, Perang merasa hidup dalam kesendirian dan keterasingan.

Setelah sekian lama terjebak dalam rutinitas kerja dan keterasingan, kehidupannya lambat laun mulai berubah ketika Perang berkenalan dengan Denny, seorang kurir dari kantor cabang tempat ia bekerja. Perkenalannya dengan Denny membawanya pada suatu komunitas subkultur yang akrab dengan zine, musik underground, gig, distro, D.I.Y, dll. Dan yang membuat Perang segera tertarik dengan komunitas ini adalah pemikiran kawan-kawan barunya yang terus berusaha mencari alternatif atas sistem yang telah mengurung dan terus menumpulkan hidup masyarakat. Perang diajaknya membahas isu budaya kontemporer seperti alienasi, neoliberalisme , resistensi, literasi dan banyak lagi isu-isu sosial lainnya. Melalui komunitas dan kawan-kawan barunya inilah Perang kini merasa tak terasing lagi, keingin tahuannya yang besar dan ketidakpuasannya akan ketimpangan sosial, sistem ekonomi, politik, budaya subkulur, dan lainnya mendapat pencerahan dari kawan-kawan barunya. Lambat laun ia menjadi seorang yang hidup dengan pandangan baru , segar, sadar atas pilihan dan resiko hidupnya.

Kehidupan Perang tambah semarak dengan pertemuannya dengan teman kuliahnya dulu – Mirah. Melalui Mirah, Perang mengenal cinta, bukan cinta romantis seperti dalam kisah-kisah novel romantis melainkan cinta yang dalam, cinta yang sanggup menguak tabir kehidupan dan mampu mengembalikan sisi kemanusiaaan yang telah tertampik oleh sibuknya dunia. Dan itulah yang terjadi dengan Perang, kisah cintanya dengan Mira tak membuat semangat dan pandangan baru yang ia peroleh dari kawan-kawan komunitasnya mengabur, kehidupan cintanya dengan Mira membuat ia memperoleh kekuatan baru karena ia dan Mira bersatu padu dengan cara mereka sendiri untuk mendobrak kemapanan sistem yang telah menumpulkan masyarakat disekelilingnya akan arti dari sebuah kehidupan

Novel ini sangat baik untuk diapresiasi oleh pembaca yang tak ingin hidupnya terjebak dalam kemapanan . Novel yang sarat dengan ide pemikiran-pemmikiran alternatif ini tersaji dengan baik, antara ide dan cara penyampaiannya tampil seimbang, walau novel ini sarat dengan dialog-dialog antar tokohnya mengenai isu-isu sosial yang menyangkut ekonomi dan budaya, dan tersaji nyaris tanpa klimaks yang berarti, novel ini tidaklah menjadi membosankan karena tersaji dengan kalimat-kalimat bertutur yang enak dibaca dan membuka wawasan baru bagi pembacanya. Seperti halnya tokoh Perang, melalui novel ini cara pandang pembaca pun akan terbuka dengan pandangan baru akan apa yang terjadi dalam berbagai kehidupan sosial yang berlaku pada saat ini.

Di tengah maraknya novel-novel lokal bertema kehidupan remaja/dewasa yang sarat dengan muatan kegalamouran dan keceriannya, hadirnya novel subkultur ini tentunya menawarkan alternatif bacaan baru yang sangat layak dibaca bila kita ingin lebih paham mengenai masalah-masalah sosial dan dunia subkultur dengan segala pernak-perniknya

@h_tanzil