Thursday, January 04, 2007

My Name is Red

Judul : My Name is Red (Namaku Merah Kirmizi)
Penulis : Orhan Pamuk
Penerjemah : Atta Verin
Penyunting : Anton Kurnia
Penerbit : PT. Serambi Ilmu Semesta
Cetakan : I, Desember 2006
Tebal : 725 hlm
Harga : Rp. 89.900,-




Sejarah mencatat, Sultan Ustmaniyah Murat III (1571-1595) dikenal sebagai sultan yang paling tertarik pada buku dan seni miniatur. Di masa kekuasaannya ia memerintahkan para miniaturis (pembuat ilustrasi buku) kenamaan di negerinya untuk membuat Kitab Keterampilan, Kitab Segala Pesta dan Kitab Kemenangan yang dikerjakan di Istanbul. Para miniaturis Ustmaniyah yang paling menonjol, termasuk Osman sang Miniaturis dan murid-muridnya, ikut andil dalam pengerjaan buku ini.

Penggalan sejarah inilah yang oleh Orhan Pamuk (54 thn) - peraih nobel sastra 2006 asal Turki - dijadikan sebagai ide utama novel My Name is Red . Dikisahkan saat itu Sultan menugaskan Enisthe Effendi salah seorang miniaturis (pembuat ilustrasi buku) terkenal untuk membuat sebuah buku rahasia yang dihiasi ilustrasi-ilustrasi indah untuk merayakan kejayaannya. Tindakan sultan ini memotong jalur resmi dimana biasanyaTuan Osman selaku Iluminator Kepala Istana yang diberi wewenang untuk mengerjakan buku-buku Sultan. Dalam mewujudkan proyek sultan ini Enisthe dibantu oleh empat miniaturis lainnya yang masing-masing dikenal dengan julukan ; Elok, Zaitun, Bangau, dan Kupu-kupu.

Novel ini diawali dengan terbunuhnya Elok , salah satu dari keempat miniaturis yang bekerja dibawah pimpinan Enisthe Effendi. Pembunuhan ini menimbulkan keresahan diantara para miniaturis lainnya karena mereka mennganggap hal ini ada kaitannya dengan proyek pengerjaan buku Sultan yang dibuat dengan gaya Eropa yang pada masa itu dianggap sebagai penistaan terhadap ajaran Islam.

Lalu dikisahkan Hitam, salah satu murid dan keponakan Enisthe kembali ke rumah pamannya sepulang dari pengelanannya ke berbagai tempat selama dua belas tahun. Sejak lama Hitam telah menaruh hati pada Shekure, putri “Enisthe”-nya. Sepulang dari pengelanaannya pun ia masih menyimpan cintanya pada Shekure. Sayangnya Shekure telah menikah dan mempunyai dua orang anak. Namun belum pulangnya suami Shekure selama bertahun-tahun dari peperangan membuka peluang bagi Hitam untuk merebut Shekure ke pelukannya.

Di tengah usaha Hitam merebut cinta Shekure dan belum terungkapnya siapa pembunuh Elok, Enisthe terbunuh secara mengenaskan. Namun hal ini tak menghalangi niat Hitam untuk menikahi Shekure. Dengan siasat liciknya akhirnya Hitam berhasil menikahi Shekure, namun Shekure belum mengijinkan Hitam untuk tidur seranjang dengan dirinya hingga Hitam berhasil menemukan siapa pembunuh ayahnya.

Ketika kematian Elok dan Enisthe sampai ke telinga Sultan. Ia memerintahkan Hitam selaku murid Ernisthe dan Tuan Osman selaku kepala bengkel miniaturis Istana mengungkap siapa pembunuhnya. Mereka diberi waktu 3 hari untuk menemukan pembunuhnya, jika gagal nyawa mereka dan para miniaturis lainnya akan jadi gantinya.

Satu-satunya petunjuk yang ditinggalkan pembunuhnya adalah gambar seekor kuda dengan hidung yang terpotong. Hal ini menyeret ketiga miniaturis lainnya (Bangau, Zaitun, Kupu-kupu) menjadi tersangka utama. termasuk Untuk memperkaya penyelidikannya Hitam dan Tuan Osman diizinkan untuk masuk kedalam jantung Istana dimana terdapat ruang penyimpanan harta yang berisi buku-buku berilustrasi indah Kitab Para Raja yang berisi lukisan-lukisan menakjubkan, yang diimpikan bisa dilihat sekali saja oleh para miniaturis selama seumur hidupnya




Novel My Name is Red ini bisa dikatakan novel yang kaya akan perspektif. Novel ini bisa dibaca sebagai novel sejarah peradaban islam, misteri, intrik sosial, dan teka-teki filosofis. Pamuk mengemas kisah dalam novel ini dengan sangat menarik. Narator dalam novel ini berganti-ganti dalam setiap babnya, masing-masing diberi judul sesuai dengan naratornya seperti : Aku Adalah Sesosok Mayat, Aku Akan Disebut Seorang Pembunuh, Aku Dinamai Hitam, bahkan benda-benda matipun menjadi narator dalam novel ini seperti : Aku adalah Sekeping Uang Emas, Aku Adalah Merah. dll. Masing-masing narator bertutur, bercerita dan berargumen mengenai peristiwa pembunuhan dan keadaan di sekelilingnya menurut sudut pandangnya masing-masing. Ada yang realis ada pula yang surealis. Uniknya walau si pembunuh turut menjadi narator, identitas si pembunuh tetap tak terduga hingga bab-bab terakhir.

Di halaman-halaman awal pembaca seolah diajak mengambil kesimpulan bahwa novel ini adalah novel misteri karena Pamuk membukanya dengan bab “Aku Adalah Sesosok Mayat”. Kalimat permbuka novel inipun memikat dan mengundang penasaran pembacanya karena dinarasikan oleh tokoh yang telah meninggal.

Kini aku hanyalah sesosok mayat, sesosok tubuh di dasar sebuah sumur. Walau sudah lama sekali aku menghembuskan napas terakhirku dan jantungku telah berhenti berdetak, tak seorang pun tahu apa yang terjadi padaku, selain pembunuh keji itu
. (hal 17)

Namun Pamuk tak hanya mengajak pembacanya untuk larut dalam cerita misteri pembunuhan, di bagian berikutnya pembaca diajak beralih ke kisah percintaan yang membara antara Hitam dan Shekure, lalu pembaca juga akan disuguhkan debat filosofis yang menarik akibat benturan budaya Timur dan Barat khususnya dalam hal gaya melukis dimana di jaman itu melukis dengan gaya kaum Frank (Eropa) yang menggunakan metode perspektif tiga dimensi dimana benda digambar sebagaimana terlihat oleh mata telanjang dianggap penistaan terhadap agama islam yang hanya boleh membuat gambar/lukisan dengan teknik dua dimensi saja.

Namun yang mengejutkan dari semua itu – sebuah akibat yang wajar dalam memperkenalkan pemahaman Frank dalam lukisan kita – adalah menggambarkan potret sultan kita dengan ukuran sesungguhnya, dan wajahnya dilukiskan dengan semua detailnya! Tepat seperti yang dilakukan para pemuja berhala. (hal 684)




Wajah Sultan Murat III dilukis dalam gaya Eropa
(perspektif tiga dimensi)










Wajah Sultan Murat III dilukis sesuai gaya seniman Ustmaniyah abad ke 16
(perspektif dua dimensi)





Hal ini menimbulkan pro dan kontra, sebagian miniaturis khususnya mereka yang ditugaskan membuat buku Sultan mau tak mau harus membuat lukisan dengan gaya barat sesuai dengan arahan Enisthe, namun sebagian miniaturis senior menolak melukis dengan gaya ini dan rela membutakan matanya sendiri agar tak terpengaruh oleh lukisan gaya Eropa.

Selain kisah misteri, roman, debat budaya dan filosofis, pembaca juga akan disuguhkan detail-detail menarik tentang estetika seni hias buku, sehingga keeksotisan buku-buku berilustrasi yang dibuat di abad 16 dimana buku-buku diberi ilustrasi oleh tangan-tangan terampil para miniaturis terungkap secara indah. Tak ketinggalan beberapa kisah dongeng klasik dunia Timur juga terceritakan di novel ini



Gbr diatas adlh ilustrasi pd buku yang dibuat oleh miniaturis Ustmaniyah abad ke-16

Kesemua elemen di atas membentuk novel ini menjadi rangkaian cerita yang menarik dan enak dibaca. Semua itu diramu secara puitis dan romantis dengan cinta, seks, dan drama.
Beragamnya tokoh-tokoh yang masing-masing menjadi narator dalam buku ini walau awalnya tampak berdiri sendiri, kelak Pamuk akan menyatukan tokoh-tokoh dalam ceritanya dan memberikan kejutan yang tak terduga di akhir ceritanya.

Satu hal yang mungkin akan menjadi pertanyaan pembacanya adalah judul buku ini “My Name is Red (Namaku si Merah Kirmizi), siapa dan apa sebenarnya yang dimaksud si “Merah” dalam judul buku ini ? Memang ada bab tersendiri dimana si Merah ini digambarkan sebagai warna dalam arti yang sesungguhnya. Namun rasanya tak cukup menjelaskan apa dan siapa Merah yang dimaksud dalam judul buku ini. Tampaknya Pamuk sengaja mengajak pembacanya untuk menafsirkan sendiri apa, siapa dan mengapa novel ini diberi judul My Name is Red ?

Rasanya membaca sekali saja novel ini tidaklah cukup, banyak detail-detail menarik yang tetap mengasyikan untuk dibaca berkali-kali. Dan lagi novel ini memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi, tak ditemukan kejanggalan dalam alih bahasanya. Salut untuk kerja keras penerjemah dan editor novel ini (Atta Verin & Anton Kurnia) yang tampaknya telah berhasil mengalih bahasakan novel tebal yang menarik ini dengan baik.

Sedikit yang mungkin dapat menjadi halangan terbacanya novel ini adalah harganya yang relatif mahal (Rp. 89.900,-). Mungkin penerbit perlu lebih menyiasati agar novel yang kaya akan perspektif ini dapat dijual dengan harga yang lebih bersahabat sehingga dapat terjangkau dibeli dan dibaca oleh semua pecinta sastra.

Novel yang berjudul asli Benim Adim Kirmizi yang dikerjakan oleh Orhan Pamuk (penulis asal Turki) selama 6 tahun ini terbit pada tahun 1998. Pada tahun 2001 diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Erdgar M. Goknar sebagai My Name is Red. Tampaknya novel ini diapresiasi dengan baik oleh khalayak sastra dunia, setidaknya novel ini telah diterjemahkan ke dalam 25 bahasa dan dianugerahi berbagai penghargaan sastra internasional, antara lain Prix du Meilleur Livre Etranger 2002 (Perancis), Premio Grinzane Cavour 2002 (Italia), dan IMPAC Dublin Literary Award 2003 (Irlandia). Dan sebagai puncaknya novel ini pula yang turut mengantar Pamuk sebagai peraih nobel Sastra 2006.

@h_tanzil

6 comments:

Anonymous said...

Tolong, memuat berita tentang buku-buku yang baru terbit (walau pun dibaca)!

Anonymous said...

Tolong, memuat berita tentang buku-buku yang baru terbit (walau pun dibaca)!

Anonymous said...

Well, review yg cukup menarik.
Sebenernya saya baru akan menjadikan novel ini sebagai bahan penelitian skripsi, tapi saya belum tau jelas, seperti apa tepatnya isi novel yg notabenene pemenang nobel satra 2006 ini.

TApi, setidaknya blog ini udah membantu saya memahami garis2 besar novel ini secara keseluruhan. Terima kasih.

Anonymous said...

Terima kasih kerana membuat ulasan buku ini(My Name Is Red). Saya dari semenanjung, baca terjemahan inggeris novel ini memang memeritkan, tetapi saudara sudah bantu memahaminya sedikit. terima kasih!!

AKIM IWAN said...

Tertarik untuk baca. Terima kasih telah mengulas.

Nurmila sari said...

Thank you kakak