Judul : Saraswati
Penulis : Kanti W. Janis
Editor : Aries R. Prima
Penerbit : AKOER
Cetakan : I, Sept 2006
Tebal : 175 hlm
Harga : Rp. 49.500,-
Beberapa minggu yang lalu sebuah paket sampai di meja kerja saya. Paket itu ternyata berisi dua buah buku baru dari penerbit AKOER. Satu buku tebal berjudul Digitarium – Baron Leonard, satu lagi buku tipis berjudul Saraswati karya Kanti W. Janis.
Siapa Baron Leonard dan Kanti W Janis ?. Setelah membaca sedikit keterangan tentang penulisnya di sampul belakang kedua buku tersebut, barulah saya tahu bahwa kedua penulis ini adalah penulis muda yang masing-masing baru melahirkan novel perdananya. Salut untuk penerbit AKOER yang konsisten memberi kesempatan kepada penulis-penulis baru untuk menerbitkan karyanya. Sebelumnya sudah ada dua nama yang novel perdananya diterbitkan oleh AKOER yaitu Akmal Nasery Basral – Imperia, dan Andhika Pramajaya – Narkobar, The Motivator
Setelah menimang-nimang mana dulu yang akan saya baca, akhirnya saya memutuskan membaca terlebih dahulu novel Saraswati karena lebih tipis, dan juga karena saat ini saya sedang membaca novel tebal – The Historian (Elizabeth Kostova). saya juga tertarik dengan endorsment dari penerbit di cover belakang buku Saraswati yang ditulis sbb :
“Terus terang kami terperangah ketika membacanya pertama kali. Secara tradisi biasanya kisah cinta, hanya memiliki 2 akhir penyelesaian. Apakah berakhir dengan “happy ending” atau tragedi perpisahan. Dalam Saraswati, Kanti keluar dari jalur tradisi ini. Secara tidak terduga Kanti menawarkan klimaks alternatif yang baru.”
Tak membutuhkan waktu yang lama untuk membaca novel ini. Saraswati menceritakan persahabatan dan kisah cinta antara Saraswati dengan Disam. Saraswati adalah anak tunggal dari pasangan suami istri yang berasal dari Bali, sedangkan Disam seorang peranakan Belanda yang ayahnya berasal dan berkebangsaan Belanda.
Persahabatan mereka berawal saat mereka masih kecil dimana Disam (10 tahun) terjatuh dari sepedanya tepat di depan rumah Saraswati yang pada saat itu berusia 15 tahun. Dengan telaten Saraswati merawat luka-lika Disam, dan semenjak itulah mereka bersahabat. Disam memiliki keluarga yang tidak harmonis, ayah dan ibunya kerap bertengkar, sedangkan Saraswati selalu merasa kesepian karena kedua orang tuanya sering bepergian. Untuk mengusir kesepiannya Saraswati mengisi hari-harinya dengan melukis. Disam yang depresi akibat keluarganya dan Saraswati yang selalu kesepian membuat persahabatan mereka kian kental. Namun sayangnya persahabatan mereka terputus secara tiba-tiba Saraswati menghilang begitu saja dari rumahnya tanpa memberi kabar pada Disam.
Setelah persahabatan mereka terputus berbagai kejadian menimpa keluarga mereka. Orang tua Disam bercerai, sedangkan kedua orang tua Saraswati meninggal karena kecelakaan. Namun mereka berhasil keluar dari masa-masa sulitnya dan menjalani kehidupannya masing-masing. Saraswati tetap melukis sambil bekerja di sebuah galeri lukisan. Disam dengan bermodal wajah indonya yang tampan menjadi seorang model.
Setelah tujuh tahun kehilangan kontak, tiba-tiba mereka bertemu kembali. Pertemuan ini menjalin kembali persahabatan antara mereka berdua yang sempat terputus selama tujuh tahun. Karena bukan lagi anak kecil, persahabatan mereka lambat laun menumbuhkan benih-benih cinta diantara mereka. Namun baik Disam maupun Saraswati belum menyadari sepenuhnya apakah mereka benar-benar saling mecintai atau tidak.
Belum yakin dengan apa yang mereka rasakan, Saraswati kedatangan ‘tuniang’-nya (nenek) bersama seorang pria (Bisma) yang merupakan cucu dari sahabat Tuniang di Bali. Rupanya kedatangan Tuniang bersama Bisma ke Jakarta memiliki misi tersembunyi. Tuniang ingin agar Saraswati berkenalan dengan Bisma dan menjodohkannya. Hadirnya Bisma membuat cemburu Disam hingga akhirnya Disam maupun Saraswati menyadari bahwa sesungguhnya benih cinta diantara mereka telah tumbuh.
Sayangnya Saraswati labil dalam pendiriannya, disatu pihak ia mencintai Disam, dilain pihak ia ingin membahagiakan Tuniang sebagai pengganti kedua orangtuanya yang telah meninggal.
Cerita terus bergulir. Siapa yang akhirnya akan dipilih Saraswati ?
Tema cinta dalam novel ini menurut saya sebuah tema yang umum. Walau ditulis oleh seorang novelis baru, kisahnya ditulis dengan lancar dan mengalir. Pergulatan batin antara Disam dan Saraswati tersaji dengan menarik dan mampu mengajak pembacanya memahami apa yang mereka rasakan.
Di pertengahan cerita penulis mengajak pembacanya untuk berjalan-jalan ke Bali sambil menyaksikan prosesi ngaben seorang puteri raja Bali. Bagi saya, ini nilai tambah dari novel ini. Dengan agak mendetail penulis mendeskripsikan prosesi ngaben sehingga memberi pengetahuan baru bagi saya mengenai prosesi sakral yang sudah menjadi obyek wisata yang paling banyak diminati oleh para turis dalam dan luar negeri. Seandainya bagian ini dieksplorasi lebih dalam lagi tentunya akan lebih menarik
Lalu bagaimana dengan endingnya yang dikatakan keluar dari tradisi kisah cinta?
Endingnya memang tak terduga, namun saya tak melihatnya sebagai sesuatu yang istmiewa seperti yang dikatakan oleh penerbit pada deskripsi novel ini sebagai ending yang keluar dari tradisi kisah cinta.
Mungkin saya yang salah, atau kurang peka dalam mengapresiasi novel ini khususnya dalam endingnya. Karena itu saya mengajak teman-teman yang telah membaca novel ini untuk mendiskusikan lebih lanjut. Apakah benar novel ini memiliki ending yang tidak biasa?
Namun telepas dari soal endingnya. Saya menilai bahwa novel ini adalah novel yang baik dan enak dibaca. Sebagai novel perdana Kanti W janis, novel ini merupakan modal awal yang sangat baik untuk profesinya sebagai seorang penulis. Jika dilihat dari gaya berutur, penggunaan kalimat-kalimat narasi dan dialognya, semua itu mampu menyeret pembacanya kedalam kompleksnya kisah percintaan antara dua pribadi yang memiliki masa lalu yang kelam.
Siapa sebenarnya penulis novel ini ?
Sayang tak ada keterangan yang cukup mengungkapkan jati diri penulisnya selain nama lengkapnya, foto, dan sebaris kalimat yang menyatakan bahwa Kanti W Janis adalah penulis belia dan Saraswati adalah novel perdananya.
Padahal setiap saya membaca sebuah buku, hal pertama yang saya lihat selain judul, sinopsis, endorsment,dll, saya selalu membaca bagian biodata penulisnya dimana saya akan mendapat informasi tentang penulisnya seperti pengalaman menulisnya, apa akitivitasnya disamping menulis, dikota mana ia tinggal, dll. Mungkin bagi sebagian bagian ini bukanlah hal yang penting, namun bagi saya biodata penulis adalah hal yang perlu saya ketahui sebelum membaca karyanya. Biodata penulis adalah salah satu cara penulis menyapa saya selain dari karyanya sendiri. Dan lagi, bukankah pembaca berhak mengetahui lebih dari sekedar nama penulis dari sebuah buku yang sedang dibacanya…?
@h_tanzil
6 comments:
Hi, terima kasih ya atas reviewnya. Tadi saya baru dpt e-mail dari publisher saya, dia bilang ada yang review Saraswati, begitu saya baca kok nama penulisnya familiar, saya langsung sadar kalo ternyata kita satu milis ya di MembacaPramoedya, tapi saya cuma pengamat aja.Saya juga baca buku-buku Pram, tapi baru pemula, saya pingin bisa nulis seperti dia, yg membuat pembacanya semakin mencintai bangsa dan tanah air ini. Sekali lagi terima kasih ya!
ada yang bilang: lihatlah isinya, bukan siapa yang mengatakan-nya
tentu,ini akan patah jika dihubungkan dengan dalil agama. tapi sebuah karya sastra, pasti bukan di wilayah itu.
Wah, kita satu milis di mp ya...?
Sekali lagi selamat untuk novel perdananya ya....
Saya penasaran dengan biodatamu tuh...
Bisa diliat di friendster saya biodatanya, hihihi. http://www.friendster.com/6395839
mau dong ikutan milis membaca pramudya.. krn saya lagi belajar menulis. Klo boleh, invite saya di nyun2@yahoo.com
Menarik ya setting novel Saraswati itu. Mungkin nanti saya akan cari novelnya. Krn pengen tahu juga ttg budaya Bali.
Makasih atas reviewnya, Pak Tanzil :D
Post a Comment