Judul : Dari Penjara Taliban Menuju Iman
Penulis : Anton Kurnia
Penerbit : PT. Mizan Pustaka
Cetakan : I, Maret 2007
Tebal : 190 hal
Harga : Rp. 25.000,-
Wartawati Yvonne Ridley Kembali ke Inggris
Kamis, 11 Oktober 2001 London, Sinar Harapan
Wartawati Inggris Yvonne Ridley, yang ditahan dan kemudian dibebaskan oleh pemerintah Taliban yang berkuasa di Afghanistan, hari Rabu kembali ke London dan berkumpul kembali dengan keluarganya. Ridley, 43, tak mengatakan apa-apa kepada para wartawan yang menunggu setelah tiba di bandara Heathrow di luar London. Seorang juru bicara The Sunday Express, tempat ia bekerja, mengatakan ia akan menemui keluarganya, termasuk anak perempuannya yang berusia sembilan tahun bernama Daisy. Ridley ditahan di dekat kota Jalalabad, Afghanistan timur laut pada 28 September, yang berpakaian cadar dan tanpa dokumentasi, setelah melintasi perbatasan dari Pakistan untuk melaporkan krisis pengungsi. Dua pemandu wisata bersamanya juga ditahan. Tak jelas pada hari Rabu bagaimana nasib mereka. (AP/ren)
Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/berita/0110/11/lua05.html
Yvonne Ridley, jurnalis terkemuka asal Inggris. Namanya mencuat diberitakan di media-media massa ketika ia disandera oleh tentara Taliban pada tahun 2001. Setelah dibebaskan dan kembali ke Inggris, ia menjadi seorang mualaf dan berjuang membela Islam dan membebaskan belenggu Islamofobia yang melanda dunia barat.
Bagaimana perjalanan hidup Yvonne Ridley hingga menjadi mualaf dan kini dikenal sebagai pembela Islam di barat ? Buku karya Anton Kurnia yang diberi judul “Dari Penjara Taliban Menuju Iman” ini ditulis berdasarkan kisah nyata Yvonne Ridley, bagaimana perjalanan hidup Yvonne sebelum ditangkap tentara Taliban hingga kehidupannya kini.
Di tahun 2001, menjelang serangan Amerika Serikat dan para sekutunya terhadap Afgahnistan, Yvonne pernah mengejutkan dunia ketika ditangkap oleh tentara Taliban saat melakukan tugas jurnalistiknya. Yvonne dibebaskan setelah sepuluh hari ditahan oleh penguasa Taliban.
Pengalamannya menjadi tahanan Taliban yang digembar-gemborkan sebagai rezim yang paling sadis di muka bumi ini sangat membekas dalam kalbunya dan mengubah jalan hidupnya. Di luar dugaan orang, selama dalam tahanan,Yvonne mendapat perlakuan yang baik dari penguasa Taliban. Secara mental memang ia menderita dan harus melalui jam-jam interogasi yang melelahkan. “Mereka mencoba mematahkanku secara mental dengan menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang sama terus menerus, hari demi hari, terkadang sampai pukul 9 malam,” (hal 80). Namun, diluar itu ia tak mendapat perlakuan kasar dan siksaan fisik dari tentara-tentara Taliban, malah ia mendapat perlakuan yang baik sebagai seorang tawanan. “Aku bertaruh bahwa orang-orang berpikir aku disiksa, dipukuli, dan mengalami perundungan seksual. Padahal aku diperlakukan dengan baik dan penuh hormat.” (hal 81).
Apa yang dialaminya menyadarkannya bahwa orang-orang Taliban tak seseram yang diberitakan oleh media-media barat. Beberapa saat sebelum dibebaskan ia didatangai oleh seorang Mullah yang menanyakan agama Yvonne dan apa pendapatnya tentang Islam. Dengan tegas ia mengatakan bahwa ia adalah penganut Kristen Protestan dan Islam menurutnya adalah agama yang memesona dan dia mengagumi para pemeluk agama Islam yang memiliki gairah yang luar biasa terhadap keyakinan mereka. Yvonne juga menambahkan bahwa ia berjanji akan mempelajari dan mencari tahu banyak soal Islam setelah kembali ke London.
Yvonne, menepati janjinya. Sekembalinya ke Inggris, ia mulai mempelajari Al-Quran dan bertanya pada orang-orang yang mengenal Islam. Dua tahun kemudian, Yvonne yang sebelumnya hidup secara sekuler dan penganut hidup bebas ini menyatakan diri masuk Islam. Setelah memeluk Islam kehidupan Yvonne berubah total. Pandangan-pandangannya terhadap Islam mulai berubah. Ia menata kembali kehidupannya dan menemukan jalan baru, yaitu sebagai pembela Islam sesuai dengan kapasitasnya sebagai jurnalis. Ia berhenti dari The Sunday Express dan bekerja untuk Al-Jazeera dan beberapa media Islam lainnya. Kini ia dikenal luas sebagai seorang kolumnis yang vokal dalam membela Islam dan mencoba membebaskan belenggu Islamofobia yang melanda dunia Barat saat ini.
Buku ini secara lengkap memuat kisah Yvonne baik sebelum, pada saat, dan setelah ditangkap oleh tentara Taliban, hingga aktifitasnya saat ini. Untuk kisah hidupnya hingga ditangkap oleh tentara Taliban, Yvonne telah menulis memoarnya yang berudul “In The Hands of the Taliban : Her Extraordinary Story. (2001). Selain itu ia juga menulis novel fiksi yang diilhami dari pengalamannya yang diberinya judul Ticket to Paradise (2003). Kedua buku ini ditulisnya sebelum ia menjadi seorang Muslim.
Bagaimana pengalamannya setelah ia dibebaskan dan menjadi muslim dan apa aktifitasnya kini? Rasanya belum ada yang menulisnya secara khusus dalam sebuah buku. Paling-paling kisahnya dapat ditemui di wawancara-wawancara dengan sejumlah media, ceramah-ceramahanya, dan jurnal-jurnal rohani Islam. Tidak adanya buku yang memuat kisah hidup Yvonne secara lengkap termasuk perjalanan ziarahnya menjadi seorang Muslim dan sepak terjangnya hinga kini inilah yang menggerakkan penerbit Mizan dan Anton Kurnia untuk membuat buku ini.
Buku ini ditulis dengan simpel. Kalimat-kalimat yang digunakan Anton sederhana. lugas dan enak untuk dibaca sehingga menggiring pembacanya untuk terus membaca buku ini hingga habis. Hal ini juga didukung oleh lay out buku ini yang terkesan simpel disertai beberapa foto pendukung yang membuat pembaca betah untuk menelusuri kehidupan Yvonne Ridley . Sebagai pelengkap, buku ini memuat kutipan wawancara situs cagerpisoner.com dengan Yvonne Ridley. Dan di akhir buku ini terdapat pula teks naskah ceramah Yvonne Ridley di Global Peace & Unity Conference 2006, London (30/11/2006)
Selain kisah kehidupan dan ziarah batin Yvonne dalam menemukan keyakinan barunya, pembaca juga akan mendapat banyak informasi mengenai lanskap Afghanistan, beserta perilaku tentara-tantara Taliban yang tidak sekeji yang diberitakan media massa. Di bab-bab terakhir buku ini pembaca akan disuguhkan pandangan-pandangan dan perjuangan Yvonne dalam membela Islam yang disampaikan secara lugas dan lantang termasuk ketika menghantam kebijakan Amerika dan Inggris yang kerap memperlakukan negara-negara Islam dengan tidak adil.
Sayangnya, buku ini tak mengungkap sisi kehidupan Yvonne yang dikatakan setelah menjadi seorang muslim menjadi pribadi yang lebih toleran terhadap orang lain (hal 115). Dalam aktivitasnya setelah menjadi muslim, di buku ini kita hanya akan membaca bagaimana dia membela Islam dan menyerang pandangan-pandangan barat yang negatif terhadap Islam. Sedangkan sisi kehidupannya yang dikatakan menjadi toleran terhadap orang lain tak terungkap dalam buku ini.
Walau buku ini banyak mengungkap kisah beralihnya keyakinan seorang perempuan Barat menjadi muslimah, dan berisi berbagai pandangan-pandangan Islam menurut kacamata Yvonne Ridley sebagai seorang pembela Islam di barat. Bukan berarti buku ini adalah sebuah ‘buku dakwah” yang hanya ditujukan kepada pembaca Muslim. Buku layak dibaca siapa saja. Anton Kurnia dalam kata pengantarnya mengatakan bahwa “Kisah hidup Yvonne Ridley mengandung hikmat universal yang bisa dimaknai oleh siapa pun yang mau membacanya” (hal 8).
Setidaknya kisah kehidupan Yvonne Ridley bisa menjadi contoh bagaimana jalan hidup seseorang sesungguhnya susah ditebak. Siapa yang menyangka jika Yvonne yang dahulu ini hidup secara bebas, gemar berpesta, akrab dengan rokok dan alkohol ini bisa berubah menjadi seorang pembela Islam yang gigih. Bukan pilihan yang tanpa resiko, selain mendapat tantangan dari keluarga dan teman-temannya. Yvonne juga harus menghadapi pandangan masyarakat di negaranya akan citra Islam yang buram dan selalu dicurigai dengan berbagai hal yang negatif.
Kegigihan dan keberanian Yvonne dalam membela keyakinnya di tengah arus yang berlawanan bisa juga menjadi inpspirasi bagi siapapun yang berjuang untuk membela keadilan, bagaimanapun caranya, dimanapun, dan sesulit apapun keadaannya.
@h_tanzil
3 comments:
sekitar 3 bulan lalu, Anton Kurni bertanya apa aku punya buku2 ttg Afghan. Aku bilang punya. Aku berikan ke dia salah satu. Aku gak tahu buat apa. Eh, ternyata jadi buku ini toh. Hehehehe....
Menurutku, Afghan dan Indonesia itu punya akar sejarah yang penuh dengan luka, konflik, dendam dan pengkhianatan.
Terutama Afghan, kita tak bisa membayangkan "public sphere" seperti yang dibayangkan Habermas bisa muncul di Afghan. Afghan, seperti juga Indonesia, bukan Eropa.
Public sphere di mana muncul satu ruang dialektis yang bisa memertemukan semua kepentingan, semua ide dan konsep bak sebuah pertemuan makan malam di meja makan keluarga yang hangat.
Kita, seperti juga Afghan dan yang lain, bukan sebuah meja makan yang rapi.
SAYA NOVIA MAHASISWI, BOLEHKAH SAYA NGOPI PASTE RESENSI ANDA UNTUK MAJALAH ISLAM DI KAMPUS SAYA? AKAN SAYA TAMPILKAN SUMBERNYA, TRIMAKASIH
synovial_oi@yahoo.com
maaf saya bingung memberi identitasnya, itu imel saya
Post a Comment