Judul : Kota Tanpa Kelamin
Penulis : Lan Fang
Penyunting : A.S. Laksana
Penerbit : Mediakita
Cetakan : I, 2007
Tebal : 148 hal
Lan Fang, perempuan pemuja mandi yang suka bangun siang ini termasuk pengarang yang produktif. Mungkin mandi dan bangun siang berpengaruh pada derasnya proses kreatif menulisnya yang terus mengalir tanpa henti. Lihat saja, sejak tahun 1986 hingga kini cerpen-cerpennya mengalir dan dimuat di sejumlah koran dan majalah. Pada tahun 2003 lahirlah novel pertamanya Reinkarnasi (Gramedia, 2003). Semenjak kelahiran buku pertamanya, karya-karya berikutnya seolah tak terbendung untuk diterbitkan, Pai Yin (Gramedia,2004), Kembang Gunung Purei (Gramedia,2005), Laki-laki yang Salah (Gramedia, 2006), Perempuan Kembang Jepun (Gramedia,2006), Yang Liu (Bentang, 2006). Dan yang teranyar adalah kumpulan cerpen Kota Tanpa Kelamin (Mediakita,2007).
Kota Tanpa Kelamin, merupakan kumpulan cerpen yang berisi 12 cerpen yang memiliki keragaman tema baik yang realis maupun yang surealis. Cerpen Kota Kelamin Itu Kosong yang dijadikan judul buku ini merupakan cerpen surealis. Kisahnya menceritakan tokoh Lan Fang, seorang penulis yang berada di sebuah tempat yang aneh ;
Ia berada di sebuah tempat di mana aku banyak sekali berpapasan dengan penis, vagina, tetek, pentil, selangkangan. Mereka semua hilir mudik, lalu lalang, mondar-mandir dengan bentuknya yang beragam. Ada penis yang tertunduk malu-malu, mencuat marah, tegang, lalu muntah-muntah…..(hal 136)
Di tempat tersebut Lan Fang bertemu dengan pengarang Hudan yang memberitahunya bahwa ia berada di Kota Kelamin. Lalu terjadilah dialog filosofis soal kekosongan antara Lan Fang dengan Hudan ;
“Bukankah kosong justru memberimu ruang lebih lama untuk mengontrol kekosonganmu. : (hal 138)
kekecewaan dan pertanyaannya pada Tuhan ;
Oh! Apakah Tuhan begitu arogan? Dia hanya bersemayam di dalam masjid, gereja, pura, vihara, kelenteng, mushola, dan Dia tidak mau menoleh kepadaku yang sedang dalam keadaan sekarat terkapar di jalan yang basah karena hujan meleleh dari tingkap-tingkap langit. (hal 142)
Dan hubungan antara kekosongan dengan Tuhan ;
Aku tidak mau kekosongan itu berkuasa atas diriku. Kosong bukan Tuhan. Tetapi Tuhan ada di dalam kosong. Aku harus mencari-Nya. Lalu aku menggeliat dan membentuk, mengisi kosong itu. Aku mencari Yang Maha.(hal 146)
Cerpen yang terinspirasi oleh karya Hudan Hidayat (Tuan dan Nyonya Kosong) ini memang bukan cerpen yang mudah dicerna karena sarat dengan dialog-dialog filosofis. Klimak di cerpen ini adalah puncak kebingungan ketika seseorang menemui kejenuhan dan kekosongan yang sempurna. Setelah lama terlarut di kota kelamin, ternyata hanya “kekosongan” yang didapat.
Selain cerpen di atas , ada juga cerpen yang terinspirasi oleh karya pengarang lain. Yaitu cerpen “Saya Bukan Olenka” yang mengingatkan orang pada tokoh Olenka dan Fanton Drummond. Cerpen ini mengisahkan tokoh ‘saya’ yang terobsesi dengan Panton.
Saya ingin seperti Olenka yang bisa begitu saja meninggalkan Fanton Drumond sehabis menciumi, menggigit, dan menghisap seluruh darah di tubuhnya. (hal 104)
Karena obsesinya ini, tokoh dalam cerpen ini akhirnya hidup dalam situasi yang serba kalut karena Panton ternyata mengambil semangat hidupnya.
Masih banyak kisah-kisah lain dalam buku ini. Walau didominasi oleh kisah-kisah cinta dimana biasanya tokoh prianya digambarkan sebagai tokoh yang tidak setia, ada juga kisah yang unik seperti Si Otong dan Putri Bulan yang mengambil sudut pandang seeokor anjing, atau cerpen Anak anjing Berkepala Kambing yang memiliki ending yang menghentak dan mengejutkan.
Masih menjadi ciri khas Lan Fang, keseluruhan cerpen-cerpennya ditulis dengan tuturan yang beragam , kadang terkesan puitis, seperti yang terdapat dalam cerpen “Pantat”
“Delapan mulut menganga di dalam sebuah petak reyot dari bambu di pnggir jalan yang setiap saat bisa digusur. Delapan mulut dahaga menunggu air tetes air jemariku yang kasar menerima jatah cuci dari rumah ke rumah. Delapan hati memendam berbagai rasa yang tidak terurai dari delapan pasang mata yang tidak pernah punya mimpi tentang hari esok, karena setiap hari yang dilihat dan dirasakan hanyalah kemiskinan (hal 94)
pada cerpen “Saya Bukan Olenka” mengumbar kemarahan yang meledak-ledak,
Saya jengkel dan ingin meninju hidung Panton. Dengan sekali tinju saja pastilah hidungnya remuk. Saya juga ingin mengobok-ngobok mulutnya yang selalu berbicara besar, lalu menarik lidahnya keluar dari rongga mulut itu, (hal 104)
Selain itu, banyak metafora-metafora yang digunakan untuk menggiring pembaca masuk dalam emosi cerita, seperti yang terungkap dalam cerpen “Ampas”
Aku membutuhkan dia di dekatku pagi sampai malam sampai pagi lagi seperti Fanton Drummond membutuhkan Olenka. Bukan sekedar menjadikan tubuhnya seperti sebuah peta yang kugelar di mana saja dan kutelusuri setiap lekuk ceruk bukit, ngarai, lembah, dan rel kereta api atau sekedar bermain seluncur. Tapi Ia benar-benar peta hidupku. Aku membutuhkan isi kepala dan hatinya, sebagai peta semangatku.
(hal 25).
Sebagian besar cerpen-cerpennya memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi, buka tak mungkin buku ini akan habis terbaca dalam sekali duduk. Hanya saja yang mungkin membuat pembaca agak tersendat adalah cerpen-cerpen yang surealis seperti : cerpen Kota Kelamin Itu Kosong, Si Otong dan Putri bulan, dll dimana jika pembaca gagal mengartikannya, maka cerpen-cerpen itu hanya sekedar rangkaian kalimat yang berisi kisah aneh tanpa makna.
Dari segala apa yang ada dalam buku ini, ada beberapa ‘keunikan’ yang tidak biasa kita jumpai dalam buku-buku kumpulan cerpen, yaitu :
- Tidak adanya daftar isi. Tentu saja hal ini menyulitkan pembaca jika ingin membaca ulang cerpen-cerpen pilihannya
- Tidak adanya jejak cerpen. Biasanya cerpen-cerpen yang dibukukan pernah dipublikasikan di berbagai media cetak. Apakah seluruh cerpen dalam buku ini belum pernah dipublikasikan ? Setahu saya cerpen Anak Anjing berkepala Kambing pernah dimuat di Koran PR beberapa bulan yang lalu.
- Biasanya yang dijadikan judul buku kumpulan cerpen adalah judul salah satu cerpen yang ada dalam buku tersebut. Pada buku ini, judul cerpen yang dijadikan judul buku berubah dari “Kota Kelamin Itu Kosong” menjadi “Kota Tanpa Kelamin”
Apakah beberapa keunikan tadi memang disengaja ?
Namun dari segala kisah-kisah yang tersaji dan keunikan penyajikan buku ini, cerpen-cerpen Lan Fang dalam buku ini yang dieditori oleh A.S Laksana tetap menarik dan enak untuk dinikmati sambil menyeruput secangkir teh hangat di sore hari.
@h_tanzil