Saturday, November 17, 2007

Lelakon

Judul : Lelakon
Penulis : Lan Fang
Editor : Hetih Rusli
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, Sept 2007
Tebal : 269 hal
Harga :

Lelakon adalah karya ke delapan dari penulis produktif asal Surabaya – Lan Fang. Dari kedelapan karya-karyanya tersebut, saya sudah membaca 5 karyanya : Kembang Gunung Purei, 2005), Laki-Laki yang salah (2006), Perempuan Kembang Jepun (2006), Kota Tanpa Kelamin (2007), dan Lelakon (2007). Dari kelima karya yang sudah saya baca tersebut, menurut saya, Lelakon-lah yang paling sulit saya cerna. Kisahnya sendiri masih bisa saya nikmati hingga lembar terakhir, namun yang sulit adalah menangkap makna dari apa yang ingin disampaikan Lan Fang dalam novel terbarunya ini. Sebuah ulasan yang dimuat di buku ini yang ditulis Audifax yang berjudul “Tentang Lelakon” tak juga membuat saya bisa memahaminya, malahan bahasan secara psikologis yang diurai oleh Audifax membuat saya semakin bingung.

Untunglah resensi buku ini yang dimuat di Jawa Pos yang ditulis oleh psikolog asal Surabaya, Maria Dian membuat saya terbantu dalam memahami makna dari novel ini. Resensi yang ditulis dari sudut pandang resensor sebagai seorang psikolog ini mengungkapkan bahwa lelakon adalah novel yang menceritakan pencarian jati diri para tokoh-tokohnya. Sebuah kisah yang menceritakan secara gamblang perasaan (emosional) ''jati diri'' ketika diri yang sesungguhnya harus berhadapan dengan realitas yang pahit-kejam-bengis-tiada ampun. Sebuah kisah yang apa adanya membuka-mengeksplorasi-mendudah isi hati yang terdalam, yang paling benar, yang paling jujur: hati nurani.

Novel ini diawali dengan kisah tokoh Mon, seorang wanita mantan penjaga meja kasino kini hidup terjerat oleh hutang. Mon kelak berkenalan dengan Buang. Awalnya Buang diajaknya bermain taruhan dengan kartu-kartu hingga mereka hidup bersama. Lambat laun Mon bosan bermain kartu dengan Buang namun Buang memaksanya untuk terus bermain. Mon menjadi muak dengan Buang hingga akhirnya mereka bertengkar dengan hebat. Mon harus kehilangan tiga buah ujung2 jarinya yang mrotol karena digigit oleh Buang. Buang sendiri harus kehilangan lidahnya yang ditarik putus oleh Mon, selain itu dua buah bola matanya juga menggelinding ke lantai karena dicongkel oleh Mon.

Gambaran pertengkaran antara Mon dan Buang benar-benar mengerikan, dan tampaknya sengaja dibuat dengan sedikit berlebihan oleh Lan Fang. Dari sini saya baru sadar kalau novel ini bukan novel yang realis melainkan semi surealis. Hal ini semakin yakin setelah masuk kedalam bab Bola Kristal yang mengisahkan seorang wanita kaya bernama Bulan yang bosan dengan hidupnya dan bertukar tempat dengan Fantasi, wanita yang terperangkap dalam bola kristal milik Bulan.

Lalu ada lagi tokoh Marbuat, lelaki yang memiliki istri yang bernama Ratu Demit yang seusai dengan namanya adalah istri yang mengerikan, berwajah genderuwo dengan rambut kusut masai, tak pernah mengurus suaminya dan selalu menguasai Marbuat sehingga Marbuat menjadi lelaki yang takluk dibawah ketiak istrinya.

Lalu ada tokoh Tongki, lelaki kaya yang memperkaya dirinya dengan menipu orang-orang disekitarnya.
Kelak tokoh-tokoh itu akan bertemu dan merangkai sebuah kisah dengan lakonnya masing-masing. Fantasi akan bertemu dengan Marbuat, dan Tongki akan bertemu dengan Mon.
Konflik demi konflik akan bergulir silih berganti, kemarahan tokoh-tokohnya terhadap pasangan-pasangannya dan kehidupannya terungkap dengan emosional dan meledak-ledak. Nyaris tak ada kebahagiaan dalam novel ini kecuali kepedihan hidup akibat kemiskinan, konflik antar pasangan, dll. Ada yang berambisi menjadi kaya, , ada yang bosan hidup dalam sebuah kehidupan yang tertata rapi, lalu ada pula yang puas puas menjadi parasit (pencuri/penipu) hidupnya.

Seperti yang sering terdapat dalam karya-karya Lan Fang, tokoh lelaki dalam karya-karyanya adalah lelaki brengsek dan pecundang. Tokoh Angin Puyuh adalah tipe lelaki yang maunya dilayani dan kerjanya hanya mononton TV, Tongki, laki-laki penipu yang bersembunyi di ketiak istrinya, Marbuat laki-laki yang tak berdaya melawan kebuasan dan ketidakpedulian istirnya, Ratu Demit. Pengetahuan Lan Fang terhadap kisah-kisah wayang seperti yang selalu ia selipkan di tiap karya-karyanya kini mendapat porsi yang cukup banyak. Kali ini Lan Fang memadukannya dengan imajinasi liarnya dan kemarahannya pada laki-laki. Dalam novel ini tokoh-tokoh perkasa dalam dunia wayang seperti Yudistira,, Bisma, Arjuna dipermalukan kehidupan seksnya dengan mengungkap bawa Yudistira ternyata impoten. Bima menderita ejakulasi dini, Arjuna menderita penyakit raja singa, sedangkan Nakula dan Sadewa adalah pasangan cinta sesama/gay. Entah apa yang ada dalam benak Lan Fang. Lan Fang seakan memendam kemarahan yang meledak-ledak terhadap lelaki (benarkah demikan Lan Fang ?)

Selain mengungkap konflik antar tokoh-tokohnya, ada satu bagian kisah yang menurut saya paling menarik dan memberi pelajaran berharga bagi pembacanya, yaitu kisah ketika tokoh Mon berguru kepada Tongki, seorang penipu yang menjadi parasit bagi orang lain dan memperkaya dirinya dengan cara meminta-minta tanpa malu-malu. Setelah berguru pada Tongki, Mon berniat mempraktekkan ilmu agar menjadi kaya yang telah diperolehnya Namun alih-alih sukses menerapkan ilmu Tongki, Mon menemui sejumlah pelajaran berharga bahwa cara-cara yang dilakukan Tonki ternyata tidaklah sesuai dengan hati nuraninya.

Tongki mengajarkan bahwa salah satu cara menjadi karya adalah dengan bersikap diam dan membiarkan orang lain yang membayar makan dan minumnya. Mon mencobanya ;
Setiap kali bila berkumpul dengan banyak orang, ia diam saja, tidak minum, tidak makan, juga tidak mengeluarkan uang. Maka orang lain akan membelikannya minuman dan menawari makan. Ketika semua selesai makan, dilihatnya orang-orang berebut mengeluarkan uang untuk membayar makanan dan minuman. Mereka saling mendahului untuk membayar satu sama lain. Cuma ia yang berdiam diri. Setelah usai, ia melihat orang-orang itu bersalaman dengan enyum lebar. Mereka membuat jalinan persahabatan dengan ikhlas….

Maka di lain waktu ia juga bergantian membayar makanan dan minuman. Ternyata kegembiraan juga mengalir di hatinya ketika ia bisa ikut bercerta tertawa sambil menikmati kudapan bersama-sama. Kehangatan itu ada ketika bisa saling berbagi. (hal 179, 180)

Atau ketika Mon hendak menerapkan ajaran dari Tongki yang menyatakan bahwa jika hendak kaya maka ia harus belajar meminta, ternyata lidah dan mulutnya menyatakan bahwa “Kenapa harus meminta bila bisa memberi? Bukankah lebih terhormat memberi daripada meminta? Dan ketika ia memberi, matanya melihat bahwa orang-orang tersenyum kepadanya. Orang-orang yang menerima pemberian dengan mata sumringah dan mata berbinar. Selain itu ternyata dengan memberi ia tidak menjadi kekurangan malah manjadi kelimpahan. (hal 180-181)

Demikian salah satu hal menarik yang terdapat dalam novel ini. Terlepas dari kegagalan saya menangkap makna dari novel ini secara kekeseluruhan, saya rasa Lan Fang tampak semakin matang dalam merangkai kalimat menjadi sebuah kisah yang menarik. Kalimat-kalimatnya mengalir dengan lancar, enak dibaca dan kerap dihiasi kalimat-kalimat yang puitis dengan metafora yang mengagetkan. Selain itu Lan Fang tak jarang juga menggunakan kalimat-kalimat yang meledak-ledak terlebih ketika mengungkapkan kemarahan dari tokoh-tokohnya hingga membuat emosi pembacanya naik turun bak menaiki sebuah roller coaster.

Hanya saja saya koq jadi mulai jenuh dengan tema kepedihan hidup karena kemiskinan dan kemarahan Lan Fang pada lelaki yang selalu terungkap dalam karya-karyanya belakangan ini. Seorang kawan yang juga kerap membaca karya-karya Lan Fang mengeluhkan pada saya bahwa ia ‘capek’ membaca karya-karya Lan Fang yang sarat dengan kemarahan. Saya khawatir Lan Fang akan terlena berkarya dalam tema-tema serupa. Bukan berarti tidak menarik, namun saya berharap di karya-karya berikutnya ada keragaman tema yang diangkat dengan tetap mempertahankan gaya dan kekhasan kalimat-kalimat Lan Fang yang selalu menarik dalam berkisah.


@h_tanzil

No comments: