Penulis : Paul Stewart & Chris Riddell
Penerjemah : Meithya Rose Prasetya
Penerbit : Matahati
Cetakan : Des, 2008
Tebal : 462 hlm
Stromchaser adalah buku kedua dari seri fantasi “The Edge of Chronicle” yang kisahnya merupakan kelanjutan dari buku “Beyond the Deepwoods” (Matahati, 2007). Kali ini Twig, putra sang perompak Langit, Cold Wolf telah berusia 16 tahun dan ikut serta dalam perjalanan ayahnya mengarungi langit The Edge dengan perahu langit yang diberi nama Stormchaser (Pemburu Badai).
Dikisahkan saat ini kota terapung Sanchtaprax dalam keadaan krisis karena stormphrax yang merupakan batu pemberat agar kota itu berada dalam ketinggian ideal semakin menipis karena terus menerus diambil untuk memurnikan air sungai di Undertown yang telah tercemar. Guna menyelamatkan Sanchtaprax maka satu-satunya cara adalah dengan mencari Stormphrax! Jika tidak maka rantai penahan Sanchtaprax yang diikat ke Undertown tak akan mampu menahan tarikan keatas dari Sanctaphrax dan kota yang merupakan pusat ilmu pengetahuan, tempat tinggal para cendekiawan The Edge, itu akan melayang lenyap menuju kehampaan.
Bukan hal yang mudah untuk memperoleh Stormphrax karena batu kristal pemberat tersebut hanya terbentuk oleh ledakan petir di atas Hutan Temaram saat munculnya Badai Akbar yang hanya muncul beberapa tahun sekali. Menurut tradisi untuk mencari Stromphrax diutuslah seorang Akademikus Ksatria yang bertugas untuk mengejar badai akbar, menembus belantara hutan temaran dan membawa pulang stromphrax. Para ksatria itu bersumpah untuk tidak pulang sebelum memperoleh stromphrax. Malangnya walau telah beberapa ksatria diutus untuk mencari stromphrax namun tak satupun yang berhasil pulang untuk membawa stromphrax.
Singkat cerita, Cold Wolf (Quintinius Verginix) yang pernah menjadi Akademikus Ksatria akhirnya berangkat mengejar badai akbar dengan kapal langitnya (Stromchaser). Walau Twig menginginkan untuk ikut serta, Cold Wolf tak mengizinkannya. Ternyata dalam ekspedisinya ini seorang awak stromchaser, Slyvo Spleethe yang merupakan kaki tangan Vilnix Pompolnius, (akademia tertinggi yang jahat) diam-diam telah merencanakan niat jahat dalam ekspedisi ini. Slyvo memanfaatkan keinginan Twig untuk ikut serta dalam ekspedisi ini. Secara diam-diam ia menyeludupkan Twig kedalam Stromchaser tanpa diketahui siapapun.
Tepat ketika Stromchaser berada di atas hutan temaram, muncullah badai akbar, ketika seluruh awak kapal berjuang melawan keganasan badai tiba-tiba Slvyo merampas stromchaser dan Twig dimanfaatkan sebagai sandera. Tentu saja Kapten Cold Wolf tak menyerah begitu saja sehingga ia harus berduel dengan Slyvo. Stromchaser menjadi tak terkendali dan mengalami kerusakan berat. Cold Wolf memerintahkan seluruh awak kapalnya terjun menuju hutan temaram sementara ia sendiri berjuang untuk mempertahankan kapal.
Twig dan seluruh awak kapal terjun menuju hutan temaram dengan menggunakan parawing (sayap buatan). Twig mendarat terpisah dari para awak kapal lainnya sehingga ia harus menyusuri hutan temaram untuk mencari teman-temannya. Walau akhirnya ia dapat bertemu dengan beberapa awak kapal Stromchaser namun untuk mencari strompharax yang baru saja terbentuk di hutan temaran dan membawanya pulang bukanlah hal yang mudah. Hutan Temaram dengan segala kemisteriusannya ternyata membuat siapa saja yang berada di dalamnya menjadi berhalusinasi dan merampas kesadaran tiap awak kapal yang selamat. Belum lagi ditambah tantangan alam dimana Twig dan kawan-kawannya harus melewati lumpur hisap, lubang tiup beracun, dan bermacam monster jahat penghuni rawa.
Petualangan Twig dan kawan-kawannya di hutan temaram inilah yang membuat seri kedua dari The Edge of Chhronicle ini menjadi menarik. Lebih menarik dari seri pertamanya (Beyond The Deepwoods, Matahati, 2007) yang hanya sekedar menceritakan petualangan Twig yang bertemu dengan berbagai monster saat keluar dari hutan Deepwoods.
Dalam Stromchaser, selain disuguhkan petualangan Twig menembus belantara Hutan Temaram guna mencari Stromprharax, dikisahkan pula intrik-intrik para akademia di Sanctahprax yang merupakan tempat yang penuh persaingan, konspirasi, dan perjuangan sengit antar golongan. Juga akan dikisahkan bagaimana Cold Wolf sebelum menjadi perompak langit ternyata pernah menjadi Akademikus Ksatria terbaik selama seratus generasi yang diutus untuk mencari Strompharax namun gagal karena kelicikan Vilnix Pompolnius yang berambisi untuk menjadi Akademia Tertinggi.
Seperti di buku pertamanya, buku ini masih menyajikan ilustrasi hitam putih yang indah dengan tarikan-tarikan garis yang tajam, kuat dan detail. Ilustrasi garapan Chris Riddel ini menghiasi hampir seluruh halaman buku dengan penempatan yang dinamis, kadang di tengah halaman, di pinggir, di atas, di bawah, terkadang menempati satu halaman penuh bahkan hingga menyeberang ke halaman berikutnya sehingga terkesan begitu menyatu dengan narasinya. Hal ini ini juga membuat pembacanya seakan ‘diculik’ dan dipindahkan ke dunia fantasi The Edge.
Jika mencermati segi kemasan dari buku terjemahannya ini, tampaknya penerbit Matahati telah melakukan beberapa perbaikan dibanding buku pertamanya. Di buku pertama cover buku terjemahannya tidak begitu menarik dan kertas di halaman dalamnya menggunakan kertas koran sehingga keindahan ilustrasinya terdistorsi. Sedangkan di buku keduanya ini covernya tampak lebih menarik dan eye catching, dan halaman dalamnya menggunakan kertas HVS putih sehingga ilustrasinya terlihat lebih sempurna untuk dinikmati.
Sayangnya di halaman 438 ada yang salah dalam layoutnya. Ilsutrasi di sisi kiri halaman tersebut menutupi 16 baris kalimatnya sehingga sangat mengganggu kenikmatan membaca, padahal narasi di halaman tersebut sedang seru-serunya. Semoga kesalahan fatal seperti ini tak lagi terulang di buku-buku berikutnya
Seri Fantasi The Edge of Chronicles ini hingga kini telah dibuat hingga jilid yang ke sebelas. Dari kesebelas buku tersebut, Paul Steward dan Chris Riddel membaginya ke dalam 3 buah Saga yaitu The Quint Saga, The Twig Saga, The Roog Saga, Stromchaser merupakan bagian dari Twig Saga yang terdiri dari 3 judul (Beyond the Deepwoods, Stromcahser, dan Midnight over Sancaptrax)
Tentunya akan sangat menarik jika seluruh judul dari The Edge of Chronicle ini dapat diterjemahkan. Semoga penerbit Matahati memiliki nafas yang panjang dan komitmen untuk menerbitkan seluruh buku dari serial ini. Ada banyak kisah fantasi yang diterjemahkan di Indonesia, namun tak banyak yang menerbitkan novel fantasi berilustrasi indah seperti seri ini. Dengan promosi yang baik serta penerbitan terjemahan yang teratur antara satu judul ke judul berikutnya, saya percaya seri ini akan menjadi seri fantasi yang populer di Indonesia.
@h_tanzil
5 comments:
Menarik ulasannya. Yang paling bikin saya tertarik membaca adalah iming-iming Pak Tanzil soal ilustrasinya yang bagus. Trims.
sebenarnya soal ilustrasi menarik itu soal selera..
silahkan dicicip-cicip dulu bukunya, kalau memang menarik tampaknya layak untuk dikoleksi...
wah, banyak Pak Tanzil baca buku. Rasa cemburu saya. Saya masih kekang uang untuk beli buku.Buku-buku Indonesia hebat, terjemahannya juga cepat. Kalaulah saya di Indonesia...
makasih isma ae
gimana buku2 terjemahan di malaysia? apa penerbitannya tidak secepat di indonesia?
Lambat dan lembab. Terlalu penting English.
Post a Comment