Monday, December 26, 2011

Perempuan Kembang Jepun




Lan Fang in Memoriam

(5 Maret 1970 - 25 Desember 2011)




Untuk mengenang karya seorang kawan yang baru saja berpulang, saya re-post kembali review salah satu novel karyanya, Perempuan Kembang Jepun

Perempuan Kembang Jepun

Judul : Perempuan Kembang Jepun
Penulis : Lan Fang
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Oktober 2006
Tebal : 288 hal ; 20 cm
Harga : Rp. 35.000,-


Kembang Jepun adalah nama sebuah kawasan di kota Surabaya. Entah didapat dari mana asal muasal istilah Kembang Jepun. Konon, di jaman Jepang kawasan ini adalah tempat berkumpulnya para serdadu Jepang untuk mencari hiburan lengkap dengan kembang-kembang (‘gadis-gadis’) yang setia menghibur serdadu-serdadu dan penguasa Jepang yang saat itu lazim disebut ‘Jepun’ sehingga kemudian daerah itu dinamakan “Kembang Jepun” yang berarti “kembangnya jepang”

Selain itu Kembang Jepun sejak jaman Belanda dan Jepang juga dikenal sebagai kawasan perdagangan yang banyak didiami oleh orang-orang China. Mereka membuka toko-toko dan restoran lengkap dengan tempat hiburan malamnya, bahkan hingga kini Kembang Jepun merupakan daerah sentra perdagangan terbesar di Surabaya dan juga dikenal sebagai China Town-nya Surabaya.

Ketenaran dan legenda kawasan ini pula setidaknya telah mengilhami para sastrawan untuk berkreasi berdasarkan legenda yang menyelimutinya. Sebut saja sastrawan senior Remy Sylado yang pada tahun 2003 menerbitkan novel berjudul “Kembang Jepun”, kini di tahun 2006 ini penulis asal Surabaya Lan Fang melahirkan sebuah novel yang memiliki judul yang hampir sama dengan novel Remy Sylado. Novel keempat Lan Fang yang kabarnya dikerjakan selama 3 tahun ini diberinya judul “Perempuan Kembang Jepun”.

Dengan latar belakang kawasan Kembang Jepun di Surabaya pada tahun 1940-an, novel ini bercerita tentang tokoh Matsumi, seorang perempuan Jepang yang berprofesi sebagai geisha. Matsumi adalah wanita cantik yang lahir dari sebuah keluarga miskin di Jepang, kemiskinannya membuat dirinya dijual oleh keluarganya sebagai geisha di distrik Gion di Kyoto

Matsumi tumbuh menjadi geisha yang berbakat. Berkat kecantikan dan kemahirannya dalam memainkan shamisen, bernyanyi, membaca puisi, menemani tamu, memijat, hingga memuaskan hasrat seks para tamunya, lambat laun ia menjadi seorang geisha yang terkenal di Kyoto. Pada saat puncak ketenarannya itulah Matsumi ditawari untuk mengikuti Shosho Kobayashi ke Indonesia. Baginya ini adalah kesempatan emas karena Shosho Kobayashi akan memegang peranan posisi penting di Indonesia selaku panglima perang tentara Jepang. Hal ini berarti Matsumi akan menjadi perempuan penting.

Karena geisha hanya ada di Jepang sedangkan jika ada perempuan Jepang yang menjadi penghibur di luar Jepang dianggap merendahkan martabat bangsanya, maka Matsumi masuk ke Indonesia dengan menyamar sebagai wanita China dengan nama Tjoa Kim Hwa.
Sesampai di Surabaya Matsumi menjadi wanita penghibur di klub hiburan milik Hanada-San yang melayani Sosoho Kobayasi dan tamu-tamu penting lainnya di kawasan Kembang Jepun

Di klub hiburan Hanada-san Matsumi beremu dengan Sujono, seorang kuli angkut kain yang bekerja di Toko Babah Oen yang kerap menantar kain di tempat Matsumi bekerja. Sujono memang sangat lihai memikat hati wanita, lambat laun Matsumi jatuh ke pelukan Sujono. Matsumi sadar bahwa Sujono telah beristri dan memiliki anak, namun ia tak kuasa menahan bujuk rayu Sujono yang piawai meluluhkan hatinya. Belum lagi Matsumi berkeyakinan jika ia tinggal bersama Sujono maka ia akan membentuk sebuah keluarga yang indah dan membuat dirinya menjadi seorang perempuan yang utuh dan melayani suami

Dari hubungan tersebut kemudian lahirkan seorang anak perempuan bernama Lestari. Namun apa yang diidam-idamkan Matsumi untuk membentuk keluarga yang indah dengan Sujono sangat jauh dari kenyataan. Lambat laun sifat buruk Sujono terungkap. Sujono yang gila sex lebih menikmati keindahan tubuh Matsumi dibanding bertanggung jawab terhap pemenuhan kebutuhan pokok keluarga yang telah dibentuknya. Walau Sujono mencintai Matsumi namun baginya Matsumi hanyalah pemuas nafsu sex-nya dan pelarian dari kehidupan rumah tangganya dengan istirnya (Sulis) yang kerap diwarnai pertengkaran.

Pekerjaan Sujono sebagai seorang kuli tentu saja tak bisa memenuhi kebutuhan dua istrinya. Matsumi terpaksa menggunakan uang tabungannya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Di sinilah konflik mulai meruncing. Ketika tabungan Matsumi habis sedangkan Sujono tetap tak berusaha untuk memenuhi kebutuhannya, akhirnya setelah Jepang kalah Matsumi lari meninggalkan Sujono. Matsumi kembali ke negaranya dengan meninggalkan anak dan suaminya.

Tema pencarian cinta sangat kuat dalam novel ini. Ibu mencari anak, anak mencari ibu, suami mencari cinta istri, dan seorang geisha mencari cinta sejati. Lan Fang menyuguhkan novel ini dengan menarik. Selain tokoh Matsumi dan Sujono, novel ini mengupas juga kehidupan tokoh-tokoh lain yang masing-masing diceritakan dalam bab-bab tersendiri.

Pada tiap bab, penutur ceritanya adalah tokoh yang menjadi kupasan pada bab tersebut. Jadi novel ini memiliki bab-bab tersendiri yang mengisahkan dan mengungkap karakter-karakter Sulis, Matsumi, Tjoa Kim Hwa, Sujono, dan Lestari . Hampir seluruh tokoh digambarkan secara kelam dan memiliki pilihan-pilihan hidup yang salah dan sulit untuk dijalani.

Dengan adanya bab-bab tersendiri dari masing-masing tokoh dalam novel ini, maka semua karakter tokoh yang muncul tereksplorasi dengan baik, dan masing-masing peristiwa dilihat dari sudut pandang tokohnya masing-masing. Membacanya seperti menyusun sebuah rangkaian puzzle yang lambat laun akan memberikan gambaran utuh dari kisah dalam novel ini.

Dibalik kisah cinta yang pedih, novel ini juga mengungkap bagaimana kejinya para tentara-tentara Jepang dalam memuaskan nagsu berahi mereka. Seorang wanita penghibur bisa digilir sepuluh hingga lima belas tentara Jepang karena jumlah mereka lebih banyak dibanding wanita penghibur. Selain itu merekapun tidak dibayar, alih-alih membayar para perempuan itu diberi tempelengan dan siksaan yang diluar peri kemanusiaan.

Selain itu novel ini juga menyajikan sekilas kehidupan dan filosofis kehidupan seorang geisha. Bagi mereka yang pernah membaca Memoir of Geisha – Arthur Golden mungkin bukan hal yang asing, namun bagi yang belum pernah membacanya novel ini setidaknya bisa memberikan gambaran yang cukup jelas mengenai perbedaan seorang geisha dengan wanita penghibur biasa.

Untuk memudahkan imajinasi pembacanya akan sosok Matsumi novel ini juga menyajikan beberapa buah foto yang menampilkan seorang wanita berpakaian kimono yang tak lain adalah foto diri Lan Fang, penulis novel ini.



Novel ini memang sarat dengan konflik yang pedih, pembaca akan disuguhkan berbagai rentetan peristiwa yang menyesakkan dada, semua dirangkai dengan kalimat-kalimat yang menyentuh dan indah, pilihan kalimat-kalimatnya yang puitis sangat pas dalam menggambarkan kepedihan yang dialami oleh tokoh-tokohnya. Karakter-karakter tokohnya juga begitu kuat dan hidup sehingga membuat pembacanya seolah masuk dalam cerita yang ditulisnya. Pembaca akan dibuat bergelora dalam birahi, menangis, kesal, dan marah melalui karakter dan pengalaman para tokoh-tokohnya

Namun tentunya novel ini tidak dimaksudkan untuk membuat pembacanya tercekat dalam kepedihan para tokoh-tokohnya, ada berbagai makna yang bisa diambil dari novel yang menguras air mata ini. Setidaknya novel ini menyadarkan pembacanya bahwa uang dan seks bukanlah segala-galanya. Masih ada yang harus dicari dan dipertahankan yaitu cinta. Bukan sekedar cinta yang dirangkai dengan kalimat-kalimat manis dan sekedar diwujudkan dalam hubungan seks yang menggelora, melainkan cinta yang dilandasi kasih sejati yang kelak akan membangun rasa kebersamaan dan tanggung jawab dari orang yang dicintainya.

@htanzil