[No. 284]
Judul : Ciuman di Bawah Hujan
Penulis : Lan Fang
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, Maret 2010
Tebal : 359 hlm
Tepat sebulan yang lalu (25 Desember 2011) dunia sastra Indonesia kehilangan salah satu penulis terbaiknya. Lan Fang, penulis produktif asal Surabaya yang belakangan sangat aktif memajukan kegiatan literasi di Surabaya dan sekitarnya meninggal dunia di usianya yang ke 41 tahun karena kanker hati yang dideritanya.
Sepanjang karier kepenulisannya, ia telah menulis puluhan cerpen, buku anak, dan 9 novel yang diterbitkan oleh penerbit-penerbit besar Indonesia. Novel Ciuman di Bawah Hujan ini adalah novel ke sembilan. Angka 9 sendiri mempunyai arti khusus baginya yaitu angka puncak yang memacunya untuk terus menulis, berkarya untuk keabadian.
Namun sebelum niatnya terlaksana langkah Lan Fang harus terhenti . Lan Fang meninggal dunia pada saat umat Kristiani merayakan natal, 25 Desember 2011 di RS Mount Elizabeth Singapore sehingga Novel Ciuman di Bawah Hujan akhirnya menjadi karya pamungkasnya sepanjang karier kepenulisannya.
Di bagian ‘Bebuka’ (kata pengantar) di novel yang pernah dimuat sebagai cerita bersambung di harian Kompas pada Oktober 2009 – Februari 2010 ini terungkap bahwa novel ini ditulis dengan penjiwaan yang penuh sebagai pelampiasan rasa sakit “sakit” Lan Fang dalam melihat perkembangan situasi politik, khususnya seputar pemilihan gubernur di Jawa Timur dan pemilu legislatif 2009.
“Walaupun saya tidak terlibat langsung di dalamnya, tetapi gegap gempita itu membuat kesehatan saya terganggu. Saya bukan saja menderita pusing dan mual setiap hari. Tapi saya memiliki penyakit baru yang tidak jelas yaitu marah-marah tanpa sebab dan tidak tahu harus marah kepada siapa.
Maka saya berusaha menyelamatkan diri dari sakit yang bertumpuk dengan cara menulis. Saya menggali semua inti diri dan mengumpulkan orang-orang luar biasa,
Saya menulis terus tanpa tanpa mempedulikan apakah saya menulis dengan sadar atau tidak sadar. Sampai akhirnya cerita Ciuman di Bawah Hujan selesai, saya sendiri tidak bisa lagi membedakan yang mana kejadian dan tokoh-tokoh saya yang fakta atau yang fiktif. (hal 7-8)
Dari apa yang ditulis Lan Fang dengan sepenuh jiwa ini lahirlah sebuah novel poilitik berbalutkan kisah roman tentang kisah cinta Fung Ling, gadis Tionghoa yang berprofesi sebagai jurnalis yang menantikan laki-laki yang akan menciumnya di bawah hujan dengan Rafi seorang anggota DPR. Selain itu, Fung Ling juga menjalin persahabatan dengan Ari yang memperkenalkan dirinya dengan Rafi.
Di novel in kisah asmara antra Fung Ling dan Rafi menerbas dunia politik tanpa ampun, dengan piawai Lan Fang memasukkan realitas politik mengenai buruknya perilaku dan kinerja anggota dewan lewat dialog-dialog antara Fung Ling dengan Rafi dan Ari. Lan Fang tidak membuat tokoh-tokohnya sebagai manusia sempurna, walau dikisahkan bahwa baik Rafi maupun Ari adalah politikus muda yang masih idealis dan memiliki hati nurani, namun mereka juga kadang mencari pembenaran atas sikap-sikap mereka yang salah di mata Fung Ling yang mewakili rakyat biasa.
Selain soal kinerja dan perilaku anggota dewan novel ini juga menyinggung-nyinggung soal pemilihan gubernur dan pemilihan badan legislatif, kerusuhan Mei 1998, pemilu di jaman Orba, dan lumpur Lapindo. Semua kekecewaan Lan Fang akan realitas politik yang dilihat dan dialaminya tumpah ruah dalam novelnya ini. Satu hal yang menarik adalah pandangannya tentang amuk masa pada peristiwa Mei 98. Walau etnis Tioghoa banyak menjadi korban kerusuhan namun Lan Fang dengan bijak mencoba memahami apa yang menjadi penyebab amuk masa saat itu.
Penguasa adalah mereka yang besar dan raksaksa. Sedangkan orang-orang (rakyat) itu kecil dan terpinggirkan. Penguasa adalah mereka yang selalu dipatuhi. Sedangkan orang-orang ini adalah mereka yang tidak pernah dilihat apalagi didengarkan. Maka hanya dengan kemarahanlah mereka bisa terlihat dan terdengar oleh penguasa.
Kemarahan berbeda dengan kekecewaan. Setiap hari mereka sudah menelan kekecewaan. Mereka sudah terbiasa mengubur kekecewaan dengan diam-diam. …tetapi bila kekecewaan itu bertumpuk terus menerus maka terbentuklah gunung kemarahan yang siap meledak. (hal 181)
Di novel ini juga Lan Fang menggunakan simbol tikus untuk menggambarkan tingkah laku korupsi para politisi yang rakus mencuri uang rakyat. Sayangnya Lan Fang menggambarkannya dengan terlalu bombastis , yaitu saat dikisahkan Fung Ling diserang oleh tikus-tikus di depot jualannya sehingga sekujur tubuhnya tertimbun puluhan tikus seperti yang sering kita saksikan di film-film thriller tentang tikus mutan. Saya rasa bagian ini terasa berlebihan bagi sebuah novel roman politik seperti ini, kecuali kalau memang Lan Fang menulis novel thriller atau science fiction tentang tikus mutan.
Yang membuat novel ini istimewa adalah walau banyak terdapat dialog dan perenungan politis, namun Lan Fang tetap menyusupkan aroma romantisme lewat kalimat-kalimat puitisnya dengan metafora angin, hujan, matahari, pohon, dan sebagainya secara pas sehingga sesuai judulnya yang romantis, novel ini akan tetap mendapat tempat di hati para penyuka novel roman.
Selain soal politik dan kisah cinta, novel ini juga menyuguhkan budaya Tionghoa yang masih mengakar kuat di bumi pertiwi ini seperti soal ramalan, perjodohan dan kedudukan wanita dalam keluarga yang kurang mendapat tempat dalam budaya kuno etnis China. Hal ini digambarkan ketika Fung Ling hendak dijodohkan oleh orang tuanya dimana calon mertuanya memeriksa Fung Ling dari ujung kepala hingga ujung kaki seperti layaknya sebuah barang yang hendak dibeli.
Selain itu satu hal yang menarik adalah bagaimana dengan kreatif Lan Fang memasukkan kisah lain yang mengangkat soal keberadaan buruh migran Indonesia di Hongkong. Kisah ini muncul dalam beberapa bab yang terpisah sebagai draf novel Fung Ling sehingga di novel ini kita akan melihat bagaimana gambaran pekerja migran kita di Hong Kong lengkap dengan gambaran majikannya. Namun bukan kisah pilu para buruh migran yang sering kita dengar, melainkan kisah seorang buruh migran yang mendapat kesempatan dari majikannya untuk maju dan berkarya. Bagi saya pribadi, kisah ini tak kalah menariknya dengan kisah utama dalam novel ini.
Akhir kata Sebagai sebuah novel yang mengangkat realitas politik di tanah air saya rasa di novel terakhirnya ini Lan Fang berhasil menyuarakan kekecewaan dan gugatan politik dari kacamata rakyat biasa dengan caranya sendiri. Lan Fang telah tiada namun melalui novel pamungkasnya ini ia telah menyuarakan segala bentuk kekecewaan dan protesnya pada realita politik yang dirasakannya. Apa yang dirasakan Lan Fang mungkin kita rasakan juga.
Semoga novelnya ini bisa menjadi pembuka kesadaran bagi para penikmat sastra dan terutama mereka yang sudah dan akan terjun ke dunia politik untuk selalu mendengar suara rakyat di negeri yang seakan tak pernah dewasa dalam berpolitik dan berdemokrasi ini.
@htanzil
Catatan :
Posting review ini merupakan penggenapan janji saya pribadi pd Alm. Lan Fang untuk membaca dan mereview novel terakhirnya ketika beliau masih sehat, posting ini juga sekaligus untuk mengenang kepergiannya tepat sebulan yang lalu (25 Desember 2011)
1 comment:
salam kenal, keren mas blognya. izin saya link ke blog saya ya..
http://rak-istirahat.blogspot.com/
Post a Comment