Wednesday, April 03, 2013

Tidur Berbantal Koran by N. Mursidi

No : 305
Judul : Tidur Berbantal Koran - Kisan Inspiratif Seorang Penjual Koran Menjadi Wartawan
Penulis : N. Mursidi
Penerbit : Elexmedia Komputindo
Cetakan : I, 2013
Tebal : 243 hlm


Sebagai seorang yang sangat suka membaca saya  selalu tergelitik ingin tahu apakah orang-orang yang pekerjaannya menjual bahan-bahan bacaan seperti  penjual koran, penjual buku-buku bekas, pramugari toko buku, dll membaca juga apa yang mereka jajakan?  Jika memang demikian tentunya akan banyak sekali manfaat yang mereka peroleh dari apa yang mereka jajakan karena buku, koran, majalah, dll adalah sumber pengetahuan dan ispirasi hidup yang begitu mudah mereka dapatkan hanya dengan cara membacanya. 

Itulah yang dialami N. Mursidi, seorang anak desa yang mencoba membiayai kuliahnya di Jogya dengan cara berjualan koran. Sebelumnya cita-citanya hanyalah bisa kuliah dan memperoleh pekerjaan yang layak. Namun siapa sangka, dari yang tadinya berjualan koran hanya untuk sekedar membiayai hidup dan kuliahnya ternyata dari koran-koran yang ia jajakan itu jalan hidup dan mimpinya berubah. 

Berawal dari seorang tukang becak  yang selalu membeli korannya untuk dibacanya membuat Mursidi tergeragap melihat begitu antusiasnya seorang tukang  yang rela menyisihkan sedikit hasil jerih lelahnya untuk membeli koran dan membacanya dengan tekun. 

“Aku merasa malu pada diriku sendiri. Selama tujuh hari berjualan koran, aku tidak pernah membaca koran yang kujajakan sendiri. Aku seperti tidak peduli dengan apa yang kujual karena yang kuinginkan adalah koranku lalu… Tak pernah aku meluangkan waktu untuk membaca dengan detail isi berita koran yang kujual” (hlm 5-6)

Tergugah oleh apa yang dilakukan tukang becak itu maka iapun tergerak untuk membaca setumpuk koran yang dijualnya. Dari apa yang dibacanya itu Mursidi menemukan sebuah opini yang ditulis mahasisiwa di sebuah rubrik koran yang dijualnya. Dari situ dirinya tersadarka akan  sebuah kenyataan bahwa mahasiswa seperti dirinya bisa menulis di koran apalagi ketika dirinya membaca rubrik resensi di koran Mingggu yang biasanya ditulis oleh para mahasiswa. Saat itulah ia memutuskan untuk bisa menulis di koran.

“Setiap selesai membaca tulisan-tulisan penulis yang masih berstatus mahasiswa itu, otakku serasa mendidih bagai air yang dijerang di atas tungku. Ada sekelebat mimpi di dadaku yang memompaku untuk bisa menulis; menorehkan namaku di koran seperti mereka. Maka dalam hati, aku berjanji bahwa suatu saat nanti aku harus bisa menulis di koran.” (hlm 6)

Semenjak itu pula dirinya makin rajin membaca koran  yang dijualnya dan mempelajari tulisan yang dimuat secara koran secara otodidak dan mulailah ritual baru dalam kehidupannya, pagi berjualan koran dan membaca koran setiap ada kesempatan, siang berangkat kuliah, dan malam harinya menulis dengan mesin tik bekas yang dibeli dari temannya. Demi menghasilkan tulisan ia rela memotong waktu tidurnya agar memiliki waktu banyak untuk  menulis dan mencoba mengirimkan tulisan-tulisannya ke sejumlah koran. 


"Waktu itu, aku memang sengaja tidak membeli bantal  agar jam tidurku tidak berkepanjangan. Tak salah, karena di kamar banyak buku, maka buku-bukuku itulah yang kerap kujadikan bantal. Tak jarang, aku pun bahkan memakai alas tumpukan koran sebagai bantal" (hlm 172-173)



Namun tak semudah yang ia bayangkan, ia harus menghadapi banyak tantangan, ada banyak jalan berliku, perjuangan yang tidak mudah, persaingan yang ketat antara sesama penulis, dan ekstra kesabaran yang harus dilakonimya sebelum akhirnya tulisannya dimuat di koran. Dan karena ketekunannya membaca dan menulis secara otodidak pada akhirnya tidak hanya satu dua tulisan yang berhasil dimuat di koran melainkan  ratusan tulisannnya menghiasi berbagai koran lokal dan nasional dan hal ini pula yang akan mengantar dirinya menjadi seorang wartawan dan penulis tetap di sebuah majalah islami terkenal hingga kini.

Semua pengalaman N. Mursidi dari seorang penjual koran menjadi wartawan tersebut tertuang dalam buku memoarnya yang berjudul “Tidur Berbantal Koran”.  Buku ini tersaji dalam 4 bagian besar. Di bagian pertama dikisahkan suka duka penulis berjualan koran di jalanan, bagaimana trik-triknya untuk mendapatkan pembeli, serta bagaimana kerasnya hidup di jalanan dan bagaimana penulis dengan hidup nomaden dengan sepeda Onthelnya

Pengalaman penulis ketika belajar menulis secara otodidak dengan mesin tik bekas di malam hari bagaimana perjuangan penulis agar tulisannya dimuat di koran  tersaji di bagian kedua dan ketiga.  Ada berbagai pengalaman menarik di bagian ini antara lain bagaimana tulisannya menjadi pembungkus nasi yang sedang disantapnya, pengalaman pertama mengirim resensi via email, dan bagaimana pengalaman pahitnya ketika ia diejek teman-temannya  karena terus menerus menerima surat pengembalian resensi dari Kompas.Dan di bagian akhir bagian ketiga ini penulis juga menyuguhkan tips-tips membuat resensi berdasarkan pengalamannya

Di bagian ke empat, yang merupakan bagian akhir dari memoar ini ada bagian yang menyuguhkan tips dan buah manis dari perjuangannya menulis untuk koran seperti tips membaca koran dan menyelami apa yang ada di balik teks, dan kisah bagaimana akhirnya penulis hijrah ke Jakarta dan diterima sebagai wartawan di sebuah majalah Islami terkenal.

Singkatnya lewat memoar yang tersaji dengan menarik dan ditulis dengan jujur dan apa adanya ini akan mendorong pembacanya untuk tidak menyerah dalam menggapai mimpi walau seribu kesulitan dan tantangan menghadang. Buku ini cocok sekali untuk memotivasi para penulis yang sedang mencoba menjajal kemampuan menulisnya dan sedang memimpikan namanya tercetak di koran-koran.

Lewat buku ini pembaca akan diajak menapaki jejak perjuangan penulis dimana awalnya ia begitu sulit menembus koran namun berkat ketekunan dan kerja kerasnya akhirnya si mantan penjual koran ini berhasil menjadi penulis produktif  dimana hingga kini ada sekitar 300an  tulisannya (opini, essai, cerpen, resensi) yang sudah dimuat di koran lokal dan nasional. Tak berlebihan rasanya jika harian Jurnal Nasional menyebutnya sebagai "Raja Resensi"

Satu-satunya kritik terhadap buku ini adalah pada label yang diberikan penerbit pada memoar ini. Di cover buku ini tepatnya di atas nama penulisnya tertera tulisan "Sebuah Novel" padahal dalam pendahuluannya penulis dengan jelas menyebutkan bahwa buku ini adalah Memoar. Lalu kenapa menjadi novel? padahal novel dan memoar adalah dua hal yang berbeda. Atau apakah ini novelisasi dari pengalaman penulis? Dalam sebuah kesempatan saya pernah menanyakan langsung pada penulisnya, dan beliau mengatakan bahwa semua yang ditulis dalam buku ini adalah kisah nyata dan tidak ada dramatisasi kisah seperti layaknya sebuah novel  yang diangkat dari kisah nyata. 

Jika ini memoar, kenapa penerbit mencantumkan label novel pada buku ini? Apakah ini hanyalah strategi pasar? Bagi seorang pembaca saya tentunya tidak bisa menerima alasan ini karena yang dibutuhkan pembaca sejati adalah buku yang kemasannya (cover, label, judul, sinopsis, dll) mencerminkan isi buku yang sesuai dengan apa yang hendak disampaikan penulisnya.

###

@htanzil

Untuk membaca tulisan2 N. Mursidi silahkan membaca blog bukunya Etalase Buku
Tips-tips menulis resensi buku ala N. Mursidi dapat dibaca di Program Indonesia Menulis sebuah blog "Sekolah Menulis Gratis" yang dibuka untuk umum dan tak dipungut biaya (gratis)

N. Mursidi saat diwawancarai TV One dalam acara "Apa dan Siapa" dengan judul
"Dari Jalanan untuk Masa Depan” yang ditayangkan pada tgl 18 November 2011 bisa dilihat
di sini

3 comments:

ebook-saya.com said...

saya pengen buku ini, bisa tau dapet dari mana?

dela said...

Baru aja ngerasa familiar, ternyata emang cerita narasumber yang diwawancara di tvone waktu itu. Memang menakjubkan ceritanya.

Unknown said...

apa kelebihan dan kekurangan di buku ini