Monday, October 28, 2013

Tapak Tilas by Eric Heuvel & Ruud van der Rol

[No. 321]
Judul : Tapak Tilas
Judul Asli : De Terugkeer
Penulis : Eric Heuvel & Rud van der rol
Penerjemah : Laurens Sipahelut
Penerbit : Pionir Books
Cetakan : I, Mei 2012
Tebal : 64 hlm ; 21x28 cm

Tapak Tilas adalah novel grafis/komik berlatar belakang sejarah Indonesia tahun 1930-1950 yang dibuat oleh penulis dan ilustrator Belanda, Eric Heuvel &  Ruud van der Rol. Tapak Tilas menceritakan kerinduan Bas (81 tahun), seorang Belanda totok, anak pemilik perkebunan teh di pegunungan antara Buitenzorg (Bogor) dan Bandung.

Bas  lahir dan melewatkan masa kecil hingga dewasanya di Hindia (Indonesia). Seperti banyak orang Belanda yang lahir di Hindia dan meninggalkan tanah kelahirannya setelah Indonesia merdeka, Bas juga memiliki kerinduan yang sangat mendalam terhadap tempat dimana ia dilahirkan. Hal tersebut ditambah lagi dengan kisah cinta yang tak sampai antara Bas dengan seorang gadis pribumi yang terpaksa ia tinggalkan karena perang telah memisahkan hubungan mereka.

Kisah dalam komik  ini diawali ketika Bas menemukan sepucuk surat dari Soerati, kekasihnya yang ditulis puluhan tahun yang lampau. Setelah membaca surat yang baru pertama kalinya ia baca itu timbullah keinginan Bas untuk  menapak tilasi kehidupan masa lalunya di Indonesia sambil berharap ia bisa bertemu Soerati kekasihnya. Akhirnya Baz bersama Maurena (24 thn), kemenakannya berangkat ke Indonesia. Dalam pesawat terbang tujuan Jakarta Baz menuturkan  riwayat hidupnya kepada Maurena.

Lewat tuturan Bas kepada kemenakannya inilah kisah dalam novel grafis  ini mengalir, mulai dari masa kanak-kanak Bas, pendudukan Jepang, kemerdekaan Indonesia, serta kisah asmaranya bersama Soerati, gadis pribumi  yang mencuri hatinya ketika Bas memperkuat tentara Belanda melawan pejuang kemerdekaan Indonesia.  Selama dalam perjalanannya itu juga  Bas menyadari bahwa peluang dirinya untuk bertemu dengan Soerati adalah sangat kecil. Akan tetapi, di Indonesia Bas mendapat kejutan yang tak pernah ia pikirkan selama ini.

Membaca komik  ini selayaknya membaca kisah penggalan sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia yang dibagi menjadi lima periode yaitu :

- Masa Penjajahan Belanda  (1602-1942)
- Masa Pedudukan Jepang ( Maret 1942 - Agustus 1945)
- Perjuangan Kemerdekaan Indonesia : Masa Bersiap (September  1945 - Maret 1946)
- Perjuangan Kemerdean Indonesia : Aksi Polisional (1947-1949)
- Repatriasi ke Belanda (setelah 1949)

Namun  karena sejarah dalam komik ini dibalut dalam kisah personal tokoh yang bernama Bas berdasarkan pengalaman nyata yang dialami orang-orang Belanda pada masa itu lengkap dengan penggambaran situasi sosial dan sisi-sisi kemanusiaannya maka latar belakang sejarah dalam buku  ini terasa mengasyikan

Salah satu yang terungkap adalah bagaimana orang-orang Belanda di penghujung pemerintahannya begitu percaya diri bahwa mereka akan terus berada di Hindia hingga 300 tahun kemudian.



Situasi perang pasukan KNIL dengan Jepang dan bagaimana pada akhirnya Hindia dikuasai Jepang terungkap dengan gamblang termasuk bagaimana setelah itu semua hal yang berbau Belanda dilarang, dan bagaimana rakyat Indonesia menyambut kedatangan tentara Jepang yang dikiranya datang sebagai tentara pembebas.

Bagaimana nasib keluarga  Belanda yang tinggal di Indonesia di masa awal Perang Dunia II  hingga kemerdekaan Indonesia juga terungkap dengan baik.antara lain bagaimana keluarga-keluarga Belanda yang tinggal di Hindia rela menyumbangkan panci-panci mereka untuk keperluan perang negaranya melawan Jerman.

Setelah Jepang berkuasa mulailah masa-masa sulit bagi orang-orang Belanda yang tinggal di Hindia. Jepang memutuskan untuk mengeluarkan semua orang Eropa dari kota. Mereka diasingkan dan diharuskan tinggal dalam kamp-kamp yang kondisinya semakin hari semakin memprihatinkan. Mereka hidup terasing dan  tidak tahu keadaan diluar sehingga mereka baru  tahu berbulan-bulan kemudian kalau Jepang sudah menyerah pada 15 Agustus 1945

Soal orang-orang Indo (campuran Belanda dengan Indonesia) juga terekam dengan sangat baik, di novel grafis  ini akan terlihat bagaimana posisi mereka menjadi serba sulit. Di masa damai banyak orang Belanda berpendapat

"Orang Indo lemah, malas, tidak jujur. Sudah berabad-abad orang kulit putih jadi orang gedean..Orang inlander jadi pelayan dan orang Indo berada diantara itu. Itu dari dulu sudah begitu. Di sini berlaku semakin putih semakin baik...itu tak akan berubah"  (hlm 13)

Ketika Jepang berkuasa, orang Indo juga mendapat perlakuan yang berbeda, walau mereka tidak diasingkan dalam kamp dan diizinkan tinggal di rumah mereka, mereka kerap dicurigai karena tentara Jepang menganggap orang Indo sebagai orang Belanda

Biar tinggal di rumah, tetap saja kami kesusahan... Kami selalu diganggu. Mereka ingin menyamakan kami dengan orang Indonesia dan mereka ingin kami mengingkari Belanda dan memilih Jepang. Tapi kami akan setia kapada rau, selama kami bisa.. (hlm 23).

Lalu bagaimana nasib orang-orang Belanda kelahiran Hindia ketika kembali ke negara asal mereka? lewat pengalaman Bas kita akan melhat bahwa bukan berarti pulang ke negerinya membuat mereka langsung merasa nyaman. Selain karena harus menyesuaikan dengan iklim, makanan, dan bahasa, orang Belanda sendiri kurang memiliki pengertian akan apa yang mereka alami di Hindia sehingga sering terjadi kesalahan persepsi.  Anak-anak Belanda yang pernah tinggal di Hindia juga  harus mengejar ketinggalan mereka sehingga harus masuk ke kelas yang tiga tahun lebih rendah dari kelas mereka di Hindia.

Masih banyak hal-hal yang menarik yang ada di buku ini. Komik  ini digambar dengan garis-garis yang lugas, bersih (yang mungkin kerap disebut ligne claire) dengan warna-warni pastel yang cerah. Jika dilihat dari garis dan pewarnaannya maka gaya penggambaran komik ini saya rasa satu mazhab dengan Herge komik Tintin atau beberapa komik Eropa lainnya. Komik ini juga tentunya akan mengingatkan kita akan komik Rampokan Java  dengan latar belakang Indonesia di masa lampau yang pernah dibuat oleh Peter van Dongen.

Latar belakang lingkungan dan situasi sekitar dalam setiap panel komik ini tampak tersaji dengan begitu detail sehingga dapat memberikan visualisasi sejarah dan keadaan kota Bandung, Jakarta, dan pedesaan Bogor di masa lampau. Beberapa bangunan bersejarah khususnya yang terdapat di kota Bandung tergambarkan dengan baik seperti Gedung Singer, restoran Moisen Bogerjan (Braga Permai), toko buku Van Drop, Hotel Savoy Homan, Bioskop Elita, daerah pecinan, dll.

Hal-hal mengenai keseharianpun tergambarkan dengan baik seperti, suasana pedesaan lengkap dengan ayam-ayam yang berkeliaran, tukang becak,  suasana kota dengan kesibukannya dll. Gambaran detail tentang semua itu tentunya hanya dimungkinkan melalui riset yang mendalam atas buku harian, foto, film, dan gambar tentang Bandung, Jakrta, di masa lampau dan masa kini.

 (untuk melihat lebih jelas silahkan klik gambarnya)

Selain melalui riset pustaka, foto, dan film, oroses pengerjaan komik ini juga melibatkan 25 tenaga ahli dari berbagai negara (Belanda, Jepang, Jerman, Indonesia) di bidangnya. Indonesia sendiri diwakili oleh 3 tenaga ahli yaitu Bambang Piurwanto (Universitas Gajah Mada), Gustaff & Reiwul Harriman Iskandar (Common Room, Bandung) dan Dwinita Larasati ( Iststitut Teknologi Bandung)

Walaupun komik ini mengandung unsur sejarah yang kental  namun komik ini  tidak menjadi komik sejarah yang membosankan karena penulis berhasil memblendernya dengan kisah personal tokoh utamanya sehingga  tidak heran jika pada tahun 2010, 65 tahun setelah Perang Dunia II, edisi Belanda komik ini dipersembahkan kepada murid-murid tahun ketiga  sekolah menengah di Belanda sebagai Pemberian Nasional.

Komik Tapak Tilas atau dalam bahasa Belandanya berjudul 'De Tergkeer' ini dibuat atas permintaan Indisch Herinneringscentrum Bronbeek (IHCB), Belanda. Sebuah organisasi  yang bertujuan menghidupkan sejarah Hindia Belanda dan Indonesia dari awal dekade 1900. Salah satunya adalah dengan menerbitkan komik ini yang merupakan bagian dari trilogi komik yang mengetangahkan tentang Perang Dunia Kedua, dua komik pertama yaitu De Ondekking (Penemuan) dan De zoektosch (Pencarian) mengisahkan pendudukan Jerrman di Belanda, sementara komik pamungkas yaitu De terugkeer (Tapak Tilas) berkisah tentang periode Hindia Belanda (1930-1950). Di Belanda ketiga komik edukatif ini dipakai sebagai bahan ajar sekolah.

Satu-satunya kritik untuk komik ini adalah adanya kesalahan cetak penulisan tahun pada halaman 17 di panel pertama dimana tercetak tahun 1914, seharusnya 1941. Diluar itu komik ini sangat baik dan perlu dibaca oleh kita semua terlebih generasi muda kita sebagai bacaaan alternatif untuk lebih memahami situasi  Indonesia menjelang dan setelah proklamasi baik dari sisi sejarah maupun sisi kemanusiaan dan hubungan sosial antara orang-orang  Belanda dan pribumi dari sudut pandang orang Belanda yang lahir, besar, dan pernah menjadi tentara KNIL di Indonesia.

Komik ini juga bisa dikatakan sebagai kisah tentang sejarah bersama antara Indonesia dan Belanda. Kita  diajak memahami bahwa dalam periode sejarah yang sama, seseorang bisa mengalami peristiwa yang berbeda-beda tergantung kepada kelompok sosial orang tersebut. Hal ini terungkap dalam komik ini dimana dalam periode sejarah yang sama, di tempat yang sama, orang Belanda, Indo-Belanda, Jepang, dan China ternyata menyimpan kisahnya masing-masing . Di sinilah kita dapat memahami secara lebih mendalam tentang pengalaman dan dilema yang dihadapi masing-masing kelompok tersebut ketika perang sedang berkecamuk.

Selain itu Erry Stoove, ketua lembaga IHCB dalam kata pengantar buku ini mengatakan bahwa,

"Komik ini secara khusus bertujuan menggalakkan pengetahuan anak muda Belanda mengenai berbagai peristiwa yang terjadi di Hindia-Belanda dan Indonesia. Pengetahuan mereka sedikit, atau bahkan nihil, mengenai apa saja yang telah terjadi selama zaman perang di Hindia-Belanda. Hanya sedikit yang mereka tahu soal zaman ini dan zaman Perang Kemerdekaan Indonesia. Lewat buku komik ini kami berupaya agar sejarah ini dimuat secara luas dalam kurikulum sekolah menengah pertama. Pertama-tama di sekolah-sekolah Belanda. Akan tetapi, alangkah baiknya apabila kisah ini juga disampaikan di Indonesia. Dengan demikian sejarah bersama kita ini juga menjadi hidup di Indonesia."

Apa yang diharapkan oleh Eric StoovĂ© kini telah menjadi kenyataan, komik  De Tergkeer telah diterjemahkan dan bisa dibaca oleh masyarakat Indonesia. Sayangnya berdasarkan perjanjian dengan penerbit Belanda komik ini tidak beredar di toko-toko buku karena memang hanya diperuntukkan bagi sekolah, lembaga/instansi2 sebagai sarana edukatif. Walaupun tujuannya baik tapi di satu sisi  komik edukatif ini menjadi kurang dikenal secara luas, kecuali kalau komik ini memang dibagikan ke sekolah-sekolah atau lembaga-lembaga edukasi seperti yang dilakukan pemerintah Belanda.  

Tentang Penulis

Eric Heuvel adalah novelis grafis ternama asal Belanda. Pada 2012, komunitas pecinta buku Komik Belanda (Het Stripschap) mendaulatnya sebagai komikus terbaik 2012.

Ruud van der Rol, adalah seorang sosiolog yang bekerja pada Yayasan Anne Frank sebagai manajer proyek dan telah menulis dan menyunting buku dan bahan edukatif yang bertemakan Anne Frank dan keluarganya, Holocoust, HAM, prasangka, dan diskriminatif. Pada tahun 2008 ia mendirikan EduProducties, sebuah perusahaan yang membuat produk-produk edukatif untuk sekolah, museum, dan organisasi lainnya.

@htanzil

NB :
Komik Tapak Tilas tidak dijual secara komersial di toko buku maupun tempat lainnya. Hubungi Pionir Books untuk memesan.

Thursday, October 10, 2013

Kho Ping Hoo & Indonesia : Seniman dan Karyanya

[No. 320]
Judul : Kho Ping Hoo & Indonesia - Seniman dan Karyanya
Editor : Ardus M. Sawerga
Penerbit : Balai Soedjatmoko
Cetakan : 2012
Tebal : 215 hlm

Siapa yang tidak kenal dengan nama Kho Ping Hoo? walau namanya tidak tercatat dalam buku-buku teks pelajaran sastra di sekolah ataupun dalam sejarah sastra Indonesia  namun namanya begitu dikenal oleh publik tanah air terlebih bagi mereka yang menyenangi cerita silat (cersil). Nama Kho Ping Hoo memang  identik dengan cersil sehingga jika kita ditanya, "Siapa penulis cerita silat Indonesia?",  dengan cepat kita akan menjawab "Kho Ping Hoo!" walau mungkin kita belum pernah membaca satupun cersilnya.

Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo (selanjutnya ditulis KPH) lahir di Sragen 17 Agustus 1926 dari keluarga Tionghoa peranakan, Meskipun sekolahnya hanya sampai kelas I HIS, namun minat baca dan menulisnya sangat tinggi.  Karier kepenulisannya dimulai pada tahun 1951 saat ia berusia  25 tahun ketika ia mulai menulis cerita roman dengan nama pena Asmaraman Kho Ping Hoo dan dimuat oleh majalah-majalah terkenal saat itu seperti Star Weekly, Cermin, Pawancara, dan Liberty

KPH mulai menulis cerita silat bersambung pada tahun 1959 dengan judul Pedang Pusaka Naga Putih di majalah Teratai yang  ternyata mendapat respon positif dari para pembacanya. Mulai saat itu kreatifitas dan imajinasi KPH untuk menulis cerita silat terus mengalir tanpa henti. Walau saat itu belum pernah mengunjungi China dan tidak bisa berbahasa Mandari namun itu bukan halangan bagi KPH untuk menulis cerita silat berlatar belakang Tiongkok kuno. Berbekal peta Tiongkok kuno, buku-buku dan film-film silah yang pernah ia tonton KPH menulis tanpa henti sepanjang hidupnya. Energi menulisnya begitu luar biasa sehingga dalam seminggu sekali lahirlah satu jilid buku dari mesin tik manualnya.

Pada tanggal 22 Juli  1994 di usianya yang ke 68 KPH meninggal dunia karena serangan jantung. Di masa sakitnya ia masih menulis cerita Hancurnya Kerajaan Han yang belum selesai. Hingga akhir hayatnya KPH telah menulis lebih dari 120 judul buku dalam ribuan jilid buku dan hingga kini karya-karyanya masih terus dibaaca dan dicetak ulang.

Untuk mengenang kiprah dan karya-karyanya maka pada tahun 2012 yang lalu diperingati 86 tahun kelahiran KPH yang diselenggarakan di Balai Seodjatmoko Solo dan Bentara Budaya Bali  (11-18/7/2012). Saat itu dipamerkan ilustrasi cersil yang pernah ditulis KPH, memorabilia KPH , dan diskusi dari berbagai narasumber yang diharapkan bisa menempatkan KPH sebagai sastrawan secara proprosional dalam jagat sastra Indonesia.

Sebagai pelengkap gelaran memperingati 86 kelahiran KPH itulah buku Kho Ping Hoo & Indonesia terbit. Sebuah buku yang memuat wacana tentang diri dan karya KPH dari berbagai dimensi berupa esai, hasil penelitian, kliping koran, kesaksian, dan wawancara dengan sejumlah saksi mata seperti istri, anak, mantu, dan mereka yang pernah terlibat langsung dalam proses penerbitan buku-buku KPH .

Buku ini memuat 20 tulisan, dari berbagai narasumber mulai dari cendekiawan, budayawan, wartawan, hingga pembaca setia KPH antara lain Leo Suryadinata, Seno Gumira Ajidarma, Prie GS, Arswendo Atmowiloto. Eka Kurniawan, dll. Dari tulisan Leo Suryadinata berjudul Kho Ping Hoo dan Karya-karyanya kita akan mengetahui darimana KPH mendapat inspirasi untuk menulis kisah-kisahnya.

Menurut penelitian Leo Suryadinata terungkap bahwa karya-karya KPH sedikit banyak terpengaruh dari cersil terjemahan dan film silat Hong Kong dan Taiwan yang pernah dibaca dan ditontonnya. Beberapa kisah diketahui mengambil plot dari cersil terjemahan namun walau demikian cersil KPH tetap mempunyai ciri tersendiri. Salah satunya adalah bagaimana KPH memasukkan nasehat filosofis yang kadang disesuaikan dengan kondisi  Indonesia.

"Kho Ping Hoo membicarakan perkawinan campur Tionghoa-Indonesia, meskipun ini dianjurkan tapi mesti didasarkan percintaan. Kho mengharapkan para pembaca bisa menerima manfaat yang terkandung di dalam cersilnya. Menggunakan cersil untuk memberi "kuliah" ini mirip dengan novel peranakan yang terbit pada awal abad keduapuluh. Cara ini jarang ditemui pada cersil-cersil terjemahan" (hlm 44)

Ketika membahas dampak cersil terhadap Indonesia Leo juga mengungkapkan bahwa cersil karya KPH setiap terbitannya mencapai 10.000 sampai 15.000 jilid (ekslempar) yang habis dalam sebulan dan setiap empat lima tahun dicetak ulang. Menurut hitung-hitungannya bila setiap jilid dibaca  25 orang, maka setiap edisinya kira-kira ada 1,6 juta pembaca!

Jika Leo Suryadinata  membahas tentang  Kho Ping Hoo dan karya-karayanya, Eka Kurniawan membahas unsur sejarah dalam cerita silat KPH terlebih dalam karya-karyanya yang berlatar belakang Nusantara seperti Banjir Darah Borobudur, Satria Gunung Kidul, Badai Laut Selatan. Menurut pengamatan Eka sejarah dalam cersil KPH bukanlah sejarah dalam perspektif istana dan kaum elitenya melainkan sejarah yang bergerak di luar itu, sejarah yang bergerak di bawah.

"Kho Ping Hoo tak semena-mena menyatakan bahwa sejarah selalu merupakan "sejarah atas". Dengan menurunkan orang-orang istana ke desa-desa, sungai, gunung dan sawah, dan bahkan menjadi gembel, ia ingin memperlihatkan bahwa sejarah juga bergerak di bawah. Bahwa sejarah juga merupakan kisah kaum antah berantah" (hlm 58)

Sedangkan Seno Gumira Ajidarma dalam essainya berjudul Kho Ping Hoo dan Indonesia  mencoba menjawab keraguan orang apakah karya-karya KPH yang berlatar Tiongkok kuno itu bisa disebut sebagai cersil Indonesia dan apakah cersil KPH itu termasuk karya sastra? Dalam essainya ini Seno menyimpulkan bahwa

(1) cerita silat berbahasa Indonesia  dengan latar dan lokasi sejarah Tiongkok adalah bagian yang sah dari kebudayaan Indonesia; (2) Kho Ping Hoo adalah seorang penulis cerita silat Indonesia ; (3) karya tulis Kho Ping Hoo, dan karya tulis manapun, dalam perkembangan teori kebudayaan mutakhir, sudah tidak relevan lagi dipersoalkan dari sudut pandang susastra atau bukan-susastra  (hlm 117)

Masih banyak hal-hal menarik tentang Kho Ping Hoo dan karya-karyanya yang terungkap di buku ini, antara lain tentang 5 buah mesin ketik yang semuanya masih terpasang kertas dan berisi 5 buah cerita  yang sedang dikerjakannya sekaligus, tentang jari-jari KPH yang sakit waktu kecil, pemakaman KPH yang dihadiri ribuan pelayat namun tidak dihadiri pejabat penting maupun para seniman, dll.

Selain hal-hal diatas buku ini memuat pula daftar lengkap karya KPH versi majalah MATRA, 33 buah desain sampul karya-karya KPH, dan puluhan  ilustrasi yang dibuat oleh dua orang ilustrator buku-buku KPH, Yanes dan Dwi Laksono. Tidak hanya itu buku ini juga memuat cuplikan cerita Dewi Sungai Kuning sebanyak 8 halaman.


Demikian sekilas tentang buku ini yang mencoba mengungkap KPH beserta karya-karyanya. Buku ini sangat baik untuk mengenal KPH dan kerya-karyanya dari berbagai sudut pandang.  Sayangnya buku ini tidak memuat tulisan  dari pejabat tinggi atau pesohor terkenal seperti  B.J. Habibie, Ashadi Siregar, dll yang merupakan pembaca setia cersil KPH.. Dan yang lebih disayangkan lagi adalah buku ini tidak bisa diperoleh di toko-toko buku umum karena hanya bisa diperoleh pada saat Peringatan 86 Tahun KPH di Solo dan Bali setahun yang lampau.

Sudah saatnya buku ini dicetak secara masal dan beredar di masyarakat sehingga Kho Ping Hoo yang ribuan jilid bukunya telah dibaca dan menginpirasi jutaan orang dari berbagai lapisan masyarakat Indonesia, yang cersil-cersilnya telah mewarnai dunia perbukuan tanah air  dan telah menghidupi banyak orang termasuk mereka yang membuka persewaan buku di seantero Tanah Air ini layak dinobatkan sebagai "sastrawan besar" yang pernah lahir di bumi Nusantara.

Sebagai penutup saya kutipkan komentar Kho Ping Hoo  mengapa ia memilih menjadi penulis cerita silat.


Saya menulis untuk mencurahkan hati saya. Dengan menulis saya bisa melepaskan persoalan penindasan yang ada di dalam batin. Sebagai contoh, dalam kehidupan sehari-hari saya sering menjumpai ketidakadilan, penindasan, dan kerakusan. tapi saya hanya bisa marah dalam hati. Untuk mengkritik saya tidak memiliki keberanian. Lewat cerita silat saya bisa mengkritik tanpa harus menyakiti perasaan siapapun
(hlm 98)

Melalui cerita silat saya merasa bahwa saya dapat berkomunikasi dengan para pembaca, bukan melalui silatnya itu sendiri, melainkan melalui kehidupan para tokohnya, suka dukanya dalam kehidupan, dan saya mengajak para pembaca sama-sama menghadapinya, mempelajarinya, menyelidikinya dan menanggulanginya
(hlm 113)

@htanzil

Thursday, October 03, 2013

Nightmare in the Snowfields by Mutiq Jujazki

[No. 319]
Judul : Nightmare in the Snowfields
Penulis : Mutiq Jujazki
Penerbit : Leutika Pro
Cetakan : I, Agustus 2013
Tebal : 163 hlm


Nightmare in the Snowfileds adalah novel horor thriller karya Muntiq Jujazki (19 thn)  mahasiswi jurusan Teknik Geologi Universitas Trisakti  yang menggemari karya-karya  R.L Stine (penulis novel horor remaja).  Dalam novel debutnya yang memiliki setting di sebuah negara bersalju ini Muntig  mengisahkan tentang Jowy Bright, pemuda berusia 17an tahun yang melewati libur musim dingin dirumah bibinya yang berada di desa Scar Winter. Di desa itu terdapat sebuah legenda tentang Wanita Salju yang mencoba bertahan hidup dengan cara menyerang dan meminum darah lelaki di desa itu.

Baru saja beberapa hari berada di sana Jowy sudah mengalami hal-hal aneh dan tidak menyenangkan, dimulai dari kemunculan sesaat sosok wanita di balkon kamar tempat ia menginap, seorang yang tak dikenal yang berada di rumah bibinya, hingga seorang gadis yang tiba-tiba melempar bola salju hingga menciderainya.

Kejadian-kejadian aneh itu membuat  Jowy menaruh curiga pada legenda Wanita Salju di desa tersebut, hal ini juga membuat liburannya tidak tenang apalagi setelah ia menyaksikan bagaimana temannya tewas secara mengenaskan, dan seorang temannya lagi hilang setelah mendengar suara bisikan aneh yang berasal dari dalam hutan. Tidak hanya itu jiwanyapun merasa terancam karena sosok wanita salju itu terus membuntuti dan menampakkan diri padanya.

Apakah legenda Wanita Salju itu memang ada, dan pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan oleh si Wanita Salju?.  Bersama temannya Jowy mencoba menemukan wanita salju dan mencoba melenyapkannya sebelum ia sendiri menjadi korban berikutnya.

Sebagai novel debutan bergenre horor thriller, novel ini saya rasa cukup membuat pembacanya merasakan penasaran akan legenda wanita salju disertai ketegangan yang kian memuncak di bebeapa bab terakhir novel ini. Hanya saja ada beberapa  hal yang bagi saya pribadi menjadi ganjalan sepanjang saya membaca novel ini.

Yang pertama adalah ilustrasi novel. Dari segi cover saya merasa puas karena saya rasa covernya mewakili sisi kemisteriusan dan horor yang terdapat dalam novel ini . Sayangnya  ilustrasi yang muncul di setiap awal bab yaitu  sosok wanita yang mengenakan jaket musim dingin tidak menimbulkan kesan horor dari novel ini karena sosok wanita tersebut tampil dengan senyumannya. Kalau toh sosok itu dimaksudkan untuk menggambarkan kemisteriusan si Wanita Salju, saya rasa ilustrasi tersebut justru jauh dari kesan misterius.

Kedua, mengenai tokoh sentral novel ini yaitu Jowy Bright, walau dikisahkan Jowy adalah pemuda berusia 17 tahunan dan telah duduk di bangku SMA tapi dari dialog dan narasi antara Jowy dengan orang tuanya yang terlihat protektif  menimbulkan kesan bahwa Jowy berusia lebih muda (antara 12-13 tahun). Saya juga merasa sosok Jowy di novel ini kurang maskulin, karena sepanjang pembacaan novel ini  saya selalu merasa bahwa Jowy adalah seorang wanita :)

Ketiga, di novel ini diceritakan bahwa si Wanita Salju ternyata memiliki keterkaitan dengan masa kecil Jowy. Bahkan ada sebuah peristiwa mengerikan yang dilakukan si wanita salju yang penah dilihat Jowy di masa lalunya. Walau kejadian itu baru benrlangsung 5 tahun yang lalu namun dikisahkan bahwa Jowy benar-benar lupa akan kejadian mengerikan tersebut. Rasanya agak aneh kalau kejadian mengerikan yang baru berlalu 5 tahun yang lampau itu dengan mudah terlupakan oleh Jowy.  Mungkin akan lebih menarik jika memang Jowy lupa akan kejadian detailnya  namun kelebatan-kelebatan peristiwa masa lalu yang pernah dialaminya tersebut tiba-tiba muncul ketika ia berada di Scar Winter sehingga kesan misteriusnya lebih kentara.

Demikian beberapa hal yang menjadi catatan saya ketika membaca novel ini, selebihnya sebagai novel debutan, novel ini bisa dikatakan menarik apalagi dengan ending yang sama sekali tidak terduga dan mengecoh pembacanya sehingga bagi mereka yang menyukai novel horor thriller novel ini layak dibaca dan dikoleksi.

Selain itu keberanian penulis untuk menulis dalam genre yang  jarang disentuh oleh penulis-penulis lokal tentunya membawa angin segar bagi dunia fiksi kita. Jika penulis bisa konsisten menulis dalam genre ini dan terus mengasah diri dalam hal karakater tokoh, plot, dan endingnya saya percaya kita akan memiliki novelis horor thriller yang namanya patut diperhitungkan.

@htanzil