Friday, April 11, 2014

Kepada Apakah by Afrizal Malna

[No. 330]
Judul : Kepada Apakah
Penulis : Afrizal Malna
Penerbit : Motion Publishing
Cetakan : I, Maret 2014
Tebal : 302 hlm

Tidak mudah memahami novel Kepada Apakah  karya Afrizal Malna, penyair senior berkepala plontos yang buku puisinya "Mesin Penghancur Dokumen" menerima anugerah Khatulistiwa Award 2013 untuk katergori puisi. Dari judul yang bernuansa filsafat "Kepada Apakah" dengan covernya yang unik berupa daun telinga yang tertusuk panah ini membuat calon pembacanya sulit untuk dapat mengira-ngira apa isi dari novel ini.

Novel ini dimulai dengan kalimat, "Apakah yang kamu pahami tentang apakah?", sebuah pertanyaan ujian yang diajukan oleh dosen Filsafat Etika kepada Ram, tokoh novel ini, seorang mahasiswa filsafat semester pertama.

"Sejak pertanyaan ujian tadi yang menguasai pikiranku, aku ingin memutuskan semua hubungan dengan apa pun. Aku ingin berada di luar semua ikatan yang telah menciptakan banyak kerumitan... Melepaskan ikatan sirkuit yang menyebalkan antara kehidupan dan kematian. Melepaskan ikatan antar kata-benda dengan kata-sifat." (hlm10)

Pertanyaan itu menguasai pikiran Ram sepanjang perjalanannya ke beberapa kota  mulai dari Bandung, Sukabumi, Surabaya, Malang hingga Ternate. Bagaimana Ram mencari jawaban dari pertanyaan dosennya dan apa saja yang dialami  dalam perjalanannya inilah yang dikisahkan dalam novel ini. Tak hanya apa yang dialaminya secara fisik namun novel ini juga mengisahkan ilusi dan halusinasi yang dialami Ram sepanjang perjalanannya.

Novel ini dibagi dalam dua bagian besar, dimana bagian pertamanya yang mendominasi novel ini mengisahkan tentang sosok Ram, perjalanannya dan kisah cintanya yang tidak biasa, sedangkan bagian berikutnya mengisahkan tentang Wulung, kekasih Ram yang sedang berada di Eropa. Bagian pertama yang merupakan kisah perjalanan Ram ini diambil dari kisah nyata penulisnya, jadi bisa dikatakan ini adalah novel perjalanan Afrizal Malna dan tentang pertemuannya dengan sejumlah orang dari satu tempat ke tempat lain sejak 2012. 

Karena berdasarkan pengalaman penulisnya maka dalam novel ini tampaknya penulis sengaja menampilkan nama-nama asli orang/sastrawan yang pernah ditemuinya, bahkan Afrizal Malna sendiri muncul sebagai cameo dalam novel ini. Selain itu, kegelisahan, pengalaman berteater, keikutsertaannya dalam  Pertemuan Penyair Nusantara VI di Ternate, pandangannya-pandangan kebudayaan, kritik sosial, pandangannya akan puisi kontemporer, serta imajinasi-imajinasinya sebagai seorang pernyair dll bertebaran dalam novel ini. Selain itu beberapa buku, karya sastra, naskah drama, teater, puisi, dan cerpen juga disinggung dalam novel ini. 

Mungkin sebenarnya ini sebuah novel yang menarik jika saya bisa menangkap apa maksud penulis dalam menulis novelnya ini, namun sayangnya saya gagal memahaminya kecuali beberapa tuturan penulis tentang buku, karya sastra, candi-candi peninggalan Majapahit , rumah peninggalan Wallace di Ternate, dan kritik-kritik sosialnya yang membuka wawasan saya akan hal-hal tersebut. Selebihnya saya gagal paham, hal ini mungkin karena keterbatasan wawasan saya dalam dalam memahami karya sastra beraroma filsafat ini. 

Banyaknya penulis memasukkan ilusi dan halusinasi Ram yang berkelindanan dalam kisah perjalanan sang tokoh juga membuat saya sulit memisahkan apakah ini imajinasi atau kejadian yang benar-benar dialami oleh sang tokoh. Singkat kata ini adalah novel  yang tidak bisa sepenuhnya saya mengerti

Awalnya saya hampir saja menyerah membaca novel ini, untungnya seorang kawan mengatakan pada saya kalau karya-karya Afrizal Malna itu memang bukan untuk dimengerti namun untuk dinikmati. Karenanya  alih-alih mencoba untuk memahaminya dan gagal saya pun mencoba menikmati novel ini. Dan benar, saya ternyata lebih bisa menikmati novel ini dibanding memaksakan diri untuk memahaminya. Saya nikmati perjalanan tokohnya beserta kisah cintanya yang tidak biasa, saya sesapi gaya ungkap penulis yang puitis, saya mencoba larut dalam imajinasi/halunisasi tokoh Ram yang liar dan tidak terduga seperti gerbong kereta yang banjir, atau bagaimana  ribuan binatang yang pernah dimakan Ram seperti ayam, sapi, kambing, dan babi bernyanyi dan menari-nari keluar dari kamar kosnya.

Demikianlah akhirnya, novel yang gagal saya pahami ini akhirnya berhasil saya nikmati dengan baik. Sungguh tidak mengira novel yang tadinya hendak saya sudahi sebelum saya selesai membacanya ini ternyata sebuah karya yang membawa saya pada pengalaman baru dalam membaca sebuah novel yang tidak biasa seperti ini.

@htanzil

 -------------------------------------------------------------------------------------------------------

Berikut  kutipan beberapa kritik sosial yang disampaikan penulisnya dalam novel ini yang menjadi kutipan favorit saya.


"Aku datang dari desa Bantul. Lahan tebuku sudah berubah menjadi galeri seni yang bisa menjual plastik seharga setengah milyar atas nama karya seni. Warga negara bernama seniman yang tidak malu kepada rakyat biasa, karena mereka tidak bayar pajak untuk benda plastik itu." 
(hlm 37)


"Gank motor adalah topeng paling cocok digunakan untuk milisi taik di kota ini (Bandung). Kota yang cukup sibuk dengan gaya hidup. Yang pernah berambisi menjadi Paris."
(hlm 75)

"Aku membayangkan sebuah kota tanpa iklan-iklan yang berteriak. Tanpa foto-foto tak dikenal, calon pemimpin kota yang memenuhi billboard-billboard pemilihan kepada daerah di jalan. Membayangkan sebuah kota yang memberikan ruang dan waktu kepada halaman lamanya yang menyimpan banyak cerita tentang dewi kesuburan, tentang manusia dan kancil..." 
(hlm 102)
---------------------------------------------------------------------------------------------------------

1 comment:

Ana said...

Sepertinya bukunya berat, saya suka kutipan di akhir post blognya