Monday, March 30, 2015

693 Km, Jejak Gerilya Sudirman

[No.352]
Judul : 693 Km - Jejak Gerilya Sudirman
Penulis : Ayi Jufridar
Penerbit : Noura Books
Cetakan : I, Januari 2015
Tebal : 312 hlm
ISBN : 978-602-1306-07-9

Buku ini adalah novelisasi jejak sejarah Panglima Besar Jenderal Sudirman ketika ia bersama pasukannya bergerilya sepanjang 693 km selama 7 bulan untuk menyerang pos-pos pertahanan Belanda. Setting Novel ini dimulai di lapangan Andir - Bandung  ketika Jenderal Spoor yang pada tanggal 18 Desember 1948 memulai operasi yang diberi nama Operasi Burung Gagak dengan target merebut kembali Yogyakarta (Ibukota Republik Indonesia saat itu), menghancurkan Tentara Nasional Indonesia yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam satu pukulan, serta  menangkap Sukarno berserta pengikut-pengikutnya.

Menghadapi serangan dari Belanda, Sudirman tidak menyerah begitu saja, walau dalam keadaan sakit dan baru saja pulang dari Panti Rapih ia memilih untuk terjun langsung mengangkat senjata. Tekadnya sudah bulat sehingga ketika ia dipanggil ke Gedung Agung oleh Presiden Sukarno ia menyampaikan tekadnya dan berharap Presiden pun ikut bersamanya untuk mengangkat senjata.

"Ini kesempatan untuk mengajak Sukarno dan Bung Hatta mengangkat senjata seperti yang mereka janjikan dulu, pikir Sudirman. Belanda sudah melakukan agresi militer untuk kali kedua. Indonesia harus mempertahankan kemerdekaan juga dengan kekuatan militer" 
(hlm.65)

Namun apa yang diharapkan Sudriman tidak menjadi kenyataan. Sudirman kekecewa terhadap pilihan Sukarno-Hatta yang memilih jalan diplomasi padahal sebelumnya Bung Karno pernah berjanji akan memimpin sendiri perang gerilya jika Belanda menyerang, bahkan janji tersebut dituangkan dalam keputusan resmi Dewan Siasat.

Walau Bung Karno dan bung Hatta memilih jalur diplomasi Sudirman tetap memilih untuk berjuang mengangkat senjata dengan cara gerilya walau saat itu kesehataannya belum pulih benar. Masa-masa gerilya Sudriman berserta pasukannya inilah yang menjadi inti kisah dari novel ini. Dengan penuturan yang mudah dibaca dan mengalir penulis melukiskan suka duka, semangat, dan pergolakan batin Jenderal Sudirman saat bergerilya bersama pasukannya yang setia. Perjuangan yang secara fisik dan emosi begitu melelahkan. Sementara ia bergerilya untuk menyerang pos-pos pertahanan Belanda, Jenderal Sudirman dan pasukannya juga harus terus menghindar dari kejaran pasukan Belanda yang terus menerus memburunya.

Di novel ini penulis mendeskripsikan dengan baik bagaimana beratnya perjalanan gerilya Sudirman bersama pasukannya. Salah satu bagian dari kisah perjalanan gerilya Sudirman yang terkenal dan melekat dalam benak kita hingga kini adalah bagaimana Sudirman yang dalam keadaan sakit harus ditandu untuk melanjutkan perjalanan heroiknya. Walaupun hanya duduk di tandu namun hal itu tetaplah merupakan hal yang sulit dan melelahkan baik bagi Sudirman maupun penandunya yang adalah para sukarelawan, penduduk sipil dari desa-desa yang dilalui Sudirman.

"Sinar matahari yang panas membuat para penandu lebih lelah cepat sehingga beberapa kali mereka harus bergantian. Dengan dua penandu di depan dan dua penandu di belakang sesungguhnya mereka sudah berbagi berat badan Sudirman yang ringkih. Namun, rasa lelah yang menyerang tak mampu mereka hindari, apalagi beberapa di antaranya tidak mengenakan baju sehingga gesekan bambu membuat kulit bahu mereka melepuh. Padahal mereka sudah menggunakan kain gombal sebagai alat." 
(hlm 94)

"Di dalam tandu, tubuh Sudirman terhuyung ke kiri, kanan, depan, dan belakang seperti gempa telah mengguncang bumi. Bumi bagi Sudirman kali ini menjadi sangat kecil dan pengap... di dalam tandunya, Sudirman merasa sesak. Tangannya mencengkeram sandaran kursi kuat-kuat agar tubuhnya tidak terjatuh. Ia membutuhkan lebih banyak tenaga di tengah guncangan yang begitu hebat." 
(hlm97)

Tidak hanya itu, ketika tandu sulit digunakan di jalananan yang terjal, maka Sudirman pun harus berjalan kaki, dan ketika ia tidak sanggup berjalan kaki maka Sudirman harus digendong oleh pengawal pribadinya yang sudah dianggapnya sebagai saudara sendiri yaitu, Nolly (Tjokpropranollo, 1924-1988) yang kelak menjadi Gubernur DKI Jakarta periode 1977-1982.

(Jenderal Sudirman berserta pasukannya, Tjokropranolo yang mengenakan baju hitam)

Berbagai kisah menarik lainnya dan seru terungkap dalam novel ini seperti bagaimana Sudirman dan pasukannya harus menghindar dari buruan tentara Belanda dengan cara menyamar atau membuat Sudirman palsu lengkap dengan tandunya untuk mengecoh tentara Belanda. Dikisahkan pula bagaimana dalam perjalanan gerilyanya Sudirman menemukan sebuah kenyataan pilu bahwa rakyat bisa terbeli kesetiaannya kepada negaranya karena madat seperti yang terjadi di daerah Pacitan.

"Rakyat di Pacitan dan Ponorogo sudah biasa nyandu. Belanda menggunakan madat untuk menguasai orang-orang tertentu, orang berpengaruh. Para preman yang suka mengganggu masyarakat. Mereka dijadikan antek-antek Belanda dengan madat sebagai pengikatnya....Di sini, rakyat tanpa madat bisa berkhianat...." 
(hlm 270)


Seperti kita ketahui, Sudirman juga tidak pernah lepas dari kerisnya, di novel ini dikisahkan bagaimana ia memperoleh keris dengan cara yang gaib dan bagaimana kerisnya itu atas seizin Allah melindunginya dari serbuan Cocor Merah (pesawat Belanda) yang  memborbadir sebuah desa dimana ia berada. Dalam keadaan terjepit itu Sudirman memerintahkan anak buahnya berdoa dan keajaiban pun terjadi.

(Jenderal Sudirman dan keris yang selalu menyertainya)

"Setelah ia kembali memanjatkan doa dengan mata terpejam, tiba-tiba kerisnya berdiri tegak. Ujungnya menunjuk ke langit. Suara cocor merah yang semula keras, perlahan menjauh, terdengar sayup-sayup, lalu menghilang dan tak terdengar lagisetelah keris roboh di atas tikar dengan ujung yang masih tetap menghadap ke Makkah."

"Sudirman mengucapkan doa untuk meningatkan dirinya agar tidak bersikap riya. bukan dirinya yang mampu mengusir Cocor Merah, bukan pula sebilah keris yang hanya benda mati, melainkan kekuasaan Allah yang memberikan kelebihan pada segala sesuatu yang dikehendakinya." (hlm187-188)

Masih banyak hal-hal menarik yang dapat kita baca sepanjang perjalanan gerilya Jenderal Sudirman beserta anak buahnya. Tidak hanya petualangan, namun kegalauan yang dialami Sudirman selama bergerilya juga terungkap di sini. Yang paling menonjol adalah kekecewaannya terhadap para pejabat sipil yang memilih jalan perundingan yang hasilnya selalu menguntungkan Belanda.

"Kita tidak boleh tertipu lagi dengan politik perundingan" Sudirman berharap ketiga pejabat sipil itu menyampaikan pandangan militer tersebut kepada pejabat sipil lainnya, agar mereka tidak buru-buru menerima tawaran perundingan dari Belanda atau pendukung mereka. "Pemerintah jangan mengabaikan hasil perjuangan tentara dan rakyat di medan perang," kata Sudirman
(hlm 218)

Belanda sudah dibuat sesak napas di medan gerilya. Itu harus menjadi pertimbangan pemimpin negara dalam menghadapi Belanda. Sudirman khawatir, perjuangan gerilya ini akan berakhir di meja perundingan yang membuat Indonesia terpuruk dalam lubang yang sama
(hlm 277)

Di hadapan  para perwira tinggi dalam rapat Sudirman  tidak lagi menutup kekecewaannya kepeda pemerintahan sipil. "Delegasi kita terlalu lemah dalam mengajukan usul-usul. Mereka telah melemahkan arti perjuangan kita selama ini. Mereka tidak percaya pada kekuatan militer sendiri. Lihat saja, dalam persetujuan ini kita disebut sebagai 'segerombolan pengikut senjata'. Kita tidak dianggap sebagai tentara. Hanya gerombolan, seperti preman..." 
(hlm 291)

Masih banyak hal-hal menarik dari novel tentang perjalanan gerilya Jenderal Sudirman berserta anak buahnya ini. Novel ini berakhir ketika Sudirman kembali ke Jogya untuk menghadap Bung Karno, di lembar terakhir kita akan melihat bagaimana ia masih menyimpan kekecewaan atas perjuangan diplomasi beserta hasilnya yang dilakukan pejabat sipil. Di sini Sudirman sampai pada titik galaunya dimana terbesit kienginannya untuk mundur dari jabatannya sebagai panglima TNI.

Keputusanku sangat bergantung pada hasil pembicaraan dengan Sukarno dan Mohammad Hatta nanti, atau setelah parade militer berlalu. Apakah akan mundur sebagai panglima TNI atau tidak, aku tidak akan terburu-buru dalam mengambil keputusan. Sekarang ini tidak lagi berada di medah gerilya yang menuntut keputusan cepat dan strategis. Perjanjian politik sudah memadamkan api gerilya.
(hlm 310)

Karena ini novel sejarah yang ditulis berdasarkan riset dari fakta-fakta sejarah yang benar-benar terjadi, hal ini tentunya membuat pembaca bisa memahami dan mengenal sejarah perjuangan Sudirman dengan cara yang mengasyikan layaknya novel-novel fiksi. Selain itu sosok Sudirman dalam novel ini tidak hanya digambarkan sebagai sosok hero semata melainkan tampil apa adanya sehingga  memberikan kita gambaran seorang pahlawan secara manusiawi. Karenanya tidak berlebihan rasanya kalau buku sangat baik dibaca oleh para generasi muda agar dapat memahami bagaimana situasi perjuangan saat itu dan bagaimana salah satu pahlawan nasional, Jenderal Besar berjuang tanpa pamrih di tengah keterbatasan kesehatannya demi cintanya pada bangsanya.

@htanzil

6 comments:

Anonymous said...

Wih keren reviewnya. Jadi pengen beli bukunya
.. makasih informasinya

Unknown said...

Kisah perjuangan seperti ini yg seharusnya ditonton para anak muda zaman sekarang, spy mereka tdk mudah jatuh pd hal2 yg negatif, ttp mewarisi sikap patriotik para pahlawannya.

Unknown said...

Perjuangan gerilya ini lah yg sepatutnya di filmkan buat semangat....
Dan perjuangan murni tanpa tendensi politik
Bahkan korban politik

Unknown said...

Perjuangan gerilya ini lah yg sepatutnya di filmkan buat semangat....
Dan perjuangan murni tanpa tendensi politik
Bahkan korban politik

RAFLY ALFI SYAHR said...

Hallo

RAFLY ALFI SYAHR said...

Komen