Friday, June 10, 2016

Kesetrum Cinta

[No. 365]
Judul : Kesetrum Cinta - Kisah Jenaka Pria Jawa Menikah dengan Perempuan Swiss
Penulis : Sigit Susanto
Penerbit : Buku Mojok
Cetakan : I, 2016
Tebal : 264 hlm
ISBN : 978-602-1318-32-4

Buku ini berisi kisah-kisah pengalaman Sigit Susanto, penulis buku Menyusuri Lorong-Lorong Dunia 1-3  yang berasal dari Jawa yang kesetrum cinta lalu  menikah dengan Claudia Beck, perempuan  Swiss. Pernikahan mereka tidak hanya mempertemukan keduanya dalam satu biduk rumah hangga  namun juga mempertemukan dua budaya yang sangat berlainan. 

Disinilah mereka lambat laun menyesuaikan diri mengenal budaya satu sama lain yang tentunya tidak mudah dan kadang melahirkan kejadian-kejadian  unik dan jenaka. Berdasarkan ingatannya semata penulis menceritakan apa yang dialaminya selama 20 tahun hidup bersama istrinya ke dalam 135 kisah sehingga tidak heran buku ini tampak agak gemuk, berbeda dengan buku2 sejenis yang biasanya hanya memuat tidak lebih dari 10-15 kisah saja. 

Dengan piawai penulis meramu potongan-potongan pengalaman hidup bersama istrinya dengan tidak terlalu panjang namun sanggup membuat pembaca tersenyum atau tertawa sendiri dengan kisah-kisahnya yang lucu dan terkadang menyentuh hati.  Walau judulnya Kesetrum Cinta namun bukan berarti buku ini hanya  menyajikan kisah cinta penulis dan istrinya yang berbeda negara dan budaya melainkan juga pengalaman-pengalaman menarik yang tak terduga  akibat geger budaya yang ia dan istrinya alami. Terkadang di akhir kisah penulis mengemukakan pendapatnya secara lugas dan jujur seperti yang terdapat dalam kisah berjudul Cium Tangan yang dialami oleh Claudia, istri penulis.

"Pemandangan cium tangan sekarang ini makin ramai. Saat Claudia salaman, sering tangannya diangkat oleh anak-anak muda dan disentuhkan jidat mereka. Kebanyakan ia menolak sambil bilang, "Tidak perlu, kita sama-sama manusia, sejajar sama tingginya."

Gejala lain, yakni bersalaman antara lelaki dan perempuan akhir-akhir ini terasa makin dihindari. Beberapa kali aku menyodorkan tangan kepada perempuan yang aku kenal cukup lama, kali ini ia menolak bersalaman. Sejak kapan budaya Indonesia menghindarkan orang salaman, walau berbeda jenis kelamin? Aku merasa seolah seperti di negeri Arab saja. 
(hlm 36-37)

Perbedaaan cara orang bertanya antara orang Indonesia dan Swiss rupanya tak luput dari pengamatan penulis.  Saat menghadiri forum tanya jawab ketika Pramoedya Ananta Toer bertandang ke Swiss pada tahun 2002, teman  penulis yang orang Swiss berkata demikian,

"Perhatikan dengan seksama ketika orang Swiss bertanya dan orang Indonesia bertanya. Kebanyakan orang Indonesia lebih suka bercerita dulu yang panjang, pertanyaannya pendek sekali, malah kadang lupa apa yang ditanyakan, saking panjangnya pengantar."

hal tersebut sependapat dengan apa yang diungkapkan oleh penulis, 

Pertanyaan yang dilontarkan orang Swiss kebanyakan langsung ke tema yang ditanyakan. Terkesan ringkas, lugas, dan efektif. Pertanyaan orang Indonesia kebanyakan didahului pengantar, kadang bertele-tele.  (hlm 197)

Seperti negara-negara di Eropa, Swiss juga menerapkan disiplin dalam segala hal, termasuk dalam hal membuang sampah. Jika di Indonesia semua sampah rumah tangga disatukan dan diambil oleh petugas sampah sekaligus maka di Swiss sampah dibagi bagi menurut jenisnya, dan diambilnya pun berdasarkan jenisnya.



Cara mereka membuang sampah pun diberi jadwal. Misal Senin untuk sampah plastik dan kertas. Rabu untuk sampah dapur. Botol pun dikumpulkan pada tempat yang teratur sesuai warna botolnya; putih, hijau, atau coklat.  
(hlm 251)

Masih banyak hal-hal menarik yang terdapat dalam buku ini. Karena penulis yang telah bermukim di Swiss ini setiap tahunnya selalu 'pulang' ke Indonesia bersama  istrinya selama beberapa bulan maka kisah-kisah yang tersaji di buku ini menjadi lengkap karena pembaca bisa melihatnya dari dua sisi yang berbeda. Ada kisah bagaimana pengalaman penulis di Swiss, ada juga kisah pengalaman istrinya selama berada di Indonesia.


 Yang agak disayangkan dalam buku ini adalah penyajian antara satu kisah dengan kisah yang lainnya yang terkesan melompat-lompat.Tiap judul dalam buku ini tidak disusun berdasarkan kronologi waktu dan tempat. Kalaupun tidak memungkinkan disusun berdasarkan kronologi waktu mungkin buku ini bisa dibagi dalam dua bab besar. Bab pertama memuat kisah-kisah penulis selama berada di Swiss dan satu bab lagi memuat kisah-kisah penulis bersama istrinya saat berada di Indonesia.  Atau bisa pula disiasati seperti gaya menulis P. Swantoro dalam bukunya berjudul Dari Buku ke Buku, Sambung Menyambung Menjadi Satu (KPG, 2016) dan Remy Sylado dalam novel Perempuan Bernama Arjuna (Nuansa Cendekia 2014) yang dalam setiap akhir babnya menggunakan kalimat penghubung untuk menuju bab selanjutnya sehingga setiap kisahnya terangkai sambung menyambung seolah menjadi sebuah kesatuan. 

Terlepas dari itu kehadiran buku ini sangat baik untuk diapresiasi oleh siapa saja yang ingin mengetahui perbedaan budaya antara Eropa dan Indonesia dan geger budaya yang terjadi akibat akulturasi antara dua pasangan yang berbeda budaya. Walau kisah-kisah dalam buku ini diangkat dari keseharian penulisnya namun semua itu dapat dijadikan contoh bagaimana perbedaan budaya antara dua benua . Selain itu pembaca juga akan memperoleh kisah-kisah humanis dari orang-orang yang ditemui penulis dan istrinya.

Buku ini juga memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi dan rentang usia pembaca yang panjang (remaja hingga dewasa). Seluruh kisahnya dengan gaya personal, kita yang membacanya bagaikan mendengarkan langsung dari tuturan sang penulis yang sedang bercerita di depan kita, sehingga walau ada ratusan kisah di dalamnya kita akan betah membaca buku ini hingga habis.

@htanzil


.


No comments: