Monday, May 30, 2016

Rasia Bandoeng

[No.364]
Judul : Rasia Bandoeng
Rasia Bandoeng atawa Satoe Pertjintaan jang Melanggar Peradatan Bangsa Tionghoa : Satoe Tjerita jang Benar Terdjadi di Kota Bandoeng dan Berachir Pada Tahon 1917
Penulis : Chabanneau
Penerbit : Katarsis Book 
Cetakan : II, April 2016
Tebal : 236 hlm



Para pembatja jang terhormat saja berkata
Tjerita ini betoel terdjadi boekannja djoesta
Boewat pendodoek di Bandoeng kota
Semoewa taoe benarnja ini tjerita
(hl. xii)

Demikian yang diungkapkan Chabanneau, penulis roman Rasia Bandoeng dalam Permoelahan Kata di lembar pertama bukunya untuk menyakinkan pembaca bahwa kisah yang ditulisnya adalah kisah nyata. Hal ini sekan menegaskan kembali apa yang dijadikan judul panjang romannya yaitu "Rasia Bandoeng atawa Satoe Pertjintaan jang Melanggar Peradatan Bangsa Tionghoa : Satoe Tjerita jang Benar Terdjadi di Kota Bandoeng dan Berachir Pada Tahon 1917"

Dari judul di atas kita dapat langsung menebak apa yang ingin dikisahkan penulis yaitu tentang cinta terlarang, cinta yang tidak direstui oleh keluarga seperti kisah Romeo dan Juliet, Laija Majnun,  Sam Pek Eng Tay, dll.  Rasia Bandoeng menceritakan kisah cinta antara dua insan orang Tionghoa yang memiliki marga yang sama, yaitu Tan Kaij No (Hilda Tan) dengan Tan Tjin Hiauw. Cinta yang terlarang karena menurut adat Tionghoa pernikahan satu marga adalah hal yang tabu.

Dalam roman ini dikisahkan Tan Djia Goan seorang pedagang batik Tionghoa yang sukses memiliki dua putri yaitu Tan Kaij No dan Tan Giok Nio. Kedua putrinya ini dididiki secara modern dan disekolahkan ke sekolah Belanda dan diberi nama Barat yaitu Helena Tan  (Tan Kaij No) dan Hilda Tan (Tan Giok Nio).  Kedua putri Tan Djia Goan ini tumbuh menjadi remaja yang berpikiran modern dan maju. Tidak itu saja Hilda dan seluruh  keluarganyapun telah menganut agama Kristen yang saat itu dianggap sebagai agama orang Eropa.  Berbeda dengan Hilda yang berasal dari keluarga kaya, Tan Tjin Hiauw sendiri berasal dari keluarga sederhana namun seperti halnya Hilda, Tjin Hiauw sendiri adalah seorang yang terdidik dan telah bekerja sebagai boekhouder (bidang pembukuan) di firma Dewaal & Co.

Baik Hilda maupun Tjin Hiauw sebenarnya sadar betul bahwa penikahan sesama warga adalah hal yang tabu. Itulah yang menyebabkan Hilda merahasian hubungan mereka pada orang tuanya. Sementara Tjin Hiauw sendiri berterus terang mengenai hubungannya dengan keluarganya dan keluarganyapun merestuinya dan menyarankan untuk melamarnya. Tjin Hiauw sendiri masih berharap keluarga Hilda mengabulkannya karena mereka adalah keluarta modern yang juga telah beragama Kristen sehingga diharapkan dapat sedikit fleksibel terhadap adat leluhur.

"Saja djoega baroesan soedah berdami (berembug-red) sama Hilda," kata Tan Tjin Hiauw, "boewat lamar sadja dengan berterang pada orang toewanja. Siapa taoe lantaran Tan Djia Goan anoet agama Christen. Nanti soeka loeloeskan saja poenja permintaan dengan boewang itoe adat lembaga koene jang boeseok, jang melarang orang tida boleh kawin sama satoe She" 
 (hlm 23)

Sebelum Tjin Hiauw melamar Hilda, sepucuk surat dari Tjin Hiauw untuk Hilda secara tidak sengaja ditemukan oleh Tan Djia Goan (ayah Hilda) sehingga hubungan mereka diketahui dan tidak seperti yang diduga Tjin Hiaw ternyata keluarga Hilda tidak merestuinya dan melarang Hilda berhubungan dengan Tjin Hiauw. Walau mendapat larangan,  teguran keras, bahkan hukuman dari ayahnya namun Hilda dan Tjin Hiauw melanjutkan hubungan mereka.

Di tengah terjalinnya hubungan mereka secara rahasia muncullah Lie Tok Sim yang menyatakan cintanya pada Hilda lewat surat. Walau Hilda menolaknya sejak awal namun Lie Tok Sim tidak menyerah  dan ia terus mengirim surat pada Hilda. Karena cintanya pada Tjin Hiauw Hilda menolak cinta Lie Tok Sim dan menyuruhnya membakar semua surat-surat diantara mereka.



Saking kuatnya rasa cinta antara Hilda dan Tjin Hiauw akhirnya Hilda nekad melarikan diri dari rumahnya menuju rumah kekasihnya. Dia berharap tindakannya ini akan membutkikan betapa ia mencintai kekasihnya sehingga meluluhkan hati ayahnya. Ternyata ayahnya semakin berang sehingga tanpa sepengetahuan siapapun Hilda disembunyikan di sebuah tempat yang jauh. Hukuman ini tidak membuat Hilda jera, berbagai cara dilakukannya  untuk terus berhubungan dengan kekasihnya.

Tidak itu saja, agar bisa bersatu dengan kekasihnya, Hilda kembali kabur ke Surabaya, Makasar, hingga Singapura. Kemarahan ayahnya semakin memuncak,  Hilda dianggap telah memberi aib pada keluarganya hingga  akhirnya Tan Djia Goan dengan tega memutuskan hubungan ayah-anak. Hilda diadopsi ke keluarga lain sehingga segala tindak tanduk Hilda  tidak lagi menjadi tanggung jawabnya. 


Kaya akan latar Bandoeng tempo doeloe

Kisah cinta dalam roman Rasia Bandoeng ini sebenarnya  sebuah kisah cinta biasa yang banyak ditulis orang namun  untungnya penulis memberikan latar kisah cinta ini dengan begitu apik dan detail sehingga roman ini menjadi sangat menarik dan menjadi abadi walau ditulis hampir satu abad yang lampau. Keadaan Bandoeng di awal abad ke 20 dideskripsikan dengan sangat detail seperti jalan-jalan, taman-taman, dan beberapa pusat hiburan yang ada di kota Bandung saat itu sehingga pembaca masa kini masih bisa membayangkan dan melacak lokasi-lokasi yang disebutkan dalam roman ini seperti Pasar Baru, Gardujadi, Cibadak, Tegalega, Banceuy, dll. Bahkan jejak kediaman rumah keluarga Hilda masih bisa ditemukan hingga kini, yaitu yang pernah menjadi Hotel Surabaya lalu sekarang menjadi Hotel Carradine di Jalan Kebon Jati Bandung.

Rumah  Hilda dan keluarganya sebelum dipugar menjadi Hotel Carradine

Selain setting lokasi yang detail, roman ini juga mengungkap aktivitas pelacuran yang ada di Bandoeng yang ternyata telah ada sejak dulu dan bagaimana para pemuda Tionghoa menggunakan jasa mereka. Bahkan salah satu tokoh utama dalam roman ini pun secara diam-diam memelihara seorang wanita penghibur dengan mengontrakkan rumah dan melengkapi rumah kontrakan dengan perabotannya.

Karena menceritakan kehidupan tokoh-tokoh Tionghoa maka roman ini bisa dikatakan dapat menjadi sebuah dokumen yang merekam sebuah peristiwa dan kondisi sosial masyarakat Tionghoa Bandung karena roman ini jugamenggambarkan bagaimana perilaku dan budaya orang-orang Tionghoa Bandung di masa itu. Hilda mewakili gadis Tionghoa yang berpendidikan yang lahir dari keluaga Tionghoa modern yang sukses namun tetap memegang teguh adat istiadat leluhur mereka. Sementara  Tan Tjin Hiauw mewakili sosok pemuda Tionghoa tipe pekerja keras dan gaul yang walau  terlahir dari keluarga biasa namun keluarganya lebih bersikap kompromi terhadap adat leluhur. 


Berdasarkan Kisah Nyata

Seperti diungkapkan penulisnya baik lewat judul maupun Permoelahan Kata (Pendahuluan), kisah yang diangkat dalam roman ini memang benar-benar pernah terjadi. Penulis hanya mengganti nama-nama tokoh-tokoh dalam novel ini dengan tetap mempertahankan inisial atau huruf pertama dari setiap nama. Misalnya Hilda Tan =  Hermine Tan, Tan Tjin Hiauw = Tan Tjeng Hoe, Tan ShioTjhie = Tan Sim Cong (yang kelak menjadi salah satu dermawan Tionghoa  yang terkenal dan namanya diabadikan menjadi nama jalan di Bandung / Gg. Simcong).

Saja harap antero pembatja maoe mengarti
Nama jang benar saja terpaksa ganti
Sebagi pengarang saja haroes berati-ati
Soepaja tida dapat soesah di hari nanti
(hlm xii)

Lalu dari mana kita bisa yakin kalau ini benar-benar kisah nyata?  Tinneke Helwig, sejarahwan sekaligus Feminis asal Kanada telah membuktikan bahwa kisah dalam roman ini benar-benar terjadi di Bandung pada tahun 1917. Dalam salah satu bukunya yang berjudul Women and Malay Voices: Undercurrent Murmurings in Indonesia's Colonial Past" (New York, Peter Lang, 2012) Tinneke menyinggung banyak tentang roman ini dalam satu bab  dengan judul  A Western Educated Chinese Woman dimana ia membahas sosok Hermine/Hilda Tan lewat penelusuran langsung ke keturunan Hermine Tan. Lewat penelurusannya Tinneke berhasil memperoleh  beberapa foto Hermine Tan (Hilda Tan) dengan Tan Tjeng Hoe (Tan Tjin Hiauw)  dan  koran Sin Po edisi 2 Januari 1918 yang memuat iklan kweepang atau adopsi Hermine Tan yang dimuat dalam bukunya tersebut



Dari buku yang ditulis Tinneke Helwig juga terungkap bahwa selain Rasia Bandoeng yang ditulis Chabbaneu, pada tahun yang sama dengan terbitnya Rasia Bandoeng kisah Hermine Tan ini juga ditulis oleh K.Kh Liong dengan judul Tjerita Nona Tang Seng Nio alias Hermine T...., atawa tjara bagimana orang toewa haroes didik sama anaknja. Satoe tjerita jang betoel soedah kedjadian die Bandoeng, dalem tahoen 1912 dan berachir tahoen 1917. Lalu pada tahun 1940 terbit pula roman berdasakan kisah Hermine Tan dengan judul Rasianja satoe gadis hartawan yang ditulis oleh Monsieur Indo Jr. Dari terbitnya tiga buku yang tersebut maka bisa  disimpulkan bahwa kisah Hermine Tan di masanya merupakan kisah yang menghebohkan

Siapa sebenarnya  Chabannau?, hingga kini siapa Chabanneau masih misteri. James T. Siegel, seorang antropolog dalam bukunya "Fetish, Recognation and Revolution" mengidentifikasikan bahwa Chabanneau adalah seorang pemeras yang mengancam keluarga Hermine Tan. Ia mengancam akan menyebarkan aib keluarga Tan Djin Gie (ayah Hermine/Hilda) dalam bentuk novel jika keluarga Hermine tidak memberikan sejumlah uang yang dikehendakinya.  Rupanya Tan Djin Gie menolak ancaman Chabanneu sehingga akhirnya roman ini diterbitkan. Menurut Siegel, Chabanneau memperoleh bahan-bahan untuk menulis roman ini dari surat-surat Hermine/Helda yang dijual oleh Lie Tok Sim pada Chabanneau karena Hilda menampik cintanya.

Terbit Kembali Secara Terbatas


Rasia Bandoeng cetakan ke-2, 1918

Walau pernikahan kawin semarga ini sempat menghebohkan kota Bandung terlebih dengan diterbitkannya 3 jilid Roman Rasia Bandoeng ini 97 tahun yang lalu oleh penerbit Gouw Kim Liong, Batavia, 1918 namun seiring perjalanan waktu tampaknya peristiwa dan romannya sudah dilupakan orang. Apalagi roman yang ditulis dalam bahasa Melayu Pasar ini tidak pernah disebutkan dalam buku-buku resmi sejarah sastra Indonesia. Roman ini akan terkubur sepanjang masa jika saja Tinneke Helwig tidak menulis bab khusus tentang roman ini dalam bukunya pada tahun 2012  dan Lina Nursanty (wartawan PR)  dalam tulisan berserinya berjudul Tionghoa Bandung dalam Roman yang dimuat di koran Pikiran Rakyat 16-18 Februari 2015.

Terungkapnya kembali roman ini di harian Pikiran Rakyat itu mendorong beberapa komunitas sejarah di kota Bandung (Balad Junghuhn, Gambung Vooruit & Co, Tjimahi Heritage) dan Katarsis Book untuk  menerbitkan kembali Roman Rasia Bandoeng secara indie dalam jumlah yang terbatas dengan tetap menggunakan bahasa Melayu Pasar seperti di cetakan pertamanya. Sebuah langkah yang baik karena walau mungkin agak sulit dibaca  namun dengan tetap mempertahankan sesuai dengan naskah aslinya maka hal ini dapat mengenalkan bahasa Melayu Pasar yang pernah digunakan dalam sejarah keberbahasaan kita.

Tanpa diduga cetak ulang pertama roman ini ludes dalam waktu sekejap. Karenanya buku ini kembali dicetak  ulang dalam jumlah yang masih terbatas. Yang membedakan buku ini dari cetakan pertamanya adalah dihilangkannya foto-foto memang tampilannya kurang memadai. Lampiran foto-foto tersebut diganti dengan tambahan informasi yang sangat bermanfaat bagi pembaca untuk memahami roman ini yaitu  kata pengantar dari Sugiri Kustedja, ketua Pusat Studi Diaspora Tionghoa Universitas Kristen Maranatha, dan penutup dari Bambang Tjahjadi,  keturunan dari salah satu tokoh yang ada dalam roman Rasia Bandoeng.

@htanzil

No comments: