Friday, March 27, 2020

Bandung di Waktu Malam

[No. 389]
Judul : Bandung Di Waktu Malam
Penulis : Soe Lie Pit
Editor : Wahyu Wibisana
Penerbit : Pustaka Klasik bekerja sama dengan PT Kahatex
Cetakan Pertama : Januari 1931
Diterbitkan Kembali : Desember 2019
Tebal : 120 hlm

Buku ini merupakan sebuah kisah fiksi karya Soe Lie Piet , ayah dari Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin (Arif Budiman). Karya-karya Soe Lie Pit kebanyakan bergenre "novel etnografis", novel yang mengambil latar belakang budaya sebuah daerah.

Di karyanya ini Soe Lie Pit mengambil mengambil latar belakang kota Bandung dan gunung Tangkuban Perahu di tahun 1930-an.  Novel ini menceritakan tentang seorang petapa sakti bernama Rayahna. Ia telah bertapa bertahun-tahun di gua dalam hutan di puncak Gunung Tangkuban Perahu. Kesaktiannya memungkinkan ia dapat melihat sesuatu dari jarak ratusan mil; ia bisa datang di segala tempat, bisa tahu apa yang sedang dipikirkan orang. Selain itu Rayahna juga bisa berganti rupa seperti yang ia kehendaki.

Di atas puncak gunung Tangkuban Perahu Rayahna kerap mengamati kota Bandung yang dimalam hari begitu bercahaya dengan  lampu-lampu yang gilang gemilang. Namun ditengah gemerlapnya Bandung lewat mata batinnya Rayahna melihat adanya cahaya hitam yang senantiasa mengepul naik dari kota Bandung. Baginya cahaya hitam itu adalah nafsu jahat dari hati manusia.

Penasaran dengan cahaya hitam yang mengebul Rayahna bertekad untuk melihat sendiri kota Bandung dari dekat.

"Biarlah mulai besok malah aku akan turun ke Bandung buat begaul kembali pada manusia supaya aku bisa tahu dengan jelas yang disertai bukti-bukti bahwa mengebulnya itu cahaya hitam saban saat ke atas udara bukan tidak ada lantarannya" (hlm 6)

Rayahna turun ke Bandung selama 10 malam. Dari pengalamannya selama di Bandung itulah kisah-kisah dalam novel ini mengalir. Penulis membagi kisah-kisahnya dalam 10 malam. Masing-masing kisah berdiri sendiri dengan benang merah kehidupan malam yang gemerlap.

Bandung yang begitu gemerlap diwaktu malam di tahun 1930an yang terkenal glamour termasuk aktivitas dunia hiburan malam beserta pelacurannya inilah yang menurut penulis merupakan salah satu faktor yang membuat Bandung diberi julukan sebagai Parijs van Java.

"Soal yang kita mau bicarakan di sini yaitu tentang cara bagaimana pelacuran bisa dibasmi atau dibikin  kurang sebisanya yang banyak merajalela di Java, terutama Bandung ada terkenal betul hingga ini kota dapat titel sebagai Parijs van Java" (hlm 98-99)

Hal ini tentu menambah referensi lagi mengapa Bandung disebut Parijs van Java. Kuncen Bandung Haryoto Kunto  dalam bukunya Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, 1980 mengatakan kemungkinan julukan tersebut muncul  dari seorang pedagang Belanda bernama Roth yang mempromosikan dagangannya (pakaian) di pasar malam Jaarbeurs.  Kemungkinan diambilnya nama Paris karena Paris saat itu telah menjadi kiblat mode dunia. Dengan sebuatan Parijs van Java diharapkan dapat menarik minat orang untuk datang ke pasar malam tahunan Jaarbeurs dan membeli dagangannya.

Jaarbeurs atau Pasar malam tahunan yang sangat terkenal disaat itu juga ikut mengilhami penulis untuk menulis kisah yang berlatar Jaarbeurs. Dari kisahnya kita bisa melihat bagaimana suasana Jaarbeurs saat itu

Ini malam Bandung penuh sekali dengan keramaian dan kegirangan yang beda betul seperti biasa. Di jalan-jalanan besar sesak dengan berbagai kendaraan dan orang yang jalan kaki yang pada menuju ke sebalah utara. Ada apa? Jaarbeurs!

Hampir boleh dipastikan semua orang dengan paras girang pergi ke Jaarbeurs; di straat, dalam kendaraan,di rumah-rumah, tidak lain yang disebut: Jaarbeurs, karena ini pasar tahunan yang ramai yang baru dibuka ini malam

Lampu-lampu  listrik yang dipasang buat membikin terang lapangan Jaarbeurs dan sekitarnya, ia punya cahaya bisa kelihatan dari tempat-tempat yang terpisah jauh juga.

Ketika itu lapangan Jaarbeurs yang luas telah jadi padat dengan penonton-penonton dari segala bangsa. Suara dari segala macam tontonan dengan musiknya yang ribut sangat diperdengarkan, dan dibarengi dengan suara dari orang banyak yang sebentar-sebentar tertawa girang .
 (hlm 111)

Secara umum kisah-kisah dalam buku ini menggambarkan sebuah paradok antara gemerlapnya kota Bandung di waktu malam dan antusiasnya penduduk kota Bandung menikmati dunia malam dengan kepedihan yang dialami oleh tokoh-tokohnya. Seolah penulis hendak mengatakan bahwa gemerlapnya dunia malam dapat membawa orang-orang terjerembab kedalam nafsu jahat di hati manusia yang pada akhirnya akan melahirkan berbagai kepedihan seperti yang dialami tokoh-tokohnya.

Walau berupa buku fiksi namun dengan diterbitkannya kembali buku ini patut diapesiasi dengan baik karena sedikit banyak dapat menggambarkan kepada pembaca dimasa kini bagaimana suasana kota Bandung di waktu malam di tahun 1930an ketika Bandung terkenal hinga seantero Eropa

 

Buku Bandung di Waktu Malam  terbit pertama kali pada tahun 1931 oleh penerbit Elect: Drukkeij : Minerva", Bandoeng. Penerbit yang secara rutin, sebulan sekali menerbitkan buku-buku fiksi karya penulis-penulis Tionghoa.

Bersyukur novel yang terbit hampir 90 tahun yang lalu, yang telah lama terlupakan ini akhirnya diterbitkan kembali dalam edisi hard cover oleh Pustaka Klasik berkat dukungan PT. Kahatex, salah satu  pabrik terkstil terbesar di Bandung yang tampaknya peduli akan pelestarian kesasteraan Melayu Tionghoa. 

Dalam penerbitan ulang ini, penerbit tidak mengubah sedikitpun struktur kalimat dan ceritanya. Perubahan hanya dilakukan dengan  mengubah ejaan bahasa yang aslinya ditulis menggunakan ejaan Van Ophuyesen menjadi ejaan baku seperti "oe" menjadi "u","tj" jadi "c" sehingga pembaca masa kini lebih mudah memahami ceritanya.

@htanzil

No comments: