Monday, April 06, 2020

Kisah-Kisah Istimewa Inggit Garnasih

[No. 390]
Judul : Kisah-Kisah Istimewa Inggit Garnasih
Penyusun : Deni Rachman
Penerbit : Menara API
Cetakan : I, Februari 2020
136 hlm, 13x19 cm

Nama Inggit Garnasih mungkin kalah terkenal dengan para wanita yang  pernah mendampingi kehidupan Ir. Soekarno proklamator dan Presiden pertama Indonesia. Tidak banyak memang yang menulis tentang Inggit Garnasih, dalam buku teks sejarah-sejarah resmi namanyapun hanya ditulis selewat saja padahal  sebenarnya peran Inggit Garnasih sebagai istri kedua Bung Karno  sangatlah berperan besar bagi perjuangan Bung Karno. Inggit dengan setia mendampingi Bung Karno  semenjak ia menjadi mahasiswa di Technische Hoogeschool te Bandoeng  (sekarang Institut Teknologi Bandung/ITB), terjun ke dunia politik, dipenjara di Sukamiskin Bandung, dibuang ke Flores dan Bengkulu hingga beberapa bulan menjelang kemerdekaan Indonesia.

Buku referensi mengenai Inggit Garnasih pun sangat terbatas. Yang paling populer dan paling sering dijadikan acuan oleh para penulis dalam mengangkat sosok Inggit Garnasih adalah novel biografis Kuantar Ke Gerbang karya Ramadhan KH, yang pertama kali diterbitkan oleh Penerbit Sinar Harapan, 1981. Selain itu ada buku Perempuan dalam Hidup Sukarno : Biografi Inggit Garnasih, karya Reni Nuryanti, Penerbit Ombak, 2007

Bersyukur kini terbit sebuah buku Kisah-Kisah Istimewa Inggit Garnasih yang merupakan kumpulan tulisan dari para jurnalis yang dimuat berbagai media cetak (Mahasiswa Indonesia, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, Bernas, Zaman, Mangle, dll) yang terbit dari tahun 1975 - 2000. Beberapa penulis terkenal seperti Seno Gumira Ajidarma, Haryoto Kunto, Tatang Sumarsono, Suryanto Sastroatmodjo ikut menulis tentang Inggit.

Buku ini terdiri dari 13 tulisan tentang Inggit Garnasih yang hampir semuanya menceritakan keistimewaan Inggit dimata para jurnalis dalam berbagai bentuk tulisan jurnalistik yang bersumber dari  wawancara langsung dengan ibu Inggit di masa tuanya, wawancara dengan orang-orang terdekat Inggit atau dari berbagai sumber yang ada saat tulisan-tulisan tersebut dibuat.

Dari ke 13 ragam  tulisan yang ada dalam buku ini  kita dapat memperoleh fakta-fakta dan kisah-kisah menarik dari kehidupan Ibu Inggit antara lain kisah tentang nama Inggit . Seperti yang banyak ditulis nama Inggit berasal kata ringgit karena saat kecil ia sering mendapat  uang seringgit dari orang-orang yang menyukai kelucuan Inggit. Namun ada hal lain terungkap di salah satu tulisan di buku ini yang menyatakan bahwa nama Inggit berasal saat Inggit Garnasih yang cantik adalah  pemain wayang uwong yang pandai menari.

"Setiap dia membuka topengnya dalam menari, lalu tersenyum, maka berhamburanlah uang ringgit para penonton dengan senang hati dan rela demi senyum yang menawan itu." Dan jadilah nama 'Inggir yang berasal dari kata 'ringgit'
(hlm 11)

selain itu terungkap pula cerita lain yang mengatakan bahwa nama 'inggit'  berasal dari karena cantiknya Inggit Garnasih, maka orang tuanya menjadi sangat cemas sehingga ia memingit Inggit. Dari kata 'pingit'lah datangnya nama 'Inggit'

Peran dan jasa Ibu Inggit dalam mengantar Soekarno sampai ke pintu gerbang kemerdekaan sangatlah besar. Hal ini yang membuat pemerintah RI menganugerahkan Bintang Mahaputera Utama untuk almarhumah Ibu Inggit Garnasih pada tahun 1997.  Seperti yang ditulis Haryoto Kunto bahwa dimanapun Bung Karno berada, Inggit selalu mendampinginya. Jika dalam sebuah acara biasanya istri para tokoh atau pejabat selalu duduk di kursi depan, lain halnya dengan Inggit yang berbaur dengan hadirin di belakang sambil mengamat-ngamati gerak-gerik para hadirin.

Jika ada di antara hadirin yang dicurigainya, maka segera Inggit menghampiri orang tersebut, duduk atau berdiri di sisinya, sambil memegang dan mengelus-ngelus bahu atau punggung orang yang dicurigainya itu, sampai ia terbukti benar-benar spion Belanda.... berkali-kali Ibu Inggit berhasil membongkar spion kolonial yang menyusup. Sorot mata Inggit yang tajam disertai daya linuwih, indra keenam, merupakan kekuatan batin menambah daya tahan Bung Karno dalam perjuangannya kala itu.  
(hlm 39)

Buku ini juga memuat kisah-kisah pertemuan Inggit dengan Soekarno, saat-saat dalam pembuangan di Ende dan Bengkulu,  kisah perceraiannya dengan Bung Karno karena tidak mau dimadu, hingga berita tentang meninggalnya ibu Inggit pada tahun 1984 di usia 90 tahun

Buku ini diakhiri dengan dua tulisan tentang rumah bekas kediaman Ibu Inggit di jalan Ciateul no. 8 Bandung. Yang pertama yaitu tentang rencana Pemda Jabar untuk memugar rumah bersejarah tersebut. Yang kedua tentang keadaan rumah tersebut di tahun 2000 yang ternyata  masih menjadi 'rumah hantu' walau telah dipugar pada tahun 1997.

Beberapa tulisan dalam buku ini bisa digolongkan sebagai sumber primer karena berasal dari wawancara langsung dengan ibu Inggit ketika ia masih hidup atau wawancara dengan orang-orangyang pernah dekat dengan Ibu Inggit. Karena buku ini disajikan dalam bentuk narasi kliping yaitu dengan memindahkan tulisan yang tadinya ada di koran atau majalah tanpa merubahnya (kecuali tulisan  bahasa Sunda yang diterjemahkan penyusun kedalam bahasa Indonesia) maka buku ini membawa suasana, nuansa tulisan, bahasa jurnalistik,  dan semangat zaman pada saat tulisan-tulisan dalam buku ini dimuat sehingga pembaca akan dibawa kedalam suasana di tahun 1970 - 2000-an. 

Buku ini juga dilengkapi dengan foto-foto dari guntingan koran dan majalah. Sayangnya penempatannya  agak kurang tepat misalnya foto kliping artikel majalah Zaman yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma ditempatkan bukan di samping tulisan Seno. Hal ini terjadi juga pada beberapa foto-foto lainnya. Mungkin akan lebih baik kalau foto tersebut ditempatkan tepat di awal atau akhir tulisan yang dimaksud. Atau kalaupun sulit dalam penempatannya seluruh foto-foto bisa dikumpulkan atau ditempatkan di bagian akhir buku ini secara kronologis.

( Foto Ibu Inggit Ganarsih & Haryatie Soekarno, Madjalah Sunda, 1966)

Penyebutan nama Inggit berasal dari dirinya yang ketika kecil sering diberi uang sebanyak seringgit jika pergi ke pasar. Selain itu, di malam harinya juga suka ada yang melempari dinding kamarnya dengan uang seringgit yang terbungkus dengan genting. "Sejak itulah aku diberi nama atau katakanlah disebut orang-orang di rumah pada mulanya, si Ringgit dan kemudian menjadi si Inggit, sebutan yang lebih manis kedengarannya," kata Inggit dalam buku Soekarno: Kuantar ke Gerbang karya Ramadhan K.H.


Sumber : https://www.sejarahbogor.com/2019/04/romantika-inggit-sukarno.html

Penyebutan nama Inggit berasal dari dirinya yang ketika kecil sering diberi uang sebanyak seringgit jika pergi ke pasar. Selain itu, di malam harinya juga suka ada yang melempari dinding kamarnya dengan uang seringgit yang terbungkus dengan genting. "Sejak itulah aku diberi nama atau katakanlah disebut orang-orang di rumah pada mulanya, si Ringgit dan kemudian menjadi si Inggit, sebutan yang lebih manis kedengarannya," kata Inggit dalam buku Soekarno: Kuantar ke Gerbang karya Ramadhan K.H.


Sumber : https://www.sejarahbogor.com/2019/04/romantika-inggit-sukarno.html


Untuk berita tentang rumah sejarah peninggalan Inggit agak disayangkan penyusun tidak memasukkan berita atau artikel terkini tentang rumah tersebut. Seperti disebutkan di atas, buku ini ditutup dengan berita di tahun 2000 tentang keadaan rumah ibu Inggit yang masih menjadi 'rumah hantu' padahal saat ini rumah tersebut telah dipugar kembali seperti museum yang berisi panel-panel keterangan dan foto-foto tentang kehidupan Inggit Garnasih. Kini rumah tersebut kerap menjadi tujuan wisatawan dan pelajar untuk menggali sejarah mengenai Inggit Garnasih.

Terlepas dari hal di atas kehadiran buku ini perlu diapresiasi dengan baik. Seperti apa yang menjadi harapan penyusun buku ini, buku ini setidaknya dapat menjadi pembuka kanal awal informasi alternatif terhadap siapa, bagaimana, dan apa manfaat yang publik rasakan dari kisah hidup Inggit Garnasih.

Selain itu buku ini juga berperan besar dalam mengenalkan kembali kepada masyarakat luas terutama genenasi milenial akan sosok Ibu Inggit Garnasih, perempuan Sunda yang dalam kesederhanaan dan kerendahan hatinya mendampingi dan memberi semangat pada Bung Karno. Walau pada akhirnya harus bercerai, dua puluh tahun pernikahan Bung Karno dan Inggit  bukanlah sebuah kesia-siaan karena Inggitlah yang banyak berperan dalam ikut membentuk pribadi Bung Karno menjadi seorang pejuang yang tangguh sekaligus mengantar Bung Karno mewujudkan cita-citanya untuk memerdekakan bangsanya.

@htanzil
 
Untuk memperoleh buku ini silahkan klik Tokopedia, Bukalapak , Shopee
Mulanya ia diberi nama Garnasih dari kata hegar (segar menghidupkan) dan asih (kasih sayang). Penyebutan nama Inggit berasal dari dirinya yang ketika kecil sering diberi uang sebanyak seringgit jika pergi ke pasar. Selain itu, di malam harinya juga suka ada yang melempari dinding kamarnya dengan uang seringgit yang terbungkus dengan genting. "Sejak itulah aku diberi nama atau katakanlah disebut orang-orang di rumah pada mulanya, si Ringgit dan kemudian menjadi si Inggit, sebutan yang lebih manis kedengarannya," kata Inggit dalam buku Soekarno: Kuantar ke Gerbang karya Ramadhan K.H.

Sumber : https://www.sejarahbogor.com/2019/04/romantika-inggit-sukarno.htmlKini rumah tersebut kerap menjadi tujuan wisatawan dan pelajar untuk menggali sejarah mengenai Inggit Garnasih. Di setiap ruangan tersebut dipenuhi oleh foto-foto Inggit bersama dengan Soeka@hta

2 comments:

Dean said...

Saya heran bagaimana anda menulis berbagai macam review dari berbagai buku seperti. Tidak habis pikir bagaimana anda membaca setiap buku itu satu per satu. Saya pikir anda benar" menyukai sastra. Tidak sengaja menemukan blog anda yg memuat review dari buku wuthering heights. Saya penasaran ingin membacanya. Sungguh..

htanzil said...

terima kasih atas apresiasinya, maaf baru terbaca komentarnya.
Keep reading ya....