Wednesday, April 21, 2021

Bandung di Persimpangan Kiri Jalan

[No. 397]
Judul : Bandung di Persimpangan Kiri Jalan
Penulis : Hafidz Ashar
Penerbit : ProPublic.Info
Tebal : xvi + 231hlm, 13 x 19 cm
Cetakan : I, Februari 2021
ISBN : 978-623-93907-7-8

 Bandung pada paruh pertama awal abad ke 20 khususnya  di tahun 1920-an adalah kota pergerakan baik itu bagi kaum nasionalis, agama, hingga komunis. Tidak heran jika Bung Karno mengawali jejak pergerakannya di Bandung saat ia kuliah di Technische Hoogeschool te Bandoeng/ITB  (1921-1934).

Salah satu gerakan yang tumbuh dan berkembang dengan pesat di Bandung pada masa itu adalah gerakan komunis atau sering disebut sebagai gerakan kiri. Begitu kuatnya pengaruh gerakan kiri sampai-sampai organisasi  Sarikat Islam yang didirikan di Bandung pecah menjadi Sarikat Islam Merah (SI Merah) yang berafiliasi ke Partai Komunis Indonesia.

Buku ini  berisi 20 artikel tentang gerakan kiri di Bandung di tahun 1920an yang datanya diperoleh penulis  dari berbagai koran  yang terbit di tahun 1920-an dan beberapa buku referensi yang menyinggung tentang gerakan kiri di Bandung. 

Jika kita membaca buku ini terlihat jelas bagaimana gerakan kiri di Bandung yang saat itu dimotori oleh SI Merah dan PKI telah menjadi sebuah gerakan yang besar. Sebuah sumber  menyebutkan  bahwa Bandung merupakan pusat agitasi kedua Komunis setelah Semarang sebagai basis terbesarnya. 

Hal ini terbuktikan dengan  beberapa pertemuan yang diadakan kelompok kiri yang selalui mendapat perhatian besar dengan jumlah peserta yang banyak.  Ketika terjadi bencana kelaparan di Rancaekek Bandung pada 1923, SI Merah dan  PKI mengadakan vergadering/perkumpulan untuk membicarakan kelaparan di Rancaekek. Surat kabar Sapoedjagat melaporkan bahwa rapat tersebut dihadiri oleh sekitar 700 orang yang terdiri dari berbagai elemen. 

Ditahun itu juga di Bandung  digelar kongres SI Merah dan PKI. Kongres yang meriah yang didekorasi dengan penuh warna merah dan dihiasi gambar tokoh-tokoh Komunis dalam dan luar negeri itu diikuti oleh 15 utusan cabang PKI, 13 cabang SI dan 300 peserta umum. Selain itu peserta acara terbanyak yang digagas kelompok kiri yang terungkap di buku ini yaitu ketika Sarikat Islam Merah Bandung menggelar pertemuan dengan kelompok buruh  V.S.T.P yang dihadiri oleh 2.100 orang peserta dan diliput oleh berbagai media. Bahkan tidak hanya anggota SI atau V.S.T.P, pertemuan ini juga dihadiri oleh perwakilan pemerintah.

Kepedulian kaum kiri/merah kepada rakyat kecil tampaknya merupakan salah satu faktor mengapa gerakan kiri di Bandung bisa tumbuh, berkembang dengan pesat dan diterima oleh masyarakat Bandung saat itu.  Selain peduli terhadap masalah kelaparan di Rancaekek, SI Merah dan PKI juga peduli dengan pendidikan bagi rakyat kecil. Bulan Januari 1922 Tan Malaka mendirikan Sarekat Islam School di Bandung dengan biaya yang lebih murah dari sekolah pada umumnya. Baru saja dibuka, sekolah ini sudah menerima 200 orang murid dan dengan cepat menyebar ke berbagai wilayah di Bandung. 

Dalam meluaskan pengaruhnya, kaum kiri menggunakan kekuatan media sebagai corognya. Hadirnya koran-koran berhaluan kiri seperti Sapoejagad, Matahari, Soerapati, dan sebagainya yang menjadi alat propaganda membuat mereka semakin kirtis dalam menyikapi apa yang terjadi di masyakarat. Tidak jarang koran-koran kiri tersebut melahirkan polemik antara kaum kiri dengan kaum priyayi terutama dengan bupati Bandung RAA Wiranatakusumah yang didukung oleh koran Obor, Kaoem Moeda, dll. Polemik-polemik yang terdapat di koran-koran kiri dan koran yang mendukung sang bupati mendapat porsi cukup banyak di buku ini dan menarik untuk disimak. 

Polemik  yang mungkin bersifat pribadi namun menghebohkan  juga dicatat di buku ini yaitu antara S. Goenawan S, pengurus SI Merah dengan Padmawiganda, redaktur koran Kaoem Moeda karena Goenawan dituduh tak bertuhan oleh Padmawiganda. Polemik ini dilanjutkan dengan tantangan S. Goenawan untuk menggelar debat terbuka di masjid atau Alun-alun Bandung. Sayangnya sepertinya Padmawiganda tidak menganggapi tantangan tersebut sehingga Goenawan menyebutnya sebagai "Tuan Keok".  Munculnya polemik ini mungkin dapat menjadi sebuah fakta bahwa tidak semua kaum kiri itu tidak bertuhan.

Sikap kritis kaum merah/kiri dalam melawan ketidakadilan  terutama sikapnya yang terang-terangan menentang kolonialisme serta pergerakan kaum kiri yang kian masif lama kelamaan membuat gerah pemerintah kolonial sehingga pemerintah kolonial membentuk gerombolan antikomunis yang terdiri dari kaum menak-priyayi. Dalam artikel berjudul Aksi Kelompok Teror di Priangan Tahun 1924-1931 penulis menemukan fakta bahwa aksi-aksi kekerasan antara kelompok kiri dan kelompok antikomunis menjadi tidak terhindarkan, ada yang dipukuli, diculik, hingga aksi pelemparan batu di rumah, gedung milik salah satu kelompok hingga roboh. 

Walau ada perbedaan yang mencolok antara kaum kiri dangan kaum menak-priyayi Bandung dan seringnya kedua kelompok itu saling berpolemik di media massa namun ada satu kasus yang membuat kedua kubu ini sepaham yang dicatat di buku ini, yaitu kasus Nyi Anah yang dituduh membunuh suaminya, K-Gruitering, seorang pria Belanda. Bukan kejadian yang lumrah karena menyangkut kasus golongan pribumi dan Belanda. Dalam kasus ini baik kaum kiri maupun kaum menak-priyayi sama-sama memperjuangkan keadilan bagi Nyi Anah. 

Ada banyak hal menarik tentang gerakan komunis di buku ini, salah satu yang menarik adalah artikel yang mengungkap sebuat berita di koran Soerapati tentang seorang Haji Persis (Persatuan Islam) yang dianggap komunis karena saat ia meninggal ritual dan penangannya berbeda seperti pada umumnya  seorang muslim meninggal dunia. Di artikel ini penulis berpendapat bahwa  berita di koran kiri tersebut adalah sebuah pembelaan yang menganggap Persis tidak melakukan kesalahan. Di bagian ini penulis juga membuka wacana tentang kemungkinan hubungan baik kelompok kiri dengan Persis

Namun, bukan tidak  mungkin, bila kelompok Merah mempunyai hubungan baik dengan Persis. Salah satu kemungkinan ini bisa kita lihat pada aktivitas yang dilakukan Ahmad Bassach sebagai pembesar komunis di Bandung. Selain menulis banyak karya sastra, Ahmad Bassach turut menerjemahkan karya Ahmad Hassan yang dianggap muftinya Persatuan Islam. 

Terkait hubungan baik Komunis dangan Persatuan Islam, rupanya perlu dipastikan dan ditelusuri lebih lanjut. Tidak ada klaim yang menyatakan secara jelas bahwa Komunis dan organisasi Persis menjalin hubungan yang begitu baik.   (hlm 65- 66)

Buku ini juga mencatat tentang meredupnya Gerakan kiri di Bandung setelah ditangkapnya dan dibuangnya para petinggi Komunis di Bandung seperti Moh. Sanoesi, Sardjono, Darmoprawiro, dll ke Boven Digul akibat dari pemberontakan Komunis di berbagai kota termasuk di Bandung pada akhir tahun 1926. Buku ini mencatat beberapa pemberontakan yang terjadi di Bandung antara lain di Nagreg, Cicalengka, Cimahi, Padalarang. Di kawasan Cimahi dan sekitarnya bahkan terdapat 15 serangan kaum komunis dari tanggal 13 sampai 17 November 1926.

Masih banyak kiprah gerakan kiri di Bandung yang dimuat di buku ini yang menarik untuk disimak antara lain pemogokan di Bandung tahun 1923, Siti Atikah, perempuan Bandung yang tergabung dalam gerakan kiri, Alibasach Winata, tokoh komunis Bandung yang terkena delik Pers yang menghina Ratu Belanda, dan sebagainya.  

Satu hal yang agak mengganjal di buku ini adalah cover bukunya yang menyandingkan bupati Bandung RAA. Wiranatakusumah dengan Tan Malaka. Mungkin maksud penerbit atau penulisnya adalah sebagai keterwakilan antara kedua kubu yang saling bertentaangan. Wiranatakusumah sbg wakil dari kaum kanan sedangkan Tan Malaka mewakili kaum kiri yang dimasa itu memang sering berpolemik di media massa. Disandingkannya antara Wirnatakusumah dengan Tan Malaka, apakah tidak akan menimbulkan tafsir calon pembaca bahwa keduanya berada dalam kubu yang sama?

Untuk menghindari kesalahan tafsir karena covernya mungkin akan lebih baik jika desainnya diatur agar terkesan bahwa kedua tokoh itu berseberangan. Atau karena buku ini utamanya bersumber dari koran-koran yang terbit di Bandung tahun 1920an mungkin akan lebih baik kalau cover buku ini menampilkan potongan2 polemik yang terjadi di koran-koran kaum kiri dan kanan.

Telepas dari soal cover, kehadiran buku ini patut diapresiasi dengan baik. Keberanian dan kejelian penulis dan penerbit untuk membukukan gerakan komunis di Bandung yang mungkin banyak dilupakan orang patut mendapat pujian karena selama ini buku-buku tentang Bandung yang telah terbit hanya mengangkat keindahan dan eksotisme  Bandung tempo dulu.  Melalui buku ini pembaca akan melihat Bandung dari sisi lain yaitu sisi sebelah kiri dengan segala polemik dan peristiwa yang terjadi di masa itu.

Karena buku ini tersaji berupa kumpulan artikel lepas yang sebagian besar sudah pernah dimuat di media online ayobandung.com , buku ini belum dapat dikategorikan  sebagai buku yang membahas gerakan kiri di Bandung secara komprehensif. Namun bukan berarti buku ini tidak bermanfaat karena ke 20 artikel yang ada di buku ini dapat memberikan informasi pada pembacanya seputar gerakan kiri di Bandung. Buku ini juga bisa disebut buku pionir karena sebelum buku ini terbit belum ada buku yang secara khusus membahas tentang gerakan kiri di Bandung.

Semoga  buku ini bisa memacu penulis-penulis lain atau mungkin penulis buku ini sendiri yang akan menjadikan buku ini sebagai batu loncatan untuk menghadirkan sebuah buku utuh yang secara komprehensif  membahas sejarah dan gerakan kaum kiri di Bandung.

@htanzil

Buku ini bisa diperoleh di (klik pada gambar)


 




5 comments:

Vandi said...

mantep nih bukunya :D

Anwar Rojuhas said...

Bang ini isi buku yang di buat blog atau di tambah²

htanzil said...

@Anwar: Salam kenal Mas Anwar, maksudnya blog ini? kl blog ini sih hanya meresensi buku2 yang sy baca.

Ilham Rizqi Febrian said...

Mau tanya, itu Moch.Sanusi petinggi komunis di Bandung, apakah yg jadi suami Inggit Garnasih?? Soalnya sama2 Sanusi

htanzil said...

@Ilham : Bukan, itu walau Sanusi suaminya ibu Inggit memang gabung di SI juga tapi bukan Sanusi yang petinggi komunis di Bandung.