Tuesday, November 27, 2007
Galigi
Judul : Galigi (Kumpulan Cerpen)
Penulis : Gunawan Maryanto
Editor : Damhuri Muhammad
Penerbit : Koekoesan
Cetakan : I, Januari 2007
Tebal 158 hlm
Harga : Rp. 30.000,-
Berikut adalah makalah yang dibuat oleh Yanusa Nugroho yang disampaikan saat peluncuran buku ini beberapa bulan yang lalu.
Kumpulan cerpen ini juga masuk dalam long list Khatulistiwa Award 2007
@ h_tanzil
Galigi: Sebuah ‘beranda’ di mana kesunyian mengalir begitu saja
oleh : Yanusa Nugroho
Ketika membaca cerpen-cerpen Gunawan Maryanto, saya tak bisa lepas dari gambaran bahwa sosok si penulis adalah seorang teaterawan. Entah mengapa, gambaran Cindhil—begitu dia akrab disapa kawan-kawan, yang sutradara, yang dramawan, muncul mewarnai tulisannya. Saya, tiba-tiba meyaksikan “Repertoar Hujan”.
Ketika membaca halaman demi halaman kumpulan cerpen Galigi ini, kalau boleh saya bandingkan, ibarat melihat sesuatu—atau potongan sesuatu, yang sangat eye catching—meminjam istilah periklanan, dan terjadi dalam saat yang sangat singkat. Karena singkat, maka saya mencoba untuk mengamatinya lagi, namun sayang, bayangan itu sudah hilang, sehingga yang muncul adalah kesan yang tersimpan dalam ingatan. Bagi saya, yang seperti ini, jauh lebih indah.
Ada gambaran dua pendekar sakti yang bertarung dengan mengandalkan kesaktiannya. Ada kisah cinta yang aneh, tragis. Ada juga yang membuat kita senyum-senyum saja, misalnya pada “Selendang Nawang”, dan masih banyak lagi kesan-kesan yang bermunculan ketika membaca buku ini.
Yang jelas, apa yang ditulis GM di dalam kumpulan ini, saya nikmati sebagai sebuah dongeng. Dalam sebuah dongeng, kita mligi (semata-mata) disuguhi cerita, tanpa ada embel-embel kritik sosial, politik atau apapun. Bahwa nantinya kita menafsirkannya dengan mengait-ngaitkan pada unsur lain, itu boleh-boleh saja. Dan yang jelas pula, gaya penuturannya yang puitis, membuat saya makin asyik menikmati Galigi.
Simak saja, misalnya: “Lagu itu membimbing tangannya, kakinya, lehernya, pinggulnya dan seluruh persendiannya bergerak. Seluruh bentuk yang dimungkinkan tubuh dijelajah dengan penuh gairah. Kadang seturut irama yang disediakan bunyi dawai-dawai, kadang lepas sekehendak hatinya. Kadang di antara keduanya. Kadang garang, kadang tenang. Tubuh Khima mengkilap oleh keringat yang terbaca sebagai cahaya.” (hlm. 144, “Khima”).
***
Dalam membaca buku ini, saya tiba-tiba diingatkan pada sebuah perjalanan panjang. Ketika dalam keseharian saya dibebani persoalan sosial, budaya, politik dan ekonomi, tiba-tiba cerpen-cerpen ini seolah menawarkan sebuah beranda sejuk. Sebuah beranda yang mampu membuat saya tak berpikir apa-apa, duduk diam, sesekali menghela nafas dan membiarkan sunyi mengalir begitu saja. Sebuah jeda yang sangat saya butuhkan dalam menjalani rutinitas hidup.
Lewat dongeng-dongengnya ini, GM seakan tidak menawarkan apa-apa, kecuali hal terpenting bagi diri saya: istirahat sejenak. Kalau diibaratkan kerja sebuah baterai, maka saya memerlukan ‘isi ulang energi’ dan dengan tenang, tak berpikir apa-apa inilah saya mendapatkan kesempatan itu.
Untuk sesaat saya tidak memikirkan kiri-kanan saya, untuk sesaat saya tidak memikirkan diri sendiri, dan untuk sesaat pula saya tidak memikirkan apa-apa. Dan percayalah itu penting bagi saya.
Di Galigi inilah saya mendapatkan ‘beranda’ untuk menikmati kesunyian itu.
*****
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
salam kenal mas
saya termasuk pelanggan setia blog anda. mohon bimbingannya ya (^__^)
sila mampir di sini
http://wahidnugroho.blogspot.com/
(ups, promosi)
Post a Comment